BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Pernikahan merupakan suatu perbuatan yang begitu erat kaitanya dengan kehidupan kita, begitupun dengan permasalahan-permasalahan yang timbul akibat pernikaha. Tidak akan ada habisnya permasalahan dalam pernikahan yang muncul beriringan dengan perkembangan zaman saat ini, setiap fenomena baru dalam kehidupan ini tentu harus dipecahkan dan ditemukan solusinya supaya dapat memberikan kemanfatan atau kemaslahatan dengan landasan hukum islam tentunya dengan al-Quran dan Hadis.
Ketika Islam datang dengan keagungannya, Islam membersihkan aib kebodohan yang melekat pada diri wanita melalui pemberian kembali hak-haknya untuk menikah serta bercerai. Islam mewajibkan bagi laki-laki untuk membayar mahar kepada kaum wanita. Islam sangat mengharga wanita, tak pernah berhenti memperjuangkan hak-hak wanita, bahkan hampir menyetarakannya dengan laki-laki walaupun tidak disemua lini.
Pernikahan memiliki tujuan yang mulia disamping sebagai sarana menyalurkan kebutuhan biologis, nikah juga bertujuan membina keluarga yang bahagia dan untuk meraih ridha Allah Swt. Pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dijelaskan bahwa “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Dalam membina keluarga tentu masing-masing pasangan memiliki hak dan kewajiban masing-masing. Ketika hak dan kewajiban tidak berjalan dengan seimbang dalam membina rumah tangga pertengkaran seringkali terjadi yang mengakibatkan putusnya suatu perkawinan. Putusnya perkawinan adalah istilah hukum yang digunakan untuk menjelaskan perceraian atau berakhirnya suatu hubungan antara seorang laki-laki dengan yang selama ini hidup sebagai suami istri. Putusnya pernikahan diperbolehkan dalam hukum islam, namun hal tersebut dibenci Allah Swt, seperti yang telah termaktub dal al-Quran surah al-Baqaroh ayat 229:
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
Artinya: “Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang maruf atau menceraikan dengan cara yang baik.”
Dalam perceraian tidak semena-mena dapat berpisah sesuka hati para pihak namun ada aturan tersendiri yang sudah Allah Swt jelaskan dalam Wahyunya, yaitu dalam al-Quran surat at-Talak ayat 1:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ ۖ لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِن بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَن يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ ۚ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ ۚ وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ ۚ لَا تَدْرِي لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَٰلِكَ أَمْرًا
Artinya: “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah, Rabb-mu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zhalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.”
Putusnya perkawinan dalam istilah fiqh disebut dengan talaq atau furqah. Talaq adalah membuka ikatan membatalkan perjanjian. Sedangkan furqah adalah bercerai yaitu lawan arti dari berkumpul. Problem dalam pernikahan yang tidak bisa diselesaikan bersama maka jalan terahir adalah perpisahan. Dalam hukum islam perpisahan memberikan implikasi yang berbeda-berbeda sesuai dengan bentuk perpisahan pernikahan tersebut.
Ada beberapa bentuk putusnya perkawinan dari segi siapa yang berkehendak untuk putusnya perkawinan itu, yaitu sebagai berikut:
Putusnya perkawinan atas kehendak Allah sendiri melalui matinya salah satu suami istri. Dengan kematian itu dengan sendirinya berakhir hubungan perkawinan tersebut.
Putusnya perkawinan atas kehendak suami dengan berbagai alasan dinyatakan dengan ucapan tertentu. Perceraian dalam hal ini disebut dengan talaq.
Putusnya perkawinan atas kehendak istri karena melihat sesuatu yang mengakibatkan putusnya perkawinan, sedangkan suami tidak berkehendak atas itu. Kehendak putusnya perkawinan yang disampaikan istri dengan cara tertentu diterima oleh suami dan dilanjutkan dengan ucapan menjatuhkan talaq untuk memutuskan perkawinan itu, putusnya perkawinan semacam itu disebut dengan khulu.
Putusnya perkawinan atas kehendak hakim sebagai pihak ketiga setelah melihat adanya sesuatu pada suami dan/istri yang menandakan tidak dapatnya hubungan perkawinan dilanjutkan.
Kewajiban-kewajiban sebagai suami tidak secara langsung menghilang pasca hilangnya ikatan pernikahan, namun masih melekat sebagian kewajiban yang menjadi hak istri yang harus dipenuhi, ketentuan tersebut terdapat dalam al-Quran surat at-Talak ayat 6:
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ ۚ وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّىٰ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ ۚ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ ۖ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ ۖ وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَىٰ
Artinya: Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.
Perintah pada suami yang menceraikan istrinya untuk memberikan tempat tinggal dan nafkah yang mana hal ini juga tersirat dalam KHI pasal 158-160 telah di sebutkan atas kewajiban bekas suami untuk membayar mutah dengan syarat sebagai berikut(pasal 158 KHI) :
Belum ditetapkan mahar bagi istri bada ad-dukhul
Perceraian itu atas kehendak suami.
Tanpa kedua syarat diatas (pasal 159 KHI) hukum pemberian suami yang bersifat Mutah menjadi sunnah, pembahasan besarnya Mutah disesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan suami tertera pada pasal 160 KHI. Dalam Al-Quran ketentuan tentang mutah juga telah dibahas sebagaimana terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 241 yang menjelaskan tentang kewajiban suami untuk memberikan mutah terhadap mantan istri yang telah diceraikannya. Mutah yang dimaksud disini adalah pakaian atau harta yang diberikan oleh suami kepada istri yang dia ceraikan.
Dalam masalah mutah para ulama berbeda-berbeda pendapat, Imam Malik mengatakan bahwa Mutah dengan adanya ketentuan dalam surat al-Baqarah ayat 241 yang menunjukkan bahwa kewajiban mutah itu dibatasi hanya bagi orang-orang yang bertakwa. Oleh karena itu, menurut Imam Malik, hanya sunnah. Sementara isteri yang berhak mendapatkan mutah itu, menurut ulama Malikiyyah, hanyalah yang maharnya adalah mahr al-mitsl dan ia diceraikan qabla al dukhul.
Menurut al-Turmudzy, Aṭa, dan al-Naẖa'i perempuan yang di-kẖulu tetap berhak mendapatkan mutah. Sementara menurut ulama ahlu al-ra`yi, perempuan yang dili'an juga tetap berhak mendapatkan mutah. Imam Hanafi mengatakan, suami yang menceraikan istrinya tidak mendapat apapun dari mahar, tetapi istri mendapatkan mutah saja. Mutah diwajibkan untuk setiap wanita yang dicerai sebelum digauli, sedang suami belum menentukan mahar untuknya.
Al-Malibari salah satu ulama Safiiyah, dalam kitabnya fathul Muīn menjelaskan bahwa : Suami wajib memberikan mut'ah kepada istrinya yang sudah dijima' walaupun ia seorang budak sebab adanya talak yang dijatuhkan dari pihak suaminya, bukan karena sebab kematian salah satu pihak. Mut'ah adalah sejumlah harta yang disepakati kedua belah pihak. Dalam satu pendapat disebutkan bahwa ukuran minimal mut'ah adalah harta yang boleh dijadikan mahar dan disunnahkan hendaknya tidak kurang dari 30 dirham.
Mayoritas ulama berpendapat hukum mutah adalah sunnah dan merinci dengan keadaan-keadaan yang ada pada suami ataupun istri, namun hal itu berbeda dengan pendapat ibn Hazm, yang menyatakan bahwa wajib mutah dalam keadaan apapun, pendapat beliau ini terdapat dalam kitab Al-Muhalla bi al-Asar, berikut teks dalam kitabnya:
المتعة فرض على كل مطلق واحدة أو اثنتين أو ثلاثا - أو آخر ثلاث - وطئها أو لم يطأها.
برهان ذلك قول الله تعالى: (وللمطلقات متاع بالمعروف حقا على المتقين) فعم عز وجل كل مطلقة ولم يخص، وأوجبه حقا لها على كل متق يخاف الله تعالى.
Artinya: Mut'ah hukumnya fardhu bagi setiap suami yang menceraikan istrinya, baik talak yang pertama, kedua atau talak yang ketiga, baik dia sudah menjima' istrinya atau belum. Argumentasi atas permasalahan tersebut berdasarkan firman Allah Swt (Kepada Wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mutah menurut yang maruf sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertaqwa. Q.S al-Baqarah ayat 241) Allah tidak Menghususkan (thalak bain maupun raji) dan Allah benar-benar mewajibkan bagi setiap orang yang bertakwa yang takut kepadanya.
Pendapat ibnu Hazm ini yang berbeda sendiri dengan pendapat ulama yang lain,
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar