Minggu, 01 April 2018

Tinjauan Murtad Perspektif Agama Islam




TINJAUAN MURTAD PERSPEKTIF AGAMA ISLAM
1.       Pengertian Murtad
Berpindah agama dalam bahasa Arab disebut Riddah. Sedangkan murtad sendiri mengarah pada pelakunya, yaitu orang yang berbuat riddah. Riddah secara bahasa: artinya Ar-rujū’u ‘ani al sya’i ilā ghairihi (berpaling dari sesuatu kepada yang lainnya).[1]
Riddah diartikan oleh Sayyid Sābiq dalam Fiqh al-Sunnahnya dengan kembali dijalan asalnya, yaitu kembalinya seorang Muslim yang akil baligh, dari agama Islam kepada bentuk kafir tanpa ada paksaan dari manapun.[2] Lebih jelasnya Sayyid Sābiq mendefinisikan riddah dengan: "Keluarnya seorang Muslim yang telah dewasa dan berakal sehat dari agama Islam kepada kekafiran, baik dengan niat, dengan kehendaknya sendiri tanpa paksaan dari siapa pun ".[3]
Sementara Wahbah al-Zuhaylī dalam al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh, mengartikannya dengan kembali dari sesuatu kepada yang lainnya (al-rujū' 'an al-shay’ ilā ghayri). Dalam terminologi fikih, Wahbah al-Zuhaylī memaknai riddah dengan "Keluar dari agama Islam menjadi kafir, baik dengan niat, perkataan maupun perbuatan yang menyebabkan orang yang bersangkutan dikategorikan kufur/kafir".[4]
Imam an-Nawawi as-Syafi’i dalam kitab Minhaj ath-Thalibin Wa ‘Umdah al-Muftiin, menjelaskan riddah itu memutuskan agama islam, dan sama halnya dengan niat ataupun tanpa niat, dan sebab terjadinya murtad ada tiga pertama, karena ucapan, perbuatan dan keyakinan.
”: ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻟﺮﺩﺓ : ﻫﻲ ﻗﻄﻊ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﺑﻨﻴﺔ ﺃﻭ ﻗﻮﻝ ﻛﻔﺮ ﺃﻭ ﻓﻌﻞ ﺳﻮﺍﺀ ﻗﺎﻟﻪ ﺍﺳﺘﻬﺰﺍﺀ ﺃﻭ ﻋﻨﺎﺩًﺍ ﺃﻭ ﺍﻋﺘﻘﺎﺩًﺍ[5]
“Kitab tentang riddah/kufur. Ridah adalah memutuskan Islam, baik karena niat, karena perbuatan, atau karena perkataan, dan sama halnya ia mengatakannya untuk tujuan menghinakan, atau karena mengingkari, dan atau karena meyakini (kata-kata kufur tersebut)”.
Dalam kitab madzahib al-arba’ah, karya imam al-Jaziri menjelaskan bahwa murtad itu bisa terjadi karena ucapan, perbuatan dan keyakinan seseorang. Penjelasan ini hampir sama dengan imam yang lain.

ويكون ذلك (الردة) بصريح القول-كقوله : اشرك بالله, او قول يقتضي الكفر, كقوله: ان الله جشم كالاجسام – او بفعل يستلزم الكفر لزومل بينا كإ لقاء مصحف او بعضه ولو كلمة.[6]
“Riddah (murtad) ada kalanya dengan ucapan yang jelas, seperti ucapan saya menyukutukan allah, atau dengan ucapan yang mengandung arti kekufuran seperti sungguh allah mempunyai jisim (bentuk).dan juga ada kalanya riddah dengan perbuatan yang  mewajibkan kekufuran seperti halnya menjatuhkan qur’an atau sebagian nya walau kalimah.”
Dalam kitab qawanin fiqhiyyah, imam Juzai al-Kalbi (malikiyah) menjelaskan, bahwa murtad itu seorang yang sudah mukallaf keluar dari islam dengan ucapan yang jelas maupun tidak atau dengan perbuatan.
اما الردة فهو المكلف الذي يرجع عن الاسلام طوعا اما بالتصريح بالكفر واما بالفظ يقتضيه او يفعل يتضمنه[7]
“Adapun riddah (murtad) ialah seorang yang keluar dari agama islam baik secara jelas ataupun dengan lafadz yang memuat arti kafir atau dengan perbuatan yang mengandung arti kafir.”
Dari pengertian beberapa ulama fiqih tersebut, murtad bisa terjadi dengan sebab ucapan, perbuatan, maupun keyakinan seseorang. Ucapan seseorang bisa menyebabkan murtad dengan kata-kata yang jelas maupun kata yang mengandung makna kekufuran, ucapan tersebut dengan niat ataupun tidak, dengan terpaksa maupun atas kemauan sendiri, perbuatan yang menyebabkan kemurtadan sesorang berupa perbuatan yang mengandung arti kemurtadan seseorang, seperti seseorang yang membuang al-Qur’an, dan keyakinan yang menyebabkan seseorang murtad adalah berpalingnya iman/atau keyakinan seseorang dari kebenaran Islam.
Makna murtad disini adalah ketika muslim keluar/pindah ke non islam, bukan berati murtad ketika orang bukan islam pindah keagama bukan islam lainya, karena murtad berarti perpindahan dari kebenaran ke agama yang sesat atau tidak benar.

2.     Dasar Hukum murtad
            Perpindahan kepercayan atau agama dalam islam sangat fatal akibatnya menurut ulama-ulama salaf, hukuman bagi mereka adalah bunuh setelah diminta bertobat dan menolak, ulama salaf(klasik) memilki pendiri dengan dasar masing dengan pemahamanyang mumpuni pula, beberapa dasar dari al-Qur’an dan hadist diantaranya Firman Allah SWT, dalam Al-qur’an (surah al-Baqoroah; ayat 217) :
وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Artinya: “Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu Dia mati dalam kekafiran, Maka mereka Itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka Itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.”[8]
Dalam surat an-Nisa’ ayat 137
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا ثُمَّ كَفَرُوا ثُمَّ آمَنُوا ثُمَّ كَفَرُوا ثُمَّ ازْدَادُوا كُفْرًا لَمْ يَكُنِ اللَّهُ لِيَغْفِرَ لَهُمْ وَلَا لِيَهْدِيَهُمْ سَبِيلًا
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman kemudian kafir, kemudian beriman (pula), kamudian kafir lagi, kemudian bertambah kekafirannya, Maka sekali-kali Allah tidak akan memberi ampunan kepada mereka, dan tidak (pula) menunjuki mereka kepada jalan yang lurus”.[9]

            Dan juga dalam surat al-Mumtahanah ayat 10,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ وَآتُوهُمْ مَا أَنْفَقُوا وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَلَا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ وَاسْأَلُوا مَا أَنْفَقْتُمْ وَلْيَسْأَلُوا مَا أَنْفَقُوا ذَلِكُمْ حُكْمُ اللَّهِ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman Maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”.[10]

Sabda nabi Muhammad. SAW
حدثنا أبو النعمان محمد بن الفضل :حدثنا َّ حماد بن زيد، عن أيوب، عن عكرمة قال: يأت علي رضي الله عنه بزنادقة فأحرقھم، فبلغ ذلك ابن عباس فقال :لو كنت أنا لم أحرقھم، لنھي رسول الله صلى الله عليه وسلم( : تعذبوا بعذاب الله .)ولقتلتھم، لقول رسول الله صلى الله عليه وسلم( :من َّ بدل دينه فاقتلوه
Artinya: “Telah menceritakan kepadaku (imam Bukhārī) Abū Nu’mān Muḥammad bin Faḍl, telah menceritakan kepadaku Ḥammad bin Zaid. Dari Ayyūb dari Ikrimah dia berkata ‘Alī RA pernah membakar orang kafir zindiq, lalu hal itu sampai pada Ibnu Abbās, dan dia berkata: Sungguh aku belum pernah membakar mereka karena larangan Rasulullah Saw. “janganlah kamu mengazab mereka dengan azab Allah”. Dan saya membunuh mereka karena sabda Rasūlullāh Saw. “Barangsiapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah ia”.(HR. Bukhārī)[11]
3.   Sebab-sebab murtad
Beberapa penjelasan dari para ulama fiqih mengenai murtad. Imam an-Nawawi asy-Syafi’i dalam kitab Minhaj ath-Thalibin Wa ‘Umdah al-Muftiin,  menjelaskan riddah itu memutuskan agama islam, dan sama halnya dengan niat ataupun tanpa niat, sebab terjadinya ada tiga pertama, karena ucapan, perbuatan dan keyakinan.
”: ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻟﺮﺩﺓ : ﻫﻲ ﻗﻄﻊ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﺑﻨﻴﺔ ﺃﻭ ﻗﻮﻝ ﻛﻔﺮ ﺃﻭ ﻓﻌﻞ ﺳﻮﺍﺀ ﻗﺎﻟﻪ ﺍﺳﺘﻬﺰﺍﺀ ﺃﻭ ﻋﻨﺎﺩًﺍ ﺃﻭ ﺍﻋﺘﻘﺎﺩًﺍ[12]
 Artinya: “Kitab tentang riddah/kufur. Ridah adalah memutuskan Islam, baik karena niat, karena perbuatan, atau karena perkataan, dan sama halnya mengatakannya untuk tujuan menghinakan, atau karena mengingkari, dan atau karena meyakini (kata-kata kufur tersebut)”.
            Dalam kitab fiqh ala-madzahib al-arba’ah karya imam al-Jaziri menjelaskan bahwa murtad itu bisa terjadi karena ucapan, perbuatan dan keyakinan seseorang. Penjelasan ini hampir sama dengan imam yang lain.
ويكون ذلك (الردة) بصريح القول-كقوله : اشرك بالله, او قول يقتضي الكفر, كقوله: ان الله جشم كالاجسام – او بفعل يستلزم الكفر لزومل بينا كإ لقاء مصحف او بعضه ولو كلمة.[13]
Artinya: “Riddah (murtad) ada kalanya dengan ucapan yang jelas, seperti ucapan saya menyukutukan allah, atau dengan ucapan yang mengandung arti kekufuran seperti sungguh allah mempunyai jisim (bentuk).dan juga ada kalanya riddah dengan perbuatan yang mewajibkan kekufuran seperti halnya menjatuhkan qur’an atau sebagiannya walau satu kalimah.”
Lebih jelas menurut Sulaiman Rasjid dalam Fiqih islamnya mengatakan terjadinya riddah karena tiga sebab, yaitu:
1.     Perbuatan yang mengkafirkan, seperti sujud pada gerhana, sujud pada berhala, penyembahan matahari, dan lain-lainnya.
2.     Perkataan yang mengkafirkan, seperti menghina Allah SWT atau Rasulallah SAW, begitu juga memaki salah seorang nabi dan lain-lainnya.
3.     Iktikad (keyakinan) seperti meyakini alam kekal, Allah baru, menghalalkan yang haram seperti zina begitu juga sebaliknya dan lain sebagainya.[14]
Sebab murtad berasal dari berbagai keadaan, dan tindakan yang dapat menyebabkan beralihnya keyakinan hati kepada selain Allah, baik itu berupa ucapan, perbuatan, dan juga keyakinan. Dengan sengaja maupun tidak, dengan serius maupun gurauan, semuanya dapat membuat orang menjadi murtad.

4.     Akibat-akibat murtad  
Dalam kitab al-mabsuth, imam al-Sarkhasi (Hanafiyyah) menjelaskan:
قال : واذا ارتد المسلم عرض عليه الاسلام فإن أسلم والا قتل مكا نه الا ان يطلب ان يؤجل فإذا طلب ذلك اجل ثلاثة ايام.[15]
Artinya: “Imam sarakhsi berkata jikalau seorang muslim murtad maka di tuntut untuk kembali masuk islam ,jika dia tidak mau maka di tunggu sampai tiga hari,jika dia tetap dalam kemurtadan maka bunuhlah.”
Lebih lanjut tindakan riddah ini dipandang sebagai sebuah tindak pidana sehingga hukuman yang dijatuhkan atas orang murtad tersebut ialah hukuman mati. Secara normatif dengan mengacu kepada hadits:

حدثنا أبو النعمان محمد بن الفضل :حدثنا َّ حماد بن زيد، عن أيوب، عن عكرمة قال: يأت علي رضي الله عنه بزنادقة فأحرقھم، فبلغ ذلك ابن عباس فقال :لو كنت أنا لم أحرقھم، لنھي رسول الله صلى الله عليه وسلم( : تعذبوا بعذاب الله .)ولقتلتھم، لقول رسول الله صلى الله عليه وسلم( :من َّ بدل دينه فاقتلوه
Artinya: “Telah menceritakan kepadaku (imam Bukhārī) Abū Nu’mān Muḥammad bin Faḍl, telah menceritakan kepadaku Ḥammad bin Zaid. Dari Ayyūb dari Ikrimah dia berkata ‘Alī RA pernah membakar orang kafir zindiq, lalu hal itu sampai pada Ibnu Abbās, dan dia berkata: Sungguh aku belum pernah membakar mereka karena larangan Rasulullah Saw. “janganlah kamu mengazab mereka dengan azab Allah”. Dan saya membunuh mereka karena sabda Rasūlullāh Saw. “Barangsiapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah ia”.(HR. Bukhārī)[16]
Dalam pandangan fikih tradisional, sangat jelas bahwa di bawah hukum Islam, seorang yang murtad harus dihukum bunuh. Beberapa pandangan ahli hukum klasik juga mengindikasikan bahwa, murtad memang harus dihukum bunuh tanpa melihat konteks yang melatar belakangi turunnya perintah bunuh yang ada dalam Qur’an dan Sunnah.[17]
Hukuman bunuh bagi orang yang murtad sangat populer di kalangan kaum muslim, bahkan dengan dalil ini sebagian kaum muslim memanfaatkan untuk kepentingan pribadi maupun golongan nya, dengan mengafirkan muslim lain maupun golongan yang lain supaya mendapat hukuman mati.
Pendapat Abdur Rahman smith dalam penelitianya mengatakan: hukuman bunuh yang ditegaskan al-Qur’an bukan karena kemurtadan, melainkan kejahatan pidana dan permusuhannya kepada Allah dan rasul-Nya[18] dengan demikian, hadis Nabi yang menegaskan secara tekstual hukum bunuh atas murtad “man baddala dīnahu faqtulūh” harus dipahami secara kontekstual. Dalam hal ini Ibn Rushd menegaskan bahwa penerapan hadis ini bukan kepada orang yang keluar dari Islam (pindah agama), tetapi kepada mereka yang murtad yang hendak memerangi kaum Muslimin.[19]


[1] Maḥmūd Fuad Jadullāh, Aḥkām Al Hudūd Fī Al Sharī'ah Al Islāmiyah, (Kairo: al Hay'ah al Misriyah,1983) hlm. 137.
[2] al-Sayyid Sābiq, Fiqh al-Sunnah,Jilid II (Beirut: Dār al-Fikr, 1983), h. 381.
[3] al-Sayyid Sābiq, Fiqh al-Sunnah,Jilid II, h. 451.
[4] Wahbah Al-Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islam Adilatuh, Terj. Agus Effendi, Kajian Berbagai Mazhab, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2008) , h. 183.
[5] Al-Imam Yahya ibn Syaraf an-Nawawi asy-Syafi’i, Minhaj ath-Thalibin Wa ‘Umdah al-Muftin, hlm. 293
[6] Abdul Rahman al-Jaziri, madzahib al-arba’ah, Darul kitab Ilmiyah, hlm 372
[7] Juzai al-Kalbi, qawanin fiqhiyyah, hlm 239
[8] Alqur’an dan Terjemahannya, Kementrian Agama RI,...
[9] Alqur’an dan Terjemahannya, Kementrian Agama RI,...
[10] Abu Abdu Allah Muhammad ibn Isma’il ibn Ibrahim ibn al-Mughlrah al Bukhari, shahih al-Bukhori, “bab al-Targhib fi al-Nikah,juz 15, h 439
[11] Abū Abdillāh Muḥammad bin Ismā’īl al-Bukhārī, Ṣahīh al-Bukhārī, (ttp: Dar al- Fikr,
1981), Juz IV, hlm 196
[12] Al-Imam Yahya ibn Syaraf an-Nawawi asy-Syafi’i, Minhaj ath-Thalibin Wa ‘Umdah al-Muftin, hlm. 293
[13] Abdul Rahman al-Jaziri, madzahib al-arba’ah, Darul kitab Ilmiyah, hlm 372
[14] Sulaiman Rasjid, Fikih Islam, (bandung: Sinar baru Alginsindo, 2009), hlm.,446
[15] al-Sarakhsi, al-mabsuth, Darul makrifat, hlm 98
[16] Abū Abdillāh Muḥammad bin Ismā’īl al-Bukhārī, Ṣahīh al-Bukhārī, (ttp: Dar al- Fikr,
1981), Juz IV, hlm 196
[17] Tri Wahyu Hidayati, Apakah Kebebasan Beragama, Bebas Pindah Agama?, Perspektif
HUkum Islam dan HAM
, (Surabaya: STAIN Salatiga Bekerja sama dengan JPBOOKS, 2008),
hlm. 46
[18] Abdur Rahman ibn Smith, Rekonstruksi Makna Murtad Dan Implikasi Hukumnya, Bagian Fatwa Masjid Besar Kauman Semarang e-mail: rajapublishing@yahoo.com hllm 188
[19] Ibn Rushd, Bidāyat al-Mujtahid., h. 342

Tidak ada komentar:

Posting Komentar