Kamis, 29 Maret 2018

imam madzhab (imam syafi'i)



 Biografi Imam Syafi’i
1.       Biografi Imam Syafi’i
         Imam Syafi’i bernama asli Muhammad bin Idris bin Abbas bin Ustman bin Syafi’i bin Sa’ib bin ‘Ubaid bin Abu Yazid bin Hasyim bin al-Harits bin ‘Abdul Manaf. [1] Beliau dilahirkan di kota Gaza, Palestina pada tahun 150 H (767 M). Ayahnya bernama Idris, dan ibunya bernama Fatimah binti Abdillah al-Mahdh. Beliau masih merupakan keturunan bangsawan Quraisy dan saudara jauh Rasulullah yang bertemu pada Abdul Manaf (kakek ketiga Rasulullah), dan dari ibunya Fatimah merupakan cicit Ali bin Abi Thalib r.a.[2]
            Ketika Imam as-Syafi’i masih dalam kandungan, kedua orang tuanya meninggalkan Makkah menuju Palestina demi memperjuangkan dan mencukupi kebutuhan keluarga. Setibanya di Gaza, ayahnya jatuh sakit dan berpulang ke rahmatullah, kemudian beliau diasuh dan dibesarkan oleh ibunya yang dalam kondisi memprihatinkan dan serba kekurangan.[3]
            Pada usia 2 tahun, Imam As-Syafi’i bersama ibunya kembali ke Makkah. Setidaknya ada sejumlah alasan yang menjadi latar belakang sang Ibu untuk memilih kembali ke Makkah. Pertama, disana masih banyak keluarga besar dari pihaknya sendiri dan keluarga dari pihak suaminya sehingga Muhammad bin Idris kecil dapat merasakan kehangatan kasih sayang dari keluarga besarnya. Kedua, yakni menjadi tujuan utama sang Ibu yaitu kota suci Makkah merupakan pusat pengetahuan dan kemuliaan pada masanya, dimana Masjidil Haram dipenuhi ahli-ahli hukum Islam, ahli-ahli qira’ah, ahli Hadits, dan ahli tafsir. Ketiga, di sekeliling kota Makkah masih banyak terdapat pedesaan dimana tata krama dan kesopanan masih terjaga dengan baik, yang amat berguna bagi terasahnya kepekaan sosial, kecerdasan, moral, dan mental.  Beberapa hal tadi yang menjadi pertimbangan sang Ibu untuk meninggalkan Palestina dan kembali ke Makkah.[4]
2.       Pendidikan  Imam Syafi’i
            Kecerdasan Imam as-Syafi’i dalam mempelajari ilmu pengetahuan sudah terlihat ketika masih kecil. Beliau telah menghafal al-Qur’an dan beberapa hadits pada usia tujuh tahun. Beliau juga sangat tekun mempelajari kaidah-kaidah dan nahwu bahasa arab. Saat berusia sembilan tahun beliau telah menghafal seluruh ayat Al-Qur’an dengan lancar. Setahun kemudia yaitu pada usia sepuluh tahun, beliau sudah hafal dan mengerti kitab Al-Muwatha’ karya Imam Maliki.[5] Kecerdasannya inilah yang membuat dirinya dalam usia sangat muda (15 tahun) telah duduk di kursi mufti kota Makkah. Namun demikian Imam Syafi’i belum merasa puas menuntut ilmu karena semakin dalam beliau menekuni suatu ilmu, beliau merasa semakin banyak yang belum mengerti, sehingga tidak heran jika jumlah gurunya sangat banyak sebagaimana jumlah muridnya.[6]
              Imam Syafi’i belajar kepada ulama-ulama Makkah, baik pada ulama-ulama fiqih, maupun ulama-ulama hadis, sehingga beliau terkenal dalam bidang fiqih dan memperoleh kedudukan yang tinggi dalam bidang tersebut. Gurunya Muslim Ibn Khalid Al-Zanji, menganjurkan kepada Imam Syafi’i untuk menjadi seorang Mufti di Makkah. Akan tetapi, sekalipun beliau telah memperoleh kedudukan yang tinggi itu, beliau terus mencari dan menjaga ilmu yang dimilikinya.[7]
              Di Makkah Muhammad bin Idris berguru kepada Sufyan bin Uyainah dan kepada Muslim bin Khalid. Setelah itu pergi ke Madinah untuk berguru kepada Imam Malik. Sebelum pergi ke Madinah beliau telah membaca dan hafal kitab al-Muwatha karya Imam Malik. Beliau membawa surat dari wali Makkah ditujukan kepada wali Madinah agar mudah bertemu dengan Imam Malik. Pada waktu itu Muhammad bin Idris berusia 20 tahun, dan berguru kepada Imam Malik selama 7 tahun.[8]
                 Imam Syafi’i juga mempelajari fiqh Imam Abu Hanifah dari Muhammad bin Hasan Asyaibani (murid Imam Abu Hanifah) selama 2 tahun. Setelah itu Imam Syafi’i kembali ke Makkah, dan bermukim disana selama 7 tahun. Pada musim haji beliau bertemu dengan ulama-ulama yang pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Dengan demikian fiqh Imam Syafi’i menyebar diseluruh wilayah Islam.
            Pada tahun 195 H, beliau kembali ke Baghdad dan berziarah ke makam Abu Hanifah. Pada saat itu beliau berusia 45 tahun. Di Baghdad beliau memberikan pelajaran kepada murid-muridnya. Diantara muridnya yang sangat terkenal ialah Ahmad Ibn Hanbal. Setelah 2 tahun di Baghdad   Imam Syafi’i kembali ke Madinah, dan pada tahun 199 H beliau ke Mesir dan menetap di Mesir. Di Mesir beliau memberi pelajaran fatwa-fatwanya, yang kemudian terkenal dengan qaul jadid. Sedangkan fatwa-fatwa beliau ketika di Baghdad dikenal dengan qaul qadim.[9]
            Diantara hal-hal yang secara serius mendapat perhatian Imam Syafi’i adalah tentang metode pemahaman AlQur’an dan Sunnah atau yang sering disebut dengan istinbath (ushul fiqh). Meskipun para imam mujtahid sebelumnya dalam berijtihad terikat dengan kaidah-kaidahnya, namun belum ada kaidah-kaidah yang tersusun dalam sebuah buku sebagai satu disiplin  ilmu yang dapat dipedomani oleh para peminat hukum Islam. Dalam kondisi yang demikianlah Imam Syafi’i menyusun sebuah buku ushul fiqih. Idenya ini juga didukung oleh seorang ahli hadis bernama Abdurrahman bin Mahdi (W. 198 H) di Baghdad agar Imam Syafi’i menyusun metodologi istinbath.[10]
              Imam Syafi’i wafat di Mesir, tepatnya pada hari Jum’at tanggal 30 Rajab 204H, setelah menyebarkan dan manfaat kepada banyak orang. Kitab-kitab beliau hingga saat ini masih banyak dibaca orang, dan makam beliau di Mesir samapai detik ini masih diziarahi orang.[11] Imam Syafi’i wafat pada usia 54 tahun dengan menghasilkan kurang lebih 113 buah kitab yang merambah banyak disiplin ilmu, diantaranya mengenai fiqh, tafsir, sastra (adab), sejarah, dan ushul fiqh.[12]
3.       Karya-karya Imam Syafi’i
Diantara kitab-kitab hasil karangan Imam Syafi’i adalah:
a.      Kitab ar-Risalah.
            Kitab ar-Risalah merupakan kitab Ushul Fiqh yang pertama kali dikarang oleh beliau. Oleh karenanya Imam Syafi’i dikenal sebagai peletak ilmu ushul fiqh. Di dalamnya diterangkan pokok-pokok pikiran Imam Syafi’i dalam menetapkan hukum.[13] Kitab Ar-Risalah merupakan kitab yang sempurna dalam ilmu ushul fiqh. Sebelumnya tidak ada karya, bentuk, metode, dan liputan pembahasannya sebagaimana karya Imam Syafi’i ini. Imam Suyuthi (w. 911H) berkata:
          “Sudah merupakan ijma’ bahwa Imam Syafi’i adalah orang yang menulis tentang ushul fiqh. Beliaulah yang pertama kali membicarakannya dan kemudian menyusunnya dalam suatu karya tulis tersendiri”. Imam Malik dalam al-Muwattha’hanya menyinggung sebagian kaidah-kaidahnya. Juga yang lainnya yang hidup satu kurun dengannya, seperti Abu Yusuf dan Muhammad Al-Hasan.[14]
b.     Kitab al-Umm 
              Kitab al-Umm yang berarti induk adalah sebuah kitab Syafi’i yang sebagian besar isinya adalah kumpulan sejumlah kitab-kitab kecil lain yang disusunnya sejak sebelum menetap di Mesir. Sesampainya di Mesir beliau menghimpun semua kitab-kitab kecil lalu diringkas dalam sebuah karya yang utuh, dan meminta kepada muridnya yaitu ar-Rabi’bin Sulaiman al-Muradi untuk menuliskan nya.[15] Kitab ini berisi masalah-masalah fiqh yang dibahas berdasarkan pokok-pokok pikiran beliau yang terdapat dalam ar-Risalah.[16] Al-Umm memuat pendapat As-Syafi’i dalam berbagai masalah fiqh. Dalam kitab ini juga memuat pendapat As-Syafi’i yang dikenal dengan sebutan al-qaul al-qadim dan al-qaul al-jadid.[17]



[1] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Damaskus: Dar al-fikr,1985), cet. Ke-2, jlm. 32 dikutip oleh Muchlis M Hanafi dkk., Biografi Lima Imam .........,Jil.3, hlm. 4
[2]  A. Djazuli, Ilmu Fiqh,hlm. 129
[3]  Moenawir Chalil, Biografi Empat Serangkai.....,hlm. 152
[4]  Muchlis M Hanafi dkk., Biografi Lima Imam...., hlm. 20-21
[5]  Dedi Supriyadi, Perbandingan Madzhab dengan Pendekatan Baru, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 109
[6]  Muchlis M Hanafi dkk., Biografi Lima Imam...., hlm. 21
[7] Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam Studi tentang Qaul Qadim dan Qaul Jadid, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm 28
[8]  A. Djazuli, Ilmu Fiqh, hlm. 130
[9]  A. Djazuli, Ilmu Fiqh,hlm. 131
[10]  Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam...., hlm. 29
[11] Abdul Aziz Dahlan, et.al, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: PT Ikhtiar Baru VanHoeve, 1997), hlm. 1680
[12]  Muchlis M Hanafi dkk., Biografi Lima Imam...., hlm. 2
[13]  A. Djazuli, Ilmu Fiqh,hlm. 131-132
[14] Muhammad Ibn Hasan al-Hajwy, Al-Fikr al-Sunnah fi Tarikh al-Fikr al-Islamy, (Madinah: Maktabah al-Ilmiah, Jilid I, 1396), hlm. 163 dikutip oleh Abuddin Nata, Masail al-Fiqhiyah, (Jakarta: Prenadamedia Group, cet.4, 2014),hlm. 15
[15]  Muchlis M Hanafi dkk., Biografi Lima Imam...., hlm. 238
[16]  A. Djazuli, Ilmu Fiqh,hlm. 132
[17]  Moenawir Chalil, Biografi Empat Serangkai...., hlm. 217-219

Tidak ada komentar:

Posting Komentar