Sabtu, 21 April 2018

Tinjauan Hukum (Pengertian,Tujuan, Fungsi)


Tinjauan Hukum (Pengertian,Tujuan, Fungsi)

A.    Pengertian Hukum
Para ahli hukum sampai sekarang tidak atau belum sepakat tentang definisi hukum.[1] Hampir semua ahli hukum berlainan pendapat tentang definisi hukum. Imanuel Kant lebih dari 150 tahun yang lalu menulis “Noch Suchen die Juristen eine Definition zu ihrem Begriffe von Recht”, (tidak seorang ahli hukum pun yang mampu membuat definisi tentang hukum). Ketidaksepakatan ini disebabkan persoalan lahan hukum sangat luas dan rumit, yaitu menyangkut luas dan rumitnya permasalahan kehidupan manusia. Kadang satu definisi memuaskan salah satu pihak dan tidak memuaskan pihak lain.[2]
Untuk mendapatkan gambaran tentang pengertian hukum, terlebih dahulu dapat ditelusuri dari makna secara etimologi. Kata hukum berasal dari حكم – يحكم – حكما , yang artinya menghukum, memutus, menetapkan.[3] Dalam bahasa latin hukum dikatakan terdapat banyak penyebutan, diantaranya:[4]
1.       recht yang berasal dari kata rectum yang mempunyai arti bimbingan atau tuntutan, atau pemerintahan.
2.       Ius yang berasal dari bahasa latin Iubere yang artinya mengatur atau memerintah.
3.       Lex, yang berasal dari kata Lasere, yang artinya mengumpulkan orang-orang untuk  diberi perintah.
Hukum dalam bahasa Inggris biasa menggunakan istilah law yang menurut Lawrence M. Friedman adalah a set of rules or norms, written or unwritten, about right and wrong behavior, duties, and rights, yang artinya seperangkat peraturan atau norma, tertulis maupun tidak tertulis, mengenai perilaku benar dan salah, kewajiban-kewajiban dan hak-hak.[5]
Sedang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, hukum memiliki arti: [6]
a.     Peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah;
b.     Undang-undang, peraturan dan sebagainya untuk mengatur pergaulan hidup mengatur pergaulan hidup masyarakat.
Sedang menurut fuqaha’ hukum adalah
ان الحكم هو الخطاب المتعلق بأفعال المكلفين بالإقتضاء او التخييراوالوضع,
Hukum adalah khitab (kalam) yang mengatur hukum perbuatan-perbuatan mukallaf, baik yang berupa iqtida’ (perintah, larangan, anjuran untuk melakukan atau anjuran untuk meninggalkan, atau penetapan sesuatu sebagai sebab atau syarat.[7]
Meskipun demikian, ada beberapa pakar hukum yang memberikan definisi, diantaranya:[8]
1. Menurut Prof. Mr. E. M. Meyers, hukum adalah semua aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan, ditunjukan kepada tingkah laku manusia dalam masyarakat yang menjadi pedoman bagi penguasa-penguasa negara dalam melakukan tugasnya.
2. Menurut Leon Duguit, hukum adalah aturan tingkah laku para anggota masyarakat, aturan yang daya penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh suatu masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersanma dan jika dilanggar menimbulkan reaksi bersama terhadap orang yang melakukan pelanggaran itu.
3. Menurut Immanuel Kant, hukum adalah keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini kehendak bebas dari orang yang satu dapat meyesuaikan diri dari kehendak bebas dari orang yang lain menuruti asas tentang kemerdekaan.
4. Menurut Utrecht, hukum adalah himpunan peraturan-peraturan (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan oleh karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu.
5. Menurut S.M. Amin, SH, hukum adalah kumpulan-kumpulan peraturan-peraturan yang terdiri dari norma dan sanksi-sanksi dan tujuan hukum adalah menciptakan ketertiban dalam pergaulan manusia, sehingga keamanan dan ketertiban terpelihara.
6. Menurut J.C.T. Simorangkir, hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingakh laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib. Pelanggaran terhadap peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan dengan hukum tertentu.
7. Menurut M.H. Tirtaamidjaya, SH, hukum adalah semua aturan (norma) yang harus dituruti dalam aturan tingkah laku tindakan-tindakan dalam pergaulan hidup dengan ancaman harus mengganti kerugian jika melanggar aturan.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa hukum adalah himpunan peraturan-peraturan yang dibuat oleh yang berwenang, dengan tujuan untuk mengatur tata kehidupan masyarakat yang mempunyai ciri memerintah dan melarang serta mempunyai sifat memaksa dengan menjatuhkan sanksi hukuman bagi mereka yang melanggarnya. Dari kesimpulan di atas bahwa hukum terkandung unsur-unsur:
1.     Adanya peraturan diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib dan tingkah laku manusia,
2.     Tujuan mengatur tata tertib kehidupan masyarakat,
3.     Peraturan itu bersifat memaksa, dan
4.     Adanya sanksi bagi pelanggaran terthadap peraturan tersebut.

B.    Hukum obyektif dan hukum subyektif
Hukum berdasarkan wujudnya dibagi menjadi dua, yaitu hukum obyektif dan hukum positif. Namun, menurut Kansil pembagian hukum berdasarkan golongan ini jarang digunakan orang.[9] Adapun penjelasannya sebagai berikut:[10]
1.     Hukum Obyektif
Hukum obyektif adalah kaidah hukum dalam suatu negara yang berlaku umum dan tidak dimaksudkan untuk mengatur sikap tindak orang tertentu saja. Hukum obyektif sebagai kaidah yang bersifat dan berlaku umum.
2.     Hukum subyektif
Hukum subyektif adalah hukum yang timbul dari hukum obyektif dan berlaku terhadap seorang tertentu atau lebih. Hukum subyektif ada juga yang menyebut sebagai hak, dan ada yang mengartikan sebagai hak dan kewajiban. Hukum subyektif dalam wujud hak dan kewajiban yang terbit bagi seorang tertentu atau lebih yang terlibat dalam suatu peristiwa hukum, perbuatan hukum, dan hubungan hukum yang memang telah diatur oleh hukum obyektif.[11]

  1.  Hak dan kewajiban
Hak adalah wewenang yang diberikan hukum obyek kepada subyek hukum. Wewenang yang diberikan kepada subyek hukum contohnya wewenang untuk memiliki tanah dan bangunan yang penggunanya diserahkan kepada pemilik itu sendiri.ia bebas melakukan tanah tersebut sesuai dengan undang-uundang.[12] Telah diketahui bahwa, hak itu ada manakala terjadi peristiwa hukum. Contohnya, suatu perjanjian jual beli rumah. Perjanjian tersebut dapat menimbulkan hak dan kewajiban jika kesepakatan itu terjadi mengenai harga, cara pembayaran, tempat transaksi dan sebagainya antara penjual rumah dan pembeli.
Prof. Mr.L.J. van Apeldoorn menegtakan dalam buku yang berjudul inleiding tot de studie van het Nederlandse yang saya kutip dari buku Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia bahwa hak adalah hukum yang dihubungkan dengan seorang manuisa atau subyek hukum tertentu dan dengan demikian menjelma menjadi suatu kekuasaan dan suatu hak timbul apabila hukum mulai bergerak.[13] Maka dari itu jika diamati, suatu hak dapat timbul karena beberapa sebab:
1.     Adanya subyek hukum baru, baik berupa orang maupun badan hukum
2.     Adanya perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak perjanjian
3.     Seseorang telah melakukan kewajiban yang merupakan syarat mutlak untuk memperoleh hak itu
4.     Kedaluarsa yang bersifat akuistif (acquistief verjaring) yaitu yang dapat melahirkan hak bagi seseorang.
Adapun hak dapat lenyap dari beberapa akibat:
1.     Pemegang hak tersebut meninggal dunia dan kebetulan tidak didapati pengganti atau ahli waris yang ditunjuk, baik oleh si pemegang hak itu sendiri maupun oleh hukum
2.     Masa berlakunya hak telah habis dan tidak dapat diperpanjang lagi. Misalnya sewa rumah yang telah habis masanya dan kebetulan oleh yang punya rumah tidak disewakan lagi
3.     Telah diterimanya suatu benda yang menjadi obyek hak itu sendiri. Misalnya seseorang yang mempunyai piutang pada orang lain. Hak menagih yang ia punya akan lenyap manakala si debitur telah melunasi utangnya
4.     Kadaluarsa yang bersifat ekstingtif yaitu, kadaluarsa yang menghapuskan hak. Misalnya sesorang yang mempunyai sebidang tanah yang diterlantarkan. Tanah itu kemudian selama tiga puluh tahun dipelihara, digarap, dan dikuasai oleh orang lain dan orang lain tersebut berhak atas tanah tersebut.
Selain hak, ada istilah lain yaitu kewajiban. Pengertian dari kewajiban adalah beban yang diberikan oleh hukum kepada orang atau badan hukum. Misalnya, kewajiban seseorang pegawai Negeri Sipil (PNS) golongan III ke atas dan pengusaha untuk membayar pajak penghasilan setelah dikurangi penghasilan tidak kena pajak (PTKP). Apabila diamati kewajiban itu timbul atas beberapa sebab:
1.     Diperolehnya sesuatu hak yang dengan syarat harus memenuhi kewajiban tertentu
2.     Adanya suatu perjanjian yang disepakati bersama
3.     Kesalahan seseorang yang menimbulkan kerugian bagi orang lain
4.     Telah menikmati hak tertentu yang harus diimbangi dengan kewajiba tertentu
5.     Kadaluarsa, misalnya adalah kewajiban baru membayar denda atas pajak kendaraan bermotor bagi yang telat membayar pajak.
Di samping timbul, kewajiban juga dapat hilang atas beberapa sebab:
a.      Meninggalnya seseorang yang mempunyai kewajiban tanpa ada yang menggantikannya, baik ahli waris maupun orang lain atau badan hukum yang ditunjuk oleh hukum
b.     Masa berlakunya telah habis dan tidak dapat diperpanjang kembali
c.      Kewajiban tersebut telah dipenuhi oleh yang bersangkutan
d.     Hak yang melahirkan kewajiban telah hilang
e.      Ketentuan undang-undang
f.      Kewajiban telah dialihkan atau beralih pada pihak lain
g.     di luar kemampuan manusia sehingga manusia dapat memenuhi kewajiban tersebut

D.    Tujuan hukum
Tujuan Allah mensyariatkan hukumnya adalah untuk memelihara kemaslahatan manusia, sekaligus untuk menghindari mafsadat, baik di dunia maupun di akhirat. Tujuan tersebut hendak dicapai melalui taklif, yang pelaksanaanya tergantung pada pemahaman sumber hukum yang utama, yakni alquran dan hadits. Ada yang mengatakan bahwa  tujuan hukum Islam adalah mengambil maslahat dan mencegah kerusakan. Adapun tujuan hukum Islam bila dilihat dari segi tingkat dan peringkat kepentngannya bagi manusia terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu:
1.     Tujuan primer (ad-daruriy)
Tujuan primer hukum Islam adalah tujuan hukum yang harus ada demi adanya kehidupan manusia. Apabila tujuan tersebut tidak tercapai, maka akan menimbulkan ketidak ajegan kemaslahatan hidup manusia di dunia dan akhirat, bahkan merusak kehidupan itu sendiri. Kebutuhan hidup yang primer ini hanya bisa dicapai bila terpeliharanya lima tujuan hukum Islam yang disebut maqashid as-syariah, lima tujuan utama hukum Islam yang telah disepakati oleh seluruh agamawan. Kelima tujaun utama ini adalah:
b.   Memelihara agama
Tujuan primer dalam memelihara agama yaitu memelihara dan melaksanakan kewajiban keagamaan yang masuk peringkat daruriyyat, seperti melaksanakan shalat lima waktu. Kalau shalat itu diabaikan maka terancamlah eksistensi agama.
c.    Memelihara jiwa
Tujuan primer dalam memelihara jiwa, seperti memnuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup. Kalau kebutuhan ini diabaikan, maka akan berakibat terancamnya eksistensi jiwa manusia.
b.     Memelihara akal
Tujuan primer dalam memlihara akal, seperti diharamkan meminum minuman keras. Jika ketentuan ini tidak diindahkan, maka berakibat terancamnya eksistensi akal.
c.      Memelihara keturunan atau kehormatan
Tujuan primer dalam memelihara keturunan, seperti disyariatkan menikah dan dilarang berzina.
d.     Memelihara harta
Tujuan primer dalam memelihara harta, seperti syariat tentang tata cara pemilikan harta dan larangan mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak sah.
2.   Tujuan Sekunder (al-hajjiyyat)
Tujuan sekunder hukum Islam adalah terpeliharanya tujuan kehidupan manusia yang terdiri atas berbagai kebutuhan sekunder hidup manusia itu. Kebutuhan sekunder ini bila tidak terpenuhi atau terpelihara akan menimbulkan kesempitan yang mengakibatkan kesulitan hidup manusia. Namun kesempitan hidup tidak akan mngakibatkan kerusakan yang emnimbulkan kerusakan hidup manusia secara umum. Kebutuhan hidup yang bersifat sekunder terdapat dalam:
a.    Ibadah
Terpeliharanya tujuan sekunder hukum Islam dalam ibadah umpamanya, dapat tercapai dengan adanya rukhshah shalat bagi mereka yang sedang dalam perjalanan atau mereka yang tengah mengalami kesulitan, baik katrena sakit atau karena sebab lainnya.
b.   Adat
Contoh tujuan hidup dalam bidang adat, seperti adanya kebolehan berburu dan menikmati segala yang baik-baik selama hal itu dihalalkan, baik berupa makanan, sandang, papan, dan sebagainya.
c.    Mu'amalah
Tujuan hukum sekunder dalam bidang mu’amalah dapat tercapai antara lain dengan adanya hukum musaqah dan salam. Musaqah merupakan sistem kerja sama dalam bidang pertanian, yakni sistem bagi hasil yang dikenal dengan sebutan paroan sawah. Jual beli salam merupakan sistem jual beli melalui pesanan dan pembayaran di muka atau di kemudian hari setelah terjadi penyerahan barang yang diperjualbelikan.
e.      Bidang hukum pidana atau jinayah
Contoh dalam bidang hukum pidana atau jinayah seperti adanya sistem sumpah dan denda dalam proses pembuktian dan pemberian sanksi hukum atas pelaku tindak pidana.
3.     Tujuan tertier (at-tahsiniyyat)
Tujuan tertier hukum Islam adalah tujuan hukum yang ditujukan untuk menyempurnakan hidup manusia dengan cara melaksanakan apa-apa yang baik dan paling layak menurut kebiasaan dan menghindari hal-hal yang tercela menurut akal sehat. Pencapaian tujuan tertier hukum Islam ini biasanya terdapat dalam bentuk budi pekerti yang mulia atau akhlaq al-karim.

E.     Fungsi hukum
Hukum Islam mempunyai fungsi Rahmatl lil Alamin. Hal ini diwujudkan dalam bentuk adanya aturan-aturan yang komprehensif di dalam alquran. Fungsi tersebut juga lebih ditekankan pada upaya tercipta dan terwujudnya ketertiban, keserasian, ketentraman, dan keamanan bagi setiapa umat manusia.
Menurut J.P. Glastra van Loon bahwa hukum mempunyai fungsi yang sangat penting, yaitu:
1.     Menertibkan masyarakat dan pengaturan pergaulan hidup
2.     Menyelesaikan pertikaian
3.     Memelihara dan mempertahankan tata tertib dan aturan-aturan
4.     Mengubah tata tertib dan aturan-aturan dalam rangka penyesuaian dengan kebutuhan masyarakat, dan
5.     Memenuhi tuntutan keadilan dan kepastian hukum dengan cara merealisasi fungsi di atas.
Sedangkan menurut Sjachran Basah, fungsi hukum dalam kehidupan masyarakat terutama di Indonesia, mempunyai fungsi, yaitu:
a. Direktif, sebagai pengarah dalam membangun  untuk membentuk masyarakat yang hendak dicapai sesuai dengan tujuan kehidupan bernegara;
b. Integratif, sebagai pembina kesatuan bangsa;
c. Substantif, sebagai pemelihara (termasuk ke dalamnya hasil-hasil pembangunan) dan penjaga keselarasan, keserasian, dan keseimbangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat;
d. Perfektif, sebagai penyempurna terhadap tindakan-tindakan administrasi negara, maupun sikap tindak warga dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat;
e. Korektif, dalam mendapatkan keadilan
Dalam perkembangan masyarakat, fungsi hukum dapat terdiri dari:
1.     Sebagai alat pengatur tata tertib hubungan masyarakat;
2.     Sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir dan batin
Hukum mempunyai ciri, sifat dan daya mengikat tersebut, maka hukum dapat memberi keadilan adalah dapat menentukan siapa yang salah dan siapa yang benar.
3.     Sebagai sarana penggerak pembangunan
Daya mengikat dan memaksa dari hukum dapat digunakan atau didayagunakan untuk menggerakkan pembangunan. Hukum dijadikan alat untuk membawa masyarakat ke arah yang lebih maju.
4.     Sebagai fungsi kritis
Dewasa ini sedang berkembang suatu pandangan bahwa hukum mempunyai fungsi kritis yaitu daya kerja hukum tidak semata-mata melakukan pengawasan pada aparatur pengawasan pada aparatur pemerintah (petugas) saja melainkan aparatur penegak hukum termasuk di dalamnya.
               Dari penyebutan fungsi hukum di atas, bahwa fungsi hukum adalah kadar kesadaran hukum               masyarakat dan pengayoman dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.


[1]Suparman Usman, Hukum Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001, hlm. 73
[2]Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1980, hlm. 33
[3]Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Mahmud Yunus Wa Dzurriyyah, 2010, hlm. 108
[4] R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hlm. 24
[5]Nur Syam, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Kementerian Agama Republik Indonesia, 2010, hlm. 37
[6]W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2006), hlm. 426
[7]Abi Yahya Zakaria, Ghoyah al- Wusul, (Indonesia: Haramain, 2001), hlm. 6
[8] Hasanuddin, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta : Pustaka Al Husna Baru, 2004, hlm. 1-2
[9] Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1980, hlm. 73
[10] Ibid.,
[12]Hasanuddin, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta : Pustaka Al Husna Baru, 2004, hlm. 86
[13] Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1980, hlm. 120

Tidak ada komentar:

Posting Komentar