Analisis Pendapat Ulama Tentang Hukum Suami Murtad dalam Pernikahan
Murtad dalam
pernikahan marak terjadi dewasa ini, dimana Indonesia dengan berbagai macam
agama dan kepercayaan tentu akan mengakibatkan bersinggungan antara agama satu
dengan agama yang lain, penulis melakukan penelitian hukum murtad dan
implikasinya dalam pernikahan.
Arti murtad
dalam penelitian ini adalah ketika orang yang beragama Islam berpindah selain
Islam, bukan berarti murtad ketika orang yang beragama bukan Islam pindah
ke-agama bukan Islam lainya, seperti yang dikemukakan Sayyid
Sābiq yang mendefinisikan riddah dengan: "Keluarnya seorang Muslim
yang telah dewasa dan berakal sehat dari agama Islam kepada kekafiran, baik
dengan niat, dengan kehendaknya sendiri tanpa paksaan dari siapa pun ".[1]
Dalam
murtadnya seseorang bisa terjadi dengan ucapan, perbuatan, maupun keyakinan,
disengaja maupun tidak, dan juga tanpa adanya paksaan, seperti yang dikemukakan
oleh Imam an-Nawawi asy-Syafi’i dalam kitab Minhaj ath-Thalibin Wa ‘Umdah
al-Muftiin:
Artinya: “Kitab tentang
riddah/kufur. Ridah adalah memutuskan Islam, baik karena niat, karena
perbuatan, atau karena perkataan, dan sama halnya mengatakannya untuk tujuan
menghinakan, atau karena mengingkari, dan atau karena meyakini (kata-kata kufur
tersebut)”.
Bagi
seorang yang murtad dalam pandangan fiqih tradisional, sangat jelas bahwa di
bawah hukum
Islam harus dihukum bunuh. Beberapa pandangan ahli hukum
klasik juga mengindikasikan bahwa, murtad memang harus
dihukum bunuh tanpa melihat konteks yang melatar belakangi turunnya perintah
bunuh yang ada dalam Qur’an dan Sunnah.[3]
Seperti yang dikemukakan imam sarakhsi dalam kitabnya:
قال : واذا ارتد المسلم عرض عليه إلاسلام فإن أسلم وإلا
قتل مكا نه إلا أن يطلب أن يؤجل فإذا طلب ذلك أجل ثلاثة أيام.[4]
Artinya: “Imam sarakhsi
berkata jikalau seorang muslim murtad maka di tuntut untuk kembali masuk islam, jika dia tidak
mau maka di tunggu sampai tiga hari,jika dia tetap dalam kemurtadan maka
bunuhlah”.
Penulis
lebih sependapat dengan Abdur Rahman smith yang mengemukakan hukuman bunuh bagi muslim merupakan
akibat dari kejahatan atau permusuhan terhadap Islam bukan karena kemurtadanya,
dalam
penelitianya mengatakan: “hukuman
bunuh yang ditegaskan al-Qur’an bukan karena kemurtadan, melainkan kejahatan
pidana dan permusuhannya kepada Allah dan rasul-Nya”[5]
dengan demikian, hadist
Nabi yang menegaskan secara tekstual hukum bunuh atas murtad “man baddala dīnahu
faqtulūh” harus dipahami secara kontekstual. Dalam hal ini Ibn Rushd
menegaskan bahwa penerapan hadist ini bukan kepada orang yang keluar dari Islam
(pindah agama), tetapi kepada mereka yang murtad yang hendak memerangi kaum muslimin.[6]
Penulis lebih
condong dengan sanksi bagi orang murtad adalah
mendapatkan laknat dari
Allah, para malaikat dan semua manusia melaknatnya, bahkan ketika menebus
dirinya dengan emas seisi bumi untuk memperoleh pengampunan, Allah tidak akan
mengampuninya. Kecuali mereka bertobat dan melakukan amal ke-bajikan. Jika
tidak, mereka memperoleh
siksa, dan tidak pula
mendapatkan penolong. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa sanksi atas
orang murtad adalah sanksi moral dan ukhrawi; dan bukan sanksi fisik, kecuali
jika ia memusuhi Islam, tegas Maḥmūd Shalṭūt.[7]
Fokus dalam
penelitian ini adalah hukum suami murtad dalam pernikahan menurut pendapat imam
Sarakhsi dan imam Juzai al-Kalbi dan implikasinya, yang mana terjadi perbedaan apakah
suami yang murtad akan terpisah dengan fasakh atau dengan thalak ba’in.
Pendapat yang pertama
adalah Imam as-Syarakhsi tentang hukum suami murtad dalam pernikahan yang
terdapat dalam kitab al-mabsũth, beliau menyatakan bahwa ketika suami
murtad, maka pernikahannya akan terpisah dengan thalak ba’in. berikut pendapat
beliau:
Artinya: “Seorang muslim apa bila ia
murtad/keluar dari Islam maka menurut kami istrinya menjadi terpisah darinya
(thalak ba’in), baik istrinya tersebut seorang muslimah atau seorang
kitabiyyah, serta sama halnya istrinya tersebut telah disetubuhi atau belum”.
Pendapat yang
lain dan merupakan pendapat yang kontra dengan pendapat yang pertama adalah
pendapat yang dikemukakan oleh imam Juzai Al-kalbi yang terdapat dalam kitab qawanin fiqhiyah, beliau menjelaskan bahwa ketika suami atau
istri murtad maka pernikahan akan menjadi fasakh,
dalam pendapatnya beliau tidak membedakan apakah yang murtad suami ataupun
istri hukumnya tetap sama yaitu fasakh, berikut teks dalam kitab beliau:
(الفرع الاول) إن ارتد أحد الزوجين انقطعت العصمة بفسخ[9]
Artinya:
“ketika murtad salah seorang istri taupun suami maka terpisah dengan cara
fasakh.”
Pendapat Imam
Sarakhsi dan Imam Juzai al-Kalbi tentang hukum suami murtad memiliki kesamaan
yaitu harus terpisahnya hubungan pernikahan, dan letak perbadaan dalam kedua
pendapat ini adalah dalam putusnya pernikahan tersebut, yang pertama adalah
pendapat Imam Sarakhsi yang menyatakan suami murtad harus terpisah dari
Istrinya dengan cara thalak ba’ín, berbeda dengan pendapat Imam Juzai al-Kalbi
yang menyatakan ketika suami murtad akan terpisah dari Istri dengan cara
fasakh.
Kedua imam
yang penulis kemukakan berafiliasi kepada madzhab yang berbeda, Imam Sarakhsi
berafiliasi kepada madzhab Hanafi dan Imam Juzai al-Kalbi menganut madzhab
maliki. sehingga sangat wajar jika terjadi perbedaan pendapat karena setiap
madzhab memiliki ciri khas metode istinbat masing-masing. Penulis mencoba
memahami metode istinbath ataupun alasan masing-masing imam yang menjadi sebab
terjadinya perbedaan pendapat, sehingga penulis mengharapkan mendapat pendapat
yang kuat (rajih).
Dalam redaksi Imam
Sarakhsi tidak penulis temukan dalil Al-qur’an maupun hadist yang bersandingan
dengan pendapat beliau sebagai sandaran, namun terdapat alasan yang mendasari
dan beliau juga menggunakan Qiyas dalam menentukan hukum suami murtad dalam
pernikahan, beliau ber-argumen bahwa murtad akan menjadikan pernikahan putus,
berikut teks dalam kitab beliau:
Mengenai putusnya pernikahan orang yang murtad, Imam Sarakhsi lebih
mengkhususkan, yaitu pernikahanya putus dengan thalaq ba’in, berikut pendapat
beliau:
Artinya: “Seorang
muslim apa bila ia murtad/keluar dari Islam maka menurut kami istrinya menjadi
terpisah darinya (thalak ba’in), baik istrinya tersebut seorang muslimah atau
seorang kitabiyyah, serta sama halnya istrinya tersebut telah disetubuhi atau
belum”.
Dasar Imam Sarakhsi dalam
menentukan hukum suami murtad adalah dengan menggunakan Qiyas, bahwa
perbedaan sebab-sebab ditiadakanya penikahan seperti pernikahan se-Mahram.
Beliau menyamakan hukum suami murtad dalam pernikahan dengan orang yang
se-mahram dalam pernikahan, berikut teks dalam kitab beliau:
Dapat penulis pahami bahwa dasar hukum
dari harus putusnya hubungan pernikahan karena murtad beliau qiyaskan
dengan dasar hukum harus putusnya pernikahan karena hubungan mahram, mahram
yang dapat dijadikan persamaan dalam hal ini adalah keharaman pernikahan yang
ghairu muabad.
Karena dalam mahram ghairu muabad dan
murtad dalam pernikahan memiliki illat yang sama yaitu sama-sama sebagai
mawani’ nikah yang sementara, sehingga ketika mani’ tersebut
telah hilang maka bisa melanjutkan pernikahan tersebut.
Pendapat imam
sarakhsi yang menyatakan murtad menyebabkan thalak ba’in, sejalan
dengan pendapat dalam madzhab beliau yakni madzhab hanafy, yang menyatakan dalam kitab Madzahib
al-Arba’ah:
وقال الحنفيه : اذا ارتد الزوج عن دينه بانت منه زوجته في الحال لأنه لايحل
للكافر أن يستولي علي المسلمة بحال من الاحوال ويفرق بينهما عاجلا بدون قضاء.[13]
Dalam madzhab Hanafi menyatakan ketika suami yang murtad maka seketika
istri ter-talak ba’in (بانت), karena orang kafir (murtad) tidak boleh
menguasai orang muslim. Dan dalam kasus seperti ini harus dipisah seketika
tanpa menunggu suatu putusan.
Pendapat yang senada juga terdapat
dalam kitab Bada’i al-Shana’i karya imam al-Kasani yang juga bermadzhab
Hanafi, berikut teks beliau:
ثُمَّ
الْفُرْقَةُ بِرِدَّةِ أَحَدِ الزَّوْجَيْنِ تَثْبُتُ بِنَفْسِ الرِّدَّةِ
فَتَثْبُتُ في الْحَالِ عِنْدَنَا[14]
Artinya: perpisahan itu terjadi dengan
murtadnya salah satu suami mauppun istri karena murtadnya itu sendiri terjadi
perpisahan seketika.
Pendapat
al-Kasani ini dalam teks menggunakan kata (فرقة) dalam
menjelaskan perpisahan nikah karena murtadnya suami, kemudian beliau menjelaskan
makna (فرقة) adalah thalak, berikut teks beliau:
Artinya:
Hukum
asli dalam perpisahan yaitu perpisahan dengan Thalaq.
Dalam
pendapat al-Kasani menyertakan alasan pengambilan hukum beliau, yaitu: yang
memiliki hak untuk pisah (thalaq) yaitu seorang laki-laki, sedangkan hakim bisa
memutus/memisahkan pernikahan suami istri karena menempati tempatnya seorang
laki-laki, sedangkan perempuan tidak memiliki hak untuk menthalaq, berikut
dalam teks beliau:
Penulis memahami bahwa alasan dari imam Sarakhsi tentang fasakhnya suami
dengan thalak ba’in karena murtad adalah sebagai berikut: pertama orang
yang murtad disamakan dengan orang yang se mahram dalam pernikahan. Dalam kitab
beliau terdapat sebuah kutipan dari sahabat Umar RA. Beliau mengirim surat dan memerintahkan
untuk memisahkan pernikahan antara orang majusi yang menikah dengan mahramnya.berikut
teks dalam kitab al-Mabsuth tersebut:
لِمَا
رُوِيَ أَنَّ عُمَرَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - كَتَبَ إلَى عُمَّالِهِ أَنْ
فَرِّقُوا بَيْنَ الْمَجُوسِ وَبَيْنَ مَحَارِمِهِمْ[17]
Artinya:
“sungguh
sayyidina umar RA mengirim surat terhadap pekerjanya untuk memisahkan antara
orang majusi yang menikah dengan mahrohnya.” (HR.
Al-Bukhari no. 302)
Keharaman menikahi mahram terdapat dalam al-Qur’an
surat an-Nisa’ ayat 23,
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ
وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ
الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ
الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ
مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ
بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ
أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ
إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
Artinya: “Diharamkan
atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu
yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu
yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki;
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang
menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua);
anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu
campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu
ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu)
isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan)
dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau;
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan (diharamkan juga
kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki
(Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan
dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan
hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina.”[18]
Alasan kedua adalah orang muslim tidak boleh dikuasai oleh
orang kafir. Dan pernikahan orang yang kafir (murtad) pernikahanya harus
secepatnya dipisahkan, Alasan ini terdapat dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat
141.
وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
سَبِيلًا
Artinya: dan Allah sekali-kali tidak akan
memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang
beriman.[19]
Pendapat yang kedua merupakan pendapat yang kontra dengan
imam Sarakhsi. Yaitu pendapat yang dikemukakan
oleh imam Juzai Al-kalbi yang terdapat dalam kitab qawanin fiqhiyah,
beliau menjelaskan bahwa ketika suami atau istri murtad maka pernikahan akan
menjadi fasakh.
Dalam
redaksi kitab imam Juzai Al-kalbi tidak penulis temukan
dalil yang bersandingan dengan pendapat beliau, sehingga penulis mencoba
memahami alasan-alasan yang terdapat dalam kitab beliau (qawanin fiqhiyah) tentang suami murtad dalam pernikahan.
Dalam kitab Qawanin
Fiqhiyah bab tentang rukun nikah beliau menyaratkan bagi kedua calon
mempelai harus beragama Islam, berikut
teks dalam kitab beliau:
Dapat
penulis pahami dari syarat bagi calon mempelai yang imam Juzai al-Kalbi kemukakan
keduanya harus beragama Islam, dan dalam pembahasan cabangnya beliau menyatakan
ketika seorang suami yang murtad akan terjadi fasakh nikahnya, sebagai berikut
teks beliau:
(الفرع الاول)
ان ارتد احد الزوجين انقطعت العصمة بفسخ[21]
Artinya: “ketika murtad salah
seorang istri taupun suami maka terpisah dengan cara fasakh.”
penulis memahami
bahwa dalil hukum suami yang murtad dalam pernikahan juga sama dengan dalil syarat
suami istri harus beragama Islam. Adapun dalil pernikahan harus seagama islam tercantum dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah:
221,
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ
مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلَا تُنْكِحُوا
الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ
وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى
الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ
لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
Artinya: Dan janganlah
kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik
hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita
mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari
orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang
Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil
pelajaran.[22]
Lebih jelas lagi terdapat dalam Al-Qur’an surat
al-Mumtahanah ayat 10:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ
مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ
عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لَا هُنَّ
حِلٌّ لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ وَآتُوهُمْ مَا أَنْفَقُوا وَلَا
جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَلَا
تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ وَاسْأَلُوا مَا أَنْفَقْتُمْ وَلْيَسْأَلُوا
مَا أَنْفَقُوا ذَلِكُمْ حُكْمُ اللَّهِ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Artinya: Hai orang-orang yang
beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman,
Maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang
keimanan mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar)
beriman Maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka)
orang-orang kafir. mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan
orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. dan berikanlah kepada
(suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. dan tiada dosa atasmu
mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. dan janganlah kamu
tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan
hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta
mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di
antara kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.[23]
Kedua ayat tersebut jelas larangan menikahi wanita musyrik ataupun
menikahkan orang lain dengan orang musyrik dan perintah melepas tali pernikahan
dengan orang kafir. Dengan ayat ini maka pernikahan di syaratkan haruslah
sama-sama beragama Islam, begitu pula pendapat imam Juzai al-Kalbi dalam
kitabnya qawanin fiqhiyah, beliau menejelaskan dalam cabang pembahasanya
bahwa ketika murtad salah seorang suami/istri maka pernikahanya akan batal
(fasakh).
Pendapat Imam Juzai al-Kalbi adalah
fasakh Karena sebab tidak terpenuhinya syarat yaitu Islam maka pernikahan
menjadi batal (fasakh), namun berbeda dengan imam Sarakhsi yang menganggap
batalnya dengan thalak ba’in karena beliau mengqiyaskan dengan haramnya
pernikahan karena mahram. Tentu implikasi dari kedua pendapat ini akan berbeda,
ketika fasakh maka akan terpisah tanpa masa iddah, dan ketika sudah kembali
Islam suami bisa menikah kembali tanpa adanya muhallil, namun ketika hukumnya
thalak ba’in maka istri harus menjalani masa iddah dan ketika ingin kembali
dalam pernikahan maka harus adanya muhallil.
A.
Relevansi Suami Murtad dalam Pernikahan dengan Konteks Hukum Di Indonesia
Al-Qur’an membahas soal pernikahan
secara rinci dalam banyak ayat. Kajian mendalam terhadap keseluruhan ayat
perkawinan tersebut menyimpulkan 5 prinsip perkawinan. Pertama, prinsip
monogami. Kedua, prinsip mawadah wa rahmah. Ketiga,
prinsip saling melengkapi dan melindungi. Keempat, prinsip mu’asharah
bil ma’ruf (pergaulan dengan sopan santun), baik dalam relasi
seksual maupun kemanusiaan. Kelima, prinsip memilih jodoh, baik bagi
laki-laki maupun perempuan.[1]
Di Indonesia
pengertian nikah tertera dalam Pasal 1 dan 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan serta Pasal 2, 3 dan 4 Kompilasi Hukum Islam.[2] Dalam KHI
(Kompilasi Hukum Islam) terdapat pada pasal 2 mendefinisikan: “Perkawinan menurut
hukum Islam adalah pernikahan, yaitu suatu akad yang sangat kuat atau mitsaqan
ghalidza untuk memenuhi perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah.”[3]
Hukum Indonesia yang mengatur syarat
suami dan istri harus Islam tidak jelas terdapat dalam sebuah pasal, hanya saja
pengaturanya secara umum terdapat dalam KHI pasal 4 yaitu: perkawinan sah,
apabila dilakukan menurut hukum islam sesuai dengan pasal (2) “pernikahan yaitu
suatu
akad yang sangat
kuat atau mitsaqan ghalidza untuk memenuhi perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah”, sehingga dalam pengaturan nikah bagi masysarakat muslim di
Indonesia tetap mengikuti aturan agama Islam.
Nikah
merupakan akad yang kuat dan merupakan ibadah, pernikahan adalah ikatan yang
sakral, kuat dan kekal yang harus dijaga hingga ajal yang memisahkan, nikah juga
termasuk ibadah lantas bagaimana ketika salah satu atau kedua pasangan pindah
agama (murtad), tentu tindakan ini akan merusak nilai ibadah yang terkandung
didalamnya.
Rusaknya
pernikahan karena seorang murtad ketika dilihat dalam hukum Indonesia tentu
akan terjadi kegalauan, karena dalam KHI yang menyebutkan konsekuensi seorang
yang murtad dalam pernikahan adalah batalnya pernikahan, batalnya tersebut
masih belum jelas apakah dengan fasakh ataukah batal dengan thalak ba’in.
Peraturan tentang orang yang
murtad dalam pernikahan terdapat dalam kompilasi Hukum Islam (KHI), terdapat
beberapa pasal yang menyebut kata murtad yaitu pada pasal 75, pada pasal ini
menyebutkan pembatalan nikah ada tiga dan yang pertama adalah perkawinan yang
batal karena salah satu suami atau istri murtad. Dalam pasal 116 menyebut
alasan-alasan terjadinya perceraian terdapat tujuan alasan, dan alasan yang
ketuju adalah peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya
ketidakrukunan dalam rumah tangga.[4]
Berawal dari pasal 75 dan 116 dalam
KHI, penulis mencoba menggali lebih jauh mengenai hukum suami murtad dalam
pernikahan, melalui penelitian terhadap pendapat para ulama dalam masalah ini.
Ulama
yang menjadi obyek penilitian penulis adalah imam Sarakhsi dan imam Juzai
al-Kalbi yang memiliki pendapat bebeda yang mereka kemukakan dalam kitab
masing-msing. Kedua
ulama ini berafilisia madzhab yang berbeda yaitu hanafiyah dan malikiyah.
Dalam
kitab al-Mabsuth imam Sarakhsi yang merupakan ulama bermadzhab hanafi
menyatakan bahwa suami yang murtad istri akan tertalak ba’in, berbeda dengan
pendapat ulama yang menganut madzhab maliki yaitu imam Juzai al-Kalbi dalam
kitabnya Qawanin Fiqhiyah menyatakan akibat murtad bagi suami maupun istri
adala fasakh nikah.
Kedua
pendapat ini sangat menarik untuk dikaji, karena keduanya memiliki dalil atau
alasan masing-masing yang mendasari pendapat tersebut, akan sangat berguna
ketika dapat mengambil/mengadopsi salah satu pendapat yang sesuai dengan
budaya, sosio, kultur, masayarakat Indonesia.
Letak
perbedaan kedua pendapat imam ini adalah akibat dari murtad merupakan thalak
ba’in ataukah fasakh, keduanya tentu memiliki implikasi yang berbeda pula, yang
pertama adalah thalak ba’in akan mengakibatkan pernikahan terputus dengan
memiliki masa iddah dan harus dengan muhallil ketika hendak merujuk kembali,
berbeda dengan fasakh yang mengakibatkan putus pernikahan tanpa masa iddah dan
dapat merujuk kembali tanpa muhallil.
Hukum
perkawinan Indonesia menggunakan kata perceraian dalam permasalahan ketika
terjadi suami atau istri yang murtad, sejalan dengan pendapat imam Sarakhsi
yang menyebut putusnya pernikahan dengan thalak ba’in, penulis menganggap pendapat
lebih tepat digunakan di Indonesia, karena ini merupakan kemaslahatan bagi
istri, dengan thalak ba’in istri akan menjalani masa iddah dan juga tidak
terputusnya tanggungan mantan suami. Seperti nafaqah iddah, nafaqah anak, dan
mahar yang masih terutang, sehingga istri akan tetap bisa melanjutkan kehidupan
tanpa hadirnya suami karena hak-haknya terpenuhi.
Ketika
thalak ba’in tentu akan memberi dampak psikologis bagi suami, karena dalam
thalak ba’in diharuskan adanya muhallil ketika ingin kembali menikahi mantan
istri, bagi suami tentu akan memberi tekanan psikis ketika murtad harus
menerima istrinya setelah nikah dengan orang lain, dampak ini juga akan memberi
tekanan bagi suami yang memiliki niat akan murtad.
Dengan thalak ba’in akan
memberi dampak yang baik untuk menjaga hubungan pernikahan dalam Islam, karena
bagi orang yang ingin murtad akan berpikir beribu kali dengan akibat yang harus
diterima ketika murtad, dan juga memberi kepastian bagi istri akan terpenuhinya
hak-haknya untuk melanjutkan kehidupan tanpa kehadiran suami.
[1] Siti
Musdah Mulia, Perempuan dan Hukum, (Jakarta: YOI, 2008), hlm. 146
[2] Nurul Irfan, Nasab dan Status Anak dalam
Hukum Islam, Jakarta: Amzah, 2013 , cet,2, hal: 54
[3]Kompilasi Hukum Islam, Pasal 2
[4] Tim Redaksi
Fokusmedia, 2007, Kompilasi Hukum Islam, Bandung, Fokusmedia, hlm. 26.
[1] al-Sayyid Sābiq, Fiqh al-Sunnah,Jilid
II, h. 451.
[2] Al-Imam Yahya ibn Syaraf an-Nawawi
asy-Syafi’i, Minhaj ath-Thalibin Wa ‘Umdah al-Muftin, hlm. 293
[3] Tri Wahyu Hidayati, Apakah Kebebasan
Beragama, Bebas Pindah Agama?, Perspektif
HUkum Islam dan HAM, (Surabaya: STAIN Salatiga Bekerja sama dengan JPBOOKS, 2008),
hlm. 46
HUkum Islam dan HAM, (Surabaya: STAIN Salatiga Bekerja sama dengan JPBOOKS, 2008),
hlm. 46
[4] al-Sarakhsi, al-mabsuth, Darul
makrifat, hlm 98
[5] Abdur Rahman ibn Smith, Rekonstruksi Makna
Murtad Dan Implikasi Hukumnya, Bagian Fatwa Masjid Besar Kauman Semarang
e-mail: rajapublishing@yahoo.com
hllm 188
[6] Ibn Rushd, Bidāyat al-Mujtahid., h. 342
[7] Lihat peenelitian, Abdur Rahman ibn Smith, Rekonstruksi
Makna Murtad Dan Implikasi Hukumnya, Bagian Fatwa Masjid Besar Kauman
Semarang e-mail: rajapublishing@yahoo.com yang mengutip Maḥmūd Shalṭūt,
Al-Islām ‘Aqīdah wa Sharī’ah (Mesir: Dār al-Qalam, 1966), h. 288-289.
[8]
al-Sarakhsi, al-mabsuth,………., h 98
[9] Juzai al-Kalbi, qawanin fiqhiyah, hlm. 132
[11]
al-Sarakhsi, al-mabsuth……., h 49
[14]Alauddin al-Kasani, Bada’i
al-Sana’i fi tartib al-syarai’,J. 2 Dar al-Fikr. h. 499
[16] Alauddin al-Kasani,
Bada’i al-Sana’i fi tartib al-syarai’,
[19] Alqur’an dan Terjemahannya, Kementrian
Agama RI,...
[20] Juzai al-Kalbi, qawanin fiqhiyah, hlm. 131
[21] Juzai al-Kalbi, qawanin fiqhiyah, hlm.
132
Tidak ada komentar:
Posting Komentar