Minggu, 01 April 2018

Analisis Pendapat Ulama Hukum Suami Murtad dalam Pernikahan dan Relevansinya dengan Hukum Indonesia



Analisis Pendapat Ulama Tentang Hukum Suami Murtad dalam Pernikahan
Murtad dalam pernikahan marak terjadi dewasa ini, dimana Indonesia dengan berbagai macam agama dan kepercayaan tentu akan mengakibatkan bersinggungan antara agama satu dengan agama yang lain, penulis melakukan penelitian hukum murtad dan implikasinya dalam pernikahan.
Arti murtad dalam penelitian ini adalah ketika orang yang beragama Islam berpindah selain Islam, bukan berarti murtad ketika orang yang beragama bukan Islam pindah ke-agama bukan Islam lainya, seperti yang dikemukakan Sayyid Sābiq yang mendefinisikan riddah dengan: "Keluarnya seorang Muslim yang telah dewasa dan berakal sehat dari agama Islam kepada kekafiran, baik dengan niat, dengan kehendaknya sendiri tanpa paksaan dari siapa pun ".[1]
Dalam murtadnya seseorang bisa terjadi dengan ucapan, perbuatan, maupun keyakinan, disengaja maupun tidak, dan juga tanpa adanya paksaan, seperti yang dikemukakan oleh Imam an-Nawawi asy-Syafi’i dalam kitab Minhaj ath-Thalibin Wa ‘Umdah al-Muftiin:
 ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻟﺮﺩﺓ : ﻫﻲ ﻗﻄﻊ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﺑﻨﻴﺔ ﺃﻭ ﻗﻮﻝ ﻛﻔﺮ ﺃﻭ ﻓﻌﻞ ﺳﻮﺍﺀ ﻗﺎﻟﻪ ﺍﺳﺘﻬﺰﺍﺀ ﺃﻭ ﻋﻨﺎﺩًﺍ ﺃﻭ ﺍﻋﺘﻘﺎﺩًﺍ[2]
Artinya: “Kitab tentang riddah/kufur. Ridah adalah memutuskan Islam, baik karena niat, karena perbuatan, atau karena perkataan, dan sama halnya mengatakannya untuk tujuan menghinakan, atau karena mengingkari, dan atau karena meyakini (kata-kata kufur tersebut)”.

Bagi seorang yang murtad dalam pandangan fiqih tradisional, sangat jelas bahwa di bawah hukum Islam harus dihukum bunuh. Beberapa pandangan ahli hukum klasik juga mengindikasikan bahwa, murtad memang harus dihukum bunuh tanpa melihat konteks yang melatar belakangi turunnya perintah bunuh yang ada dalam Qur’an dan Sunnah.[3] Seperti yang dikemukakan imam sarakhsi dalam kitabnya:
قال : واذا ارتد المسلم عرض عليه إلاسلام فإن أسلم وإلا قتل مكا نه إلا أن يطلب أن يؤجل فإذا طلب ذلك أجل ثلاثة أيام.[4]
Artinya: “Imam sarakhsi berkata jikalau seorang muslim murtad maka di tuntut untuk kembali masuk islam, jika dia tidak mau maka di tunggu sampai tiga hari,jika dia tetap dalam kemurtadan maka bunuhlah”.

Penulis lebih sependapat dengan Abdur Rahman smith yang mengemukakan hukuman bunuh bagi muslim merupakan akibat dari kejahatan atau permusuhan terhadap Islam bukan karena kemurtadanya, dalam penelitianya mengatakan: hukuman bunuh yang ditegaskan al-Qur’an bukan karena kemurtadan, melainkan kejahatan pidana dan permusuhannya kepada Allah dan rasul-Nya[5] dengan demikian, hadist Nabi yang menegaskan secara tekstual hukum bunuh atas murtad “man baddala dīnahu faqtulūh” harus dipahami secara kontekstual. Dalam hal ini Ibn Rushd menegaskan bahwa penerapan hadist ini bukan kepada orang yang keluar dari Islam (pindah agama), tetapi kepada mereka yang murtad yang hendak memerangi kaum muslimin.[6]
Penulis lebih condong dengan sanksi bagi orang murtad adalah  mendapatkan  laknat  dari  Allah, para malaikat dan semua manusia melaknatnya, bahkan ketika menebus dirinya dengan emas seisi bumi untuk memperoleh pengampunan, Allah tidak akan mengampuninya. Kecuali mereka bertobat dan melakukan amal ke-bajikan.  Jika  tidak,  mereka  memperoleh  siksa, dan  tidak  pula  mendapatkan penolong. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa sanksi atas orang murtad adalah sanksi moral dan ukhrawi; dan bukan sanksi fisik, kecuali jika ia memusuhi Islam, tegas Maḥmūd Shalṭūt.[7]
Fokus dalam penelitian ini adalah hukum suami murtad dalam pernikahan menurut pendapat imam Sarakhsi dan imam Juzai al-Kalbi dan implikasinya, yang mana terjadi perbedaan apakah suami yang murtad akan terpisah dengan fasakh atau dengan thalak ba’in.
Pendapat yang pertama adalah Imam as-Syarakhsi tentang hukum suami murtad dalam pernikahan yang terdapat dalam kitab al-mabsũth, beliau menyatakan bahwa ketika suami murtad, maka pernikahannya akan terpisah dengan thalak ba’in. berikut pendapat beliau:
ﻗﺎﻝ : ﻭﺇﺫﺍ ﺍﺭﺗﺪ ﺍﻟﻤﺴﻠﻢ ﺑﺎﻧﺖ ﻣﻨﻪ ﺍﻣﺮﺃﺗﻪ ﻣﺴﻠﻤﺔ ﻛﺎﻧﺖ ﺃﻭ ﻛﺘﺎﺑﻴﺔ ﺩﺧﻞ ﺑﻬﺎ ﺃﻭ ﻟﻢ ﻳﺪﺧﻞ ﺑﻬﺎ ﻋﻨﺪﻧﺎ[8]
Artinya: “Seorang muslim apa bila ia murtad/keluar dari Islam maka menurut kami istrinya menjadi terpisah darinya (thalak ba’in), baik istrinya tersebut seorang muslimah atau seorang kitabiyyah, serta sama halnya istrinya tersebut telah disetubuhi atau belum”.

Pendapat yang lain dan merupakan pendapat yang kontra dengan pendapat yang pertama adalah pendapat yang dikemukakan oleh imam Juzai Al-kalbi yang terdapat dalam kitab qawanin fiqhiyah, beliau menjelaskan bahwa ketika suami atau istri murtad maka pernikahan akan menjadi fasakh, dalam pendapatnya beliau tidak membedakan apakah yang murtad suami ataupun istri hukumnya tetap sama yaitu fasakh, berikut teks dalam kitab beliau:
(الفرع الاول) إن ارتد أحد الزوجين انقطعت العصمة بفسخ[9]
Artinya: “ketika murtad salah seorang istri taupun suami maka terpisah dengan cara fasakh.”

Pendapat Imam Sarakhsi dan Imam Juzai al-Kalbi tentang hukum suami murtad memiliki kesamaan yaitu harus terpisahnya hubungan pernikahan, dan letak perbadaan dalam kedua pendapat ini adalah dalam putusnya pernikahan tersebut, yang pertama adalah pendapat Imam Sarakhsi yang menyatakan suami murtad harus terpisah dari Istrinya dengan cara thalak ba’ín, berbeda dengan pendapat Imam Juzai al-Kalbi yang menyatakan ketika suami murtad akan terpisah dari Istri dengan cara fasakh.
Kedua imam yang penulis kemukakan berafiliasi kepada madzhab yang berbeda, Imam Sarakhsi berafiliasi kepada madzhab Hanafi dan Imam Juzai al-Kalbi menganut madzhab maliki. sehingga sangat wajar jika terjadi perbedaan pendapat karena setiap madzhab memiliki ciri khas metode istinbat masing-masing. Penulis mencoba memahami metode istinbath ataupun alasan masing-masing imam yang menjadi sebab terjadinya perbedaan pendapat, sehingga penulis mengharapkan mendapat pendapat yang kuat (rajih).
Dalam redaksi Imam Sarakhsi tidak penulis temukan dalil Al-qur’an maupun hadist yang bersandingan dengan pendapat beliau sebagai sandaran, namun terdapat alasan yang mendasari dan beliau juga menggunakan Qiyas dalam menentukan hukum suami murtad dalam pernikahan, beliau ber-argumen bahwa murtad akan menjadikan pernikahan putus, berikut teks dalam kitab beliau:
ولكنا نقول الردة تنافي النكاح[10]

Mengenai putusnya pernikahan orang yang murtad, Imam Sarakhsi lebih mengkhususkan, yaitu pernikahanya putus dengan thalaq ba’in, berikut pendapat beliau:
ﻗﺎﻝ : ﻭﺇﺫﺍ ﺍﺭﺗﺪ ﺍﻟﻤﺴﻠﻢ ﺑﺎﻧﺖ ﻣﻨﻪ ﺍﻣﺮﺃﺗﻪ ﻣﺴﻠﻤﺔ ﻛﺎﻧﺖ ﺃﻭ ﻛﺘﺎﺑﻴﺔ ﺩﺧﻞ ﺑﻬﺎ ﺃﻭ ﻟﻢ ﻳﺪﺧﻞ ﺑﻬﺎ ﻋﻨﺪﻧﺎ[11]
Artinya: “Seorang muslim apa bila ia murtad/keluar dari Islam maka menurut kami istrinya menjadi terpisah darinya (thalak ba’in), baik istrinya tersebut seorang muslimah atau seorang kitabiyyah, serta sama halnya istrinya tersebut telah disetubuhi atau belum”.
Dasar Imam Sarakhsi dalam menentukan hukum suami murtad adalah dengan menggunakan Qiyas, bahwa perbedaan sebab-sebab ditiadakanya penikahan seperti pernikahan se-Mahram. Beliau menyamakan hukum suami murtad dalam pernikahan dengan orang yang se-mahram dalam pernikahan, berikut teks dalam kitab beliau:
واعتراض سبب المنافي للنكاح موجب للفرقة بنفسه كالمحرمية[12]
          Dapat penulis pahami bahwa dasar hukum dari harus putusnya hubungan pernikahan karena murtad beliau qiyaskan dengan dasar hukum harus putusnya pernikahan karena hubungan mahram, mahram yang dapat dijadikan persamaan dalam hal ini adalah keharaman pernikahan yang ghairu muabad.
          Karena dalam mahram ghairu muabad dan murtad dalam pernikahan memiliki illat yang sama yaitu sama-sama sebagai mawani’ nikah yang sementara, sehingga ketika mani’ tersebut telah hilang maka bisa melanjutkan pernikahan tersebut.

Pendapat imam sarakhsi yang menyatakan murtad menyebabkan thalak bain, sejalan dengan pendapat dalam madzhab beliau yakni madzhab hanafy, yang menyatakan dalam kitab Madzahib al-Arba’ah:
وقال الحنفيه : اذا ارتد الزوج عن دينه بانت منه زوجته في الحال لأنه لايحل للكافر أن يستولي علي المسلمة بحال من الاحوال ويفرق بينهما عاجلا بدون قضاء.[13]
Dalam madzhab Hanafi menyatakan ketika suami yang murtad maka seketika istri ter-talak ba’in (بانت), karena orang kafir (murtad) tidak boleh menguasai orang muslim. Dan dalam kasus seperti ini harus dipisah seketika tanpa menunggu suatu putusan.
Pendapat yang senada juga terdapat dalam kitab Bada’i al-Shana’i karya imam al-Kasani yang juga bermadzhab Hanafi, berikut teks beliau:
ثُمَّ الْفُرْقَةُ بِرِدَّةِ أَحَدِ الزَّوْجَيْنِ تَثْبُتُ بِنَفْسِ الرِّدَّةِ فَتَثْبُتُ في الْحَالِ عِنْدَنَا[14]
Artinya: perpisahan itu terjadi dengan murtadnya salah satu suami mauppun istri karena murtadnya itu sendiri terjadi perpisahan seketika.
Pendapat al-Kasani ini dalam teks menggunakan kata (فرقة)  dalam menjelaskan perpisahan nikah karena murtadnya suami, kemudian beliau menjelaskan makna (فرقة) adalah thalak, berikut teks beliau:
فَكَانَ الْأَصْلُ في الْفُرْقَةِ هو فُرْقَةُ الطَّلَاقِ فَيُجْعَلُ طَلَاقًا ما أَمْكَنَ[15]
Artinya: Hukum asli dalam perpisahan yaitu perpisahan dengan Thalaq.
Dalam pendapat al-Kasani menyertakan alasan pengambilan hukum beliau, yaitu: yang memiliki hak untuk pisah (thalaq) yaitu seorang laki-laki, sedangkan hakim bisa memutus/memisahkan pernikahan suami istri karena menempati tempatnya seorang laki-laki, sedangkan perempuan tidak memiliki hak untuk menthalaq, berikut dalam teks beliau:
والاصل في التفريق هو الزج لأن الملك له, والقاضي ينوب منابه كما في الفرقه بالجب والعنه[16]
Penulis memahami bahwa alasan dari imam Sarakhsi tentang fasakhnya suami dengan thalak ba’in karena murtad adalah sebagai berikut: pertama orang yang murtad disamakan dengan orang yang se mahram dalam pernikahan. Dalam kitab beliau terdapat sebuah kutipan dari sahabat Umar RA. Beliau mengirim surat dan memerintahkan untuk memisahkan pernikahan antara orang majusi yang menikah dengan mahramnya.berikut teks dalam kitab al-Mabsuth tersebut:
لِمَا رُوِيَ أَنَّ عُمَرَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - كَتَبَ إلَى عُمَّالِهِ أَنْ فَرِّقُوا بَيْنَ الْمَجُوسِ وَبَيْنَ مَحَارِمِهِمْ[17]
Artinya: sungguh sayyidina umar RA mengirim surat terhadap pekerjanya untuk memisahkan antara orang majusi yang menikah dengan mahrohnya.” (HR. Al-Bukhari no. 302)
Keharaman menikahi mahram terdapat dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 23,
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
Artinya: “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina.”[18]
Alasan kedua  adalah orang muslim tidak boleh dikuasai oleh orang kafir. Dan pernikahan orang yang kafir (murtad) pernikahanya harus secepatnya dipisahkan, Alasan ini terdapat dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 141.
وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا
Artinya: dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.[19]
Pendapat yang kedua merupakan pendapat yang kontra dengan imam Sarakhsi. Yaitu pendapat yang dikemukakan oleh imam Juzai Al-kalbi yang terdapat dalam kitab qawanin fiqhiyah, beliau menjelaskan bahwa ketika suami atau istri murtad maka pernikahan akan menjadi fasakh.
Dalam redaksi kitab imam Juzai Al-kalbi tidak penulis temukan dalil yang bersandingan dengan pendapat beliau, sehingga penulis mencoba memahami alasan-alasan yang terdapat dalam kitab beliau (qawanin fiqhiyah) tentang suami murtad dalam pernikahan.
Dalam kitab Qawanin Fiqhiyah bab tentang rukun nikah beliau menyaratkan bagi kedua calon mempelai harus beragama Islam, berikut teks dalam kitab beliau:
وآما الزوجان فيعتبر فيهما سبعة اوصاف: (الاول) الاسلام[20]
Dapat penulis pahami dari syarat bagi calon mempelai yang imam Juzai al-Kalbi kemukakan keduanya harus beragama Islam, dan dalam pembahasan cabangnya beliau menyatakan ketika seorang suami yang murtad akan terjadi fasakh nikahnya, sebagai berikut teks beliau:
(الفرع الاول)  ان ارتد احد الزوجين انقطعت العصمة بفسخ[21]
Artinya: “ketika murtad salah seorang istri taupun suami maka terpisah dengan cara fasakh.”
penulis memahami bahwa dalil hukum suami yang murtad dalam pernikahan juga sama dengan dalil syarat suami istri harus beragama Islam. Adapun dalil pernikahan harus seagama islam tercantum dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah: 221,
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ  
Artinya: Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.[22]

Lebih jelas lagi terdapat dalam Al-Qur’an surat al-Mumtahanah ayat 10:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ وَآتُوهُمْ مَا أَنْفَقُوا وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَلَا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ وَاسْأَلُوا مَا أَنْفَقْتُمْ وَلْيَسْأَلُوا مَا أَنْفَقُوا ذَلِكُمْ حُكْمُ اللَّهِ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ  
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman Maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.[23]
Kedua ayat tersebut jelas larangan menikahi wanita musyrik ataupun menikahkan orang lain dengan orang musyrik dan perintah melepas tali pernikahan dengan orang kafir. Dengan ayat ini maka pernikahan di syaratkan haruslah sama-sama beragama Islam, begitu pula pendapat imam Juzai al-Kalbi dalam kitabnya qawanin fiqhiyah, beliau menejelaskan dalam cabang pembahasanya bahwa ketika murtad salah seorang suami/istri maka pernikahanya akan batal (fasakh).
Pendapat Imam Juzai al-Kalbi adalah fasakh Karena sebab tidak terpenuhinya syarat yaitu Islam maka pernikahan menjadi batal (fasakh), namun berbeda dengan imam Sarakhsi yang menganggap batalnya dengan thalak ba’in karena beliau mengqiyaskan dengan haramnya pernikahan karena mahram. Tentu implikasi dari kedua pendapat ini akan berbeda, ketika fasakh maka akan terpisah tanpa masa iddah, dan ketika sudah kembali Islam suami bisa menikah kembali tanpa adanya muhallil, namun ketika hukumnya thalak ba’in maka istri harus menjalani masa iddah dan ketika ingin kembali dalam pernikahan maka harus adanya muhallil. 
A.      Relevansi Suami Murtad dalam Pernikahan dengan Konteks Hukum Di Indonesia

Al-Qur’an membahas soal pernikahan secara rinci dalam banyak ayat. Kajian mendalam terhadap keseluruhan ayat perkawinan tersebut menyimpulkan 5 prinsip perkawinan. Pertama, prinsip monogami. Kedua, prinsip mawadah wa rahmah. Ketiga, prinsip saling melengkapi dan melindungi. Keempat, prinsip mu’asharah bil ma’ruf (pergaulan dengan sopan santun), baik dalam relasi seksual maupun kemanusiaan. Kelima, prinsip memilih jodoh, baik bagi laki-laki maupun perempuan.[1]
Di Indonesia pengertian nikah tertera dalam Pasal 1 dan 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan serta Pasal 2, 3 dan 4 Kompilasi Hukum Islam.[2] Dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) terdapat pada pasal 2 mendefinisikan: “Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu suatu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidza untuk memenuhi perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.”[3]
Hukum Indonesia yang mengatur syarat suami dan istri harus Islam tidak jelas terdapat dalam sebuah pasal, hanya saja pengaturanya secara umum terdapat dalam KHI pasal 4 yaitu: perkawinan sah, apabila dilakukan menurut hukum islam sesuai dengan pasal (2) “pernikahan yaitu suatu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidza untuk memenuhi perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”, sehingga dalam pengaturan nikah bagi masysarakat muslim di Indonesia tetap mengikuti aturan agama Islam.
Nikah merupakan akad yang kuat dan merupakan ibadah, pernikahan adalah ikatan yang sakral, kuat dan kekal yang harus dijaga hingga ajal yang memisahkan, nikah juga termasuk ibadah lantas bagaimana ketika salah satu atau kedua pasangan pindah agama (murtad), tentu tindakan ini akan merusak nilai ibadah yang terkandung didalamnya.
Rusaknya pernikahan karena seorang murtad ketika dilihat dalam hukum Indonesia tentu akan terjadi kegalauan, karena dalam KHI yang menyebutkan konsekuensi seorang yang murtad dalam pernikahan adalah batalnya pernikahan, batalnya tersebut masih belum jelas apakah dengan fasakh ataukah batal dengan thalak ba’in.
Peraturan tentang orang yang murtad dalam pernikahan terdapat dalam kompilasi Hukum Islam (KHI), terdapat beberapa pasal yang menyebut kata murtad yaitu pada pasal 75, pada pasal ini menyebutkan pembatalan nikah ada tiga dan yang pertama adalah perkawinan yang batal karena salah satu suami atau istri murtad. Dalam pasal 116 menyebut alasan-alasan terjadinya perceraian terdapat tujuan alasan, dan alasan yang ketuju adalah peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.[4]
Berawal dari pasal 75 dan 116 dalam KHI, penulis mencoba menggali lebih jauh mengenai hukum suami murtad dalam pernikahan, melalui penelitian terhadap pendapat para ulama dalam masalah ini. Ulama yang menjadi obyek penilitian penulis adalah imam Sarakhsi dan imam Juzai al-Kalbi yang memiliki pendapat bebeda yang mereka kemukakan dalam kitab masing-msing. Kedua ulama ini berafilisia madzhab yang berbeda yaitu hanafiyah dan malikiyah.
Dalam kitab al-Mabsuth imam Sarakhsi yang merupakan ulama bermadzhab hanafi menyatakan bahwa suami yang murtad istri akan tertalak ba’in, berbeda dengan pendapat ulama yang menganut madzhab maliki yaitu imam Juzai al-Kalbi dalam kitabnya Qawanin Fiqhiyah menyatakan akibat murtad bagi suami maupun istri adala fasakh nikah.
Kedua pendapat ini sangat menarik untuk dikaji, karena keduanya memiliki dalil atau alasan masing-masing yang mendasari pendapat tersebut, akan sangat berguna ketika dapat mengambil/mengadopsi salah satu pendapat yang sesuai dengan budaya, sosio, kultur, masayarakat Indonesia.
Letak perbedaan kedua pendapat imam ini adalah akibat dari murtad merupakan thalak ba’in ataukah fasakh, keduanya tentu memiliki implikasi yang berbeda pula, yang pertama adalah thalak ba’in akan mengakibatkan pernikahan terputus dengan memiliki masa iddah dan harus dengan muhallil ketika hendak merujuk kembali, berbeda dengan fasakh yang mengakibatkan putus pernikahan tanpa masa iddah dan dapat merujuk kembali tanpa muhallil.
Hukum perkawinan Indonesia menggunakan kata perceraian dalam permasalahan ketika terjadi suami atau istri yang murtad, sejalan dengan pendapat imam Sarakhsi yang menyebut putusnya pernikahan dengan thalak ba’in, penulis menganggap pendapat lebih tepat digunakan di Indonesia, karena ini merupakan kemaslahatan bagi istri, dengan thalak ba’in istri akan menjalani masa iddah dan juga tidak terputusnya tanggungan mantan suami. Seperti nafaqah iddah, nafaqah anak, dan mahar yang masih terutang, sehingga istri akan tetap bisa melanjutkan kehidupan tanpa hadirnya suami karena hak-haknya terpenuhi.
Ketika thalak ba’in tentu akan memberi dampak psikologis bagi suami, karena dalam thalak ba’in diharuskan adanya muhallil ketika ingin kembali menikahi mantan istri, bagi suami tentu akan memberi tekanan psikis ketika murtad harus menerima istrinya setelah nikah dengan orang lain, dampak ini juga akan memberi tekanan bagi suami yang memiliki niat akan murtad.
Dengan thalak ba’in akan memberi dampak yang baik untuk menjaga hubungan pernikahan dalam Islam, karena bagi orang yang ingin murtad akan berpikir beribu kali dengan akibat yang harus diterima ketika murtad, dan juga memberi kepastian bagi istri akan terpenuhinya hak-haknya untuk melanjutkan kehidupan tanpa kehadiran suami.



[1]  Siti Musdah Mulia, Perempuan dan Hukum, (Jakarta: YOI, 2008), hlm. 146
[2] Nurul Irfan, Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam, Jakarta: Amzah, 2013 , cet,2, hal: 54
[3]Kompilasi Hukum Islam, Pasal 2
[4] Tim Redaksi Fokusmedia, 2007, Kompilasi Hukum Islam, Bandung, Fokusmedia, hlm. 26.




[1] al-Sayyid Sābiq, Fiqh al-Sunnah,Jilid II, h. 451.
[2] Al-Imam Yahya ibn Syaraf an-Nawawi asy-Syafi’i, Minhaj ath-Thalibin Wa ‘Umdah al-Muftin, hlm. 293
[3] Tri Wahyu Hidayati, Apakah Kebebasan Beragama, Bebas Pindah Agama?, Perspektif
HUkum Islam dan HAM
, (Surabaya: STAIN Salatiga Bekerja sama dengan JPBOOKS, 2008),
hlm. 46
[4] al-Sarakhsi, al-mabsuth, Darul makrifat, hlm 98
[5] Abdur Rahman ibn Smith, Rekonstruksi Makna Murtad Dan Implikasi Hukumnya, Bagian Fatwa Masjid Besar Kauman Semarang e-mail: rajapublishing@yahoo.com hllm 188
[6] Ibn Rushd, Bidāyat al-Mujtahid., h. 342
[7] Lihat peenelitian, Abdur Rahman ibn Smith, Rekonstruksi Makna Murtad Dan Implikasi Hukumnya, Bagian Fatwa Masjid Besar Kauman Semarang e-mail: rajapublishing@yahoo.com yang mengutip Maḥmūd Shalṭūt, Al-Islām ‘Aqīdah wa Sharī’ah (Mesir: Dār al-Qalam, 1966), h. 288-289.
[8] al-Sarakhsi, al-mabsuth,………., h 98
[9] Juzai al-Kalbi, qawanin fiqhiyah, hlm. 132
[10] al-Sarakhsi, al-mabsuth……., h 49
[11] al-Sarakhsi, al-mabsuth……., h 49
[12] al-Sarakhsi, al-mabsuth……., h. 49
[13]Abdur rahman al-jaziri, Madzhabil al-arbaáh,................. h. 171
[14]Alauddin al-Kasani, Bada’i al-Sana’i fi tartib al-syarai’,J. 2 Dar al-Fikr. h. 499
[15] Alauddin al-Kasani, Bada’i al-Sana’i fi tartib al-syarai’,................. h. 499
[16] Alauddin al-Kasani, Bada’i al-Sana’i fi tartib al-syarai’,
[17] al-Sarakhsi, al-mabsuth…….... J. 5 h. 39.
[18] Alqur’an dan Terjemahannya, Kementrian Agama RI,...
[19] Alqur’an dan Terjemahannya, Kementrian Agama RI,...
[20] Juzai al-Kalbi, qawanin fiqhiyah, hlm. 131
[21] Juzai al-Kalbi, qawanin fiqhiyah, hlm. 132
[22] Al-Baqarah : 221
[23] Al-Mumtahanah: 10

Tidak ada komentar:

Posting Komentar