Rabu, 04 April 2018

Pentingnya Wali dalam Pernikahan




1.   Pengertian Wali Nikah  
            Pengertian wali menurut bahasa (lughat) yaitu berasal dari bahasa Arab وليّ yang jamaknya  اولياءyang berarti kasih, pemerintah.[1] Sedangkan menurut istilah wali ialah orang yang berhak dan berkuasa untuk melakukan perbuatan hukum bagi orang yang berada dibawah perwaliannya menurut ketentuan syari’at.[2] Perwalian dalam istilah fiqih disebut wila<yah ,(الولاية) yang berarti penguasaan dan perlindungan. Oleh karena itu, wali dalam konteks pernikahan adalah orang yang mempunyai kuasa melakukan akad perkawinan terhadap mereka yang ada dibawah kuasanya yang telah ditetapkan oleh syara’.[3]
            Menurut Sayyid Sabiq perwalian merupakan ketentuan syari’at yang diberlakukan untuk orang lain, baik secara umum maupun secara khusus, perwalian jiwa dan perwalian harta. Namun dalam pembahasan ini perwalian yang dimaksud adalah perwalian atas jiwa dalam pernikahan.[4]
            Abdurrahman al-Jaziri mendefinisikan wali nikah sebagai berikut:
الولي فى النكاح هو الذي يتوقف عليه صحة العقد فلا يصح بدونه وهو الاب اووصية والقريب العاصب المعتق والسلطان والمالك[5]
            Artinya: “Wali  didalam nikah adalah orang yang mempunyai puncak kebijaksanaan atas keputusan yang baginya menentukan sahnya akad (pernikahan), maka tidaklah sah suatu akad tanpa dengannya, ia adalah ayah atau orang yang diberi wasiat, kerabat dari pihak ayah, mu’tiq (orang yang memerdekakan budak), sulthan dan penguasa yang berwenang.”
            Adapun perwalian yang diformulasikan oleh Wahbah Al-Zuhayli ialah kekuasaan otoritas yang diberikan kepada seseorang untuk secara langsung melakukan suatu tindakan sendiri tanpa harus bergantung (terkait) izin orang lain. Orang yang mengurusi atau menguasai suatu akad atau transaksi disebut dengan wali, yang secara harfiah bermakna yang mencintai teman dekat, sahabat, yang menolong, sekutu, pengasuh dan orang yang mengurus perkara atau urusan seseorang.[6]
                        Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang dimaksud dengan wali ialah orang yang menurut hukum (agama, adat) diserahi kewajiban mengurus anak yatim serta hartanya, sebelum anak tersebut beranjak dewasa. Wali juga bisa diartikan sebagai pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah yaitu yang melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki.[7]
            Dari beberapa pengertian wali diatas dapat penulis simpulkan bahwa perwalian dalam perkawinan adalah kekuasaan atau wewenang atas segolongan manusia yang dilimpahkan kepada orang yang sempura, karena kekurangan tertentu pada orang yang dikuasai, dan demi kemaslahatan orang tersebut, atau seseorang atau pihak yang memberikan izin pada berlangsungnya akad nikah antara laki-laki dan perempuan.    
2.   Dasar Hukum Wali Nikah  
                    Keberadaan seorang wali dalam akad nikah adalah suatu hal yang sangat urgen dan tidak sah suatu akad perkawinan yang dilakukan tanpa wali. Wali diposisikan sebagai rukun nikah menurut jumhur ulama’. Secara umum didalam Al-Qur’an tidak dijelaskan secara eksplisit keberadaan  wali dalam perkawinan. Akan tetapi, secara implisit  ayat tersebut mengisyaratkan adanya wali. Diantara beberapa ayat dan hadits Nabi yang menjelaskan posisi wali adalah sebagai berikut:
a.    Al-Qur’an
1)     Surat an-Nur ayat 32:
وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Artinya : “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”[8](Q.S. an-Nur ayat 32)

2)     Surat al-Baqarah ayat 221:
وَلا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا........
Artinya : “Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.”[9] (Q.S. al-Baqarah ayat 221)

Ayat pertama ditujukan kepada para wali untuk menikahkan orang-orang yang belum bersuami atau beristri. Hal ini menujukkan bahwa urusan pernikahan adalah urusan wali. Ayat yang kedua juga ditujukan kepada para wali supaya mereka tidak menikahkan wanita-wanita muslimah dengan laki-laki kafir. Khitab tersebut menunjukkan bahwa akad nikah adalah kuasa seorang wali.
3)     Surat al-Baqarah ayat 232:

وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوفِ
Artinya: “Apabila kamu menalak istri-istrimu, lalu habis idahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan diantara mereka dengan cara yang makruf.”[10](Q.S. al-Baqarah ayat 232)

Surat al-Baqarah ayat 232 tersebut memberikan pemahaman bahwa apabila seorang istri telah habis masa ‘iddahnya, dan tidak ada halangan lain yang ditetapkan agama, maka bekas suami, para wali atau siapapun tidak boleh menghalang-halangi wanita itu untuk menetapkan masa depannya menyangkut perkawinan. Siapa saja yang dipilih, baik laki-laki mantan suaminya atau pria lain yang ingin dikawininya, maka itu adalah haknya secara penuh, karena janda berhak atas dirinya daripada orang lain. Ayat ini ditujukan kepada para wali, jika mereka tidak memiliki hak dalam perwalian, tentu mereka tidak dilarang untuk menghalang-halangi.
     Sebab turunnya ayat tersebut adalah berdasarkan kisah Ma’qal bin Yasar yang mengawinkan saudara perempuannya dengan seorang laki-laki, yang kemudian laki-laki tersebut menceraikannya. Kemudian setelah masa iddah perempuan tersebut habis, laki-laki tersebut berkehendak untuk meminangnya kembali, dan perempuan tersebut juga ingin kembali kepada mantan suaminya. Namun Ma’qal bin Yasar menolaknya, maka turunlah ayat ini. Al-Hafiz dalam kitabnya  “Fathul Bari” yang dikutip oleh Sayyid Sabiq mengatakan bahwa asbabun nuzul ayat ini selain dari kisah Ma’qal ialah merupakan alasan yang kuat tentang hukum wali. Karena kalau wali tidak ada maka tidak perlu disebut menghalang-halangi dan sekira wanita tersebut boleh mengawinkan dirinya sendiri, maka tidak perlu ia kepada saudara laki-lakinya tersebut.[11]
b.     Al-Hadits
عَنْ سُليمان بن موسى عن الزّهرى عن عروة عا ئشة انّ النّبيّ ص.م. قال: اَيُّماَ امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ اِذْنِ وَلِيِّهاَ فَنِكاَحُهاَ باَطِلٌ فَاِنْ دَخَلَ بِهاَ فَلَهاَ الْمَهْرُ بِماَ اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهاَ فَاِنِ اشْتَجَرُواْ فاَالسُّلْطاَنُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهاَ (رواه الأربعة الاّ النسائ )[12]
 “Apabila seorang perempuan menikah tanpa izin walinya maka nikahnya batal, apabila si suami telah menggaulinya, maka bagi dia berhak menerima mahar sekadar menghalalkan farjinya. Apabila walinya enggan (memberi izin) maka wali hakim (pemerintah) yang menjadi wali bagi perempuan yang tidak memiliki wali.” )Riwayat Imam Empat kecuali al-Nasa’i).

Dalam hadits yang lain, dalam Sunan Ibnu Majah (Kitabun Nikah dan Kitabut Thalaq) disebutkan:
حد ثنا ابو كريب حثنا عبد الله ابن المبارك،عن حجّاج عن الزّهرى عن عروة 
عَنْ عاَ ئِشَةَ رَ ضِيَ اللهُ عَنْهاَ عَنِ النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قاَلَ: لاَ نِكاَحَ اِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشاَهِدِي عَدْلٍ (رواه أحمد و البيهقي)[13]
            Artinya: Telah meriwayatkan kepada kami Abu Kuraib: Telah meriwayatkan kepada kami Abdullah bin Mubarok, dari Hajjaj, dari Zuhri, dari Urwah, dari Aisyah r.a., Nabi SAW telah bersabda: “tidak sah suatu pernikahan, kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil.” (H.R. Amad dan Baihaqi).[14]

حد ثنا جميل بن الحسن العتكي حد ثنا محمّد بن مروان العقيليّ: حدثنا هشم ابن حسان عن محمّد بن  سرّين عن ابي هريرة قال: قال رسول الله ص.م. :لاتزوّج المرءة ولاتزوّج المَرأَ ة نَفْسهاَ فَاِنَّ الزّاَنِيَةَ هي الّتي تزَوّج نَفْسهاَ [15]
     Artinya: “Telah meriwayatkan kepada kami Jamil bin Hasan al-‘Atiki: telah meriwayatkan kepada kami Muhammad bin Marwan Al-Uqaili: Telah meriwayatkan kepada kami Hisyam bin Hasan, dari Muhammad bin Sirrin, dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah bersabda: “Seorang perempuan tidak boleh menikahkan perempuan lain, dan juga seorang perempuan tidak boleh menikahkan diri sendiri. Karena hanya perempuan berzinalah yang menikahkan dirinya sendiri.”
        
3.   Macam-macam Wali Nikah
                        Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid menyebutkan macam-macam wali ada tiga, yaitu: wali nasab, wali hakim dan wali maula.[16]   Sementara
itu Abdul Manan menyebutkan macam-macam wali yaitu: wali nasab, wali hakim, wali maula, dan wali muhkam. [17]
            Adapun macam-macam wali nikah dapat penulis uraikan sebagaimana  berikut:
a.     Wali Nasab
            Wali nasab adalah wali yang hak perwaliannya didasarkan karena adanya hubungan darah. Wali nasab dibagi menjadi dua yaitu wali aqrab dan wali ab’ad. Wali aqrab adalah orang yang hubungan kekeluargaanya sangat dekat dengan pihak mempelai perempuan. Dalam hal ini adalah seseorang yang mendapatkan bagian ‘as{abah dalam perkara waris.  Sedangkan wali ab’ad adalah wali yang hubungan kekerabatannya agak jauh, yaitu selain dari kelompok wali aqrab. 
            Apabila wali nikah yang berhak, urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah, atau karena wali nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu, atau sudah udzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya. Adapun hirarki wali nasab yaitu:
1)     Ayah kandung
2)     Kakek (dari garis Ayah) dan seterusnya keatas (dalam garis laki-laki)
3)     Saudara laki-laki sekandung
4)     Saudara laki-laki seayah
5)     Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung
6)     Anak laki-laki saudara laki-laki seayah
7)     Saudara laki-laki ayah sekandung (paman)
8)     Saudara laki-laki ayah sekandung (paman seayah)
9)     Anak laki-laki paman sekandung
10) Anak laki-laki paman seayah.[18]
                              Abapila urutan wali diatas tidak ada maka yang menjadi wali adalah hakim.
b.     Wali Hakim
            Wali hakim adalah wali nikah yang dilaksanakan oleh penguasa, karena wanita yang akan menikah tidak mempunyai wali.[19] Wewenang wali nasab akan berpindah kepada hakim apabila:
1)     Ada pertentangan antara wali dengan mempelai wanita (wali adlol).
2)     Bilamana walinya tidak ada, atau menghilang dan tidak diketahui keberadaanya.[20] Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
فَاِنِ اشْتَجَرُواْ فاَالسُّلْطاَنُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهاَ.......
Artinya: “Apabila walinya enggan (memberi izin) maka wali hakim (pemerintah) yang menjadi wali bagi perempuan yang tidak memiliki wali.”[21]

c.     Wali Maula
            Wali maula adalah wali yang menikahkan budaknya. Laki-laki boleh menikahkan perempuan yang berada dalam perwaliannya bilamana perempuan itu rela menerimanya. Maksud perempuan disini adalah hamba sahaya yang berada dibawah kekuasaannya.[22]
d.     Wali Muhakam
            Wali muhakam ialah wali yang terdiri dari seorang laki-laki yang bukan keluarga dari calon istri dan bukan  pula dari pihak penguasa, akan tetapi memiliki pengetahuan keagamaan yang baik dan dapat menjadi wali dari pemerintah. Keberadaan wali ini karena wali nasab, wali mu’tiq(maula,) dan wali hakim tidak ada.[23]
            Pendapat tersebut juga sesuai dengan pendapat al-Qurtubi yang dikutip oleh Sayyid Sabiq, mengatakan bahwa jika perempuan tinggal di tempat yang tidak ada penguasa dan juga tidak mempunyai wali, maka ia serahkan perwaliannya kepada tetangga yang dipercayai untuk menikahkannya.[24]

            Abdurrahman al-Jaziri, menyatakan jumhur ulama berpendapat bahwa wali nikah menurut macamnya dibagi menjadi dua, yaitu wali mujbir dan wali ghairu mujbir.
ينقسم الولي إلى قسمين: وليّ مجبر له حقّ تزويج بعض من له عليه الولاية بدون إذنه ورضاه وولي غير مجبر ليس له ذلك بل لا بدّ منه ولكن لايصح له أن يزوّج بدون إذن
من له عليه الولاية ورضاه. .[25]
       Artinya: “ Wali dibagi menjadi dua, yaitu wali mujbir yang baginya berhak untuk menjodohkan seseorang yang berada dalam perwaliannya meski tanpa seizin dan ridla orang yang diwakilkannya; kedua yaitu wali ghairu mujbir, baginya tidak ada hak seperti didalam wali mujbir melainkan sebaliknya, dan tidaklah sah baginya menjodohkan dengan tanpa seizin orang yang ada hak wali dan ridlanya.”

            Menurut Syaikh Kamaluddin Muhammad As-Sakandari (Hanafiah) perwalian juga dibagi menjadi dua, yaitu perwalian nadb atau istihbab dan perwalian mujbir.

الولاية فى النكاح نوعان ولاية ندب واستحباب وهوالولاية على البالغة العاقلة بكرا كانت أو ثيبا، وولاية اجبار وهوالولاية على الصغيرة بكرا كانت أو ثيبا،وكذالك الكبيرة المعتوهة والمرقوقة [26]
            Artinya: “ Perwalian dalam pernikahan dibagi menjadi dua yaitu perwalian nadb (sunah) dan istihbab yaitu perwalian bagi perempuan yang baligh, berakal baik perawan maupun janda; kedua perwalian mujbir yaitu perwalian bagi perempuan yang kecil baik perawan maupun janda, dan begitu juga untuk wanita dewasa  yang kurang waras dan budak. ”

4.   Wali Mujbir
            Wali mujbir adalah wali yang mempunyai wewenang langsung untuk menikahkan orang yang berada dibawah perwaliannya meskipun tanpa mendapat izin dari orang tersebut.[27] Menurut madzhab Syafi’i wali mujbir adalah ayah dan ayah dari ayah (kakek). Sedang menurut madzhab Hanafi, wali mujbir adalah berlaku bagi as{abah seketurunan terhadap anak yang masih kecil, orang gila, dan orang yang kurang akalnya.[28]
              الحنفية قالوا: لا وليّ إلاّ مجبر فمعنى الولاية تنفيذ القول على الغير سواء رضي او لم يرض فليس عندهم وليّ غير مجبر يتوقف عليه العقد. ويختص الولي المجبر
بإجبار الصّغير والصّغيرة مطلقا والمجنونة الكبار.[29]
            Artinya: “ Golongan Hanafiyah berpendapat bahwa tidak ada wali kecuali wali mujbir, karena arti dari perwalian disini adalah memutuskan pendapat atas orang lain baik ia rela maupun tidak, maka tidak ada wali bagi mereka kecuali wali mujbir yang dapat memutuskan pada akadnya, dan dikhususkan bagi wali mujbir untuk memaksa anak kecil perempuan secara mutlak, laki-laki dan perempuan yang majnun (gila) sekalipun mereka telah dewasa.”

الشافعية قالوا: الولي المجبر هو الاب،والجد وإن علا،والسيد  والولي غير المجبر
هو الأب،والجد، ومن يليهم من العصبات المتقدم ذكرهم، وقد عرفت أن الابن ليس
وليا عندهم.[30]
Dari kedua pendapat tersebut, terdapat perbedaan  mengenai definisi wali mujbir yang menyebabkan implikasi hukum dan konsekuensi yang berbeda. Menurut madzhab Hanafi wali mujbir ialah kewenangan seorang wali untuk menikahkan seorang perempuan karena hubungan darah, kepemilikan (hamba sahaya) untuk wanita kecil yang belum baligh atau belum cakap hukum seperti gila, idiot, dan lain-lain, terlepas dari dia seorang gadis ataupun janda. Jadi menurut madzhab Hanafi hak ijbar adalah hak yang dimikili oleh semua wali, baik wali kerabat maupun wali hakim, dengan alasan wanita yang telah dewasa dan cakap hukum, dia berhak untuk menikahkan dirinya sendiri.
     Menurut madzhab Syafi’i wali mujbir adalah wali yang berhak menikahkan wanita perawan, baik masih kecil atau telah dewasa walaupun tanpa persetujuan dari wanita tersebut. Dalam hal ini wali yang memiliki hak ijbar adalah ayah, dan kakek ketika ayah tidak ada. Terdapat perbedaan pendapat terkait hamba sahaya yang dapat dipaksa menikah oleh tuannya. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa seorang tuan dapat memaksa hamba sahayanya untuk kawin. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Imam Malik. Sedangkan menurut Imam As-Syafi’i hamba sahaya tidak boleh dipaksa kawin.[31] Perbedaan tersebut disebabkan apakah perkawinan itu merupakan kepentingan orang yang dibawah pengampuannya, atau sebagai jalan seorang tuan untuk memperoleh kesenangan.
            Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid menjelaskan bahwa persetujuan dalam nikah ada dua, yaitu dalam bentuk kata-kata bagi pihak laki-laki dan janda, dan dalam bentuk diam bagi seorang gadis sebagai tanda kerelaannya. Sedangkan untuk penolakannya harus dengan kata-kata.
الإذن في النكاح على ضربين: فهو واقع في حق الرجال والثيب من النساء
بالأ لفاظ، وهو في حق الأبكار المستأذنات واقع بالسكوت: أعني الرضا، وأما
الرد فبا للفظ .[32]
Para fuqaha sependapat bahwa wanita-wanita yang harus diminta persetujuannya dalam perkawinan adalah wanita-wanita janda dewasa, berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW:[33]
وَالثِّيِّبُ تُعْرِبُ عَنْ نَفْسِهاَ. (أخرجه ابن ماجه وأحمد)
   Artinya: “Janda berhak menyatakan pendapatnya tentang dirinya.” (HR. Ibnu Majah dan Ahmad)[34]
Para fuqaha berbeda pendapat tentang gadis dewasa yang boleh dinikahkan dengan tanpa persetujuannya. Perbedaan tersebut disebabkan oleh adanya pertentangan antara dalil khitab dengan ketentuan umum. Sabda Nabi Muhammad SAW:

وَالْبِكْرُ يَسْتَأْ مِرُهاَ أَبُوْهاَ (أخرجه مسلم)
            Artinya: ““Perawan diaturkan (urusannya) oleh ayahnya,.” (HR. Muslim)[35]
Kemudian terdapat dalil khitab, sabda Nabi Muhammad SAW:

تُسْتَأْ مَرُ الْيَتِيْمَةُ فِيْ نَفْسِهاَ وَلاَ تُنْكَحُ الْيَتِيْمَةُ إِلاَّ بِإِ ذْ نِهاَ (أخرجه أبو داود والترمذي)[36]
Artinya: “Gadis yatim itu dimintai pendapat tentang  dirinya, dan ia tidak boleh dinikahkan, kecuali  dengan persetujuannya.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)

            Hadis tersebut menyatakan anak yatim tidak boleh dinikahkan dengan tanpa persetujuannya. Hal ini memberikan pemahaman bahwa wanita yang berayah (tidak yatim) boleh tidak dimintakan persetujuannya ketika hendak dinikahkan, kecuali yang telah disepakati oleh jumhur fuqaha, yaitu persetujuan janda dewasa. Berdasarkan sabda Nabi SAW:
الثيبُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا (أخرجه مسلم و أبو داود)[37]
Artinya: Seorang janda lebih berhak terhadap dirinya sendiri dibandingkan walinya.” (HR. Mulim dan Abu Dawud).

Menurut Sayyid Sabiq hukum meminta izin kepada perempuan sebelum pernikahan adalah wajib. Hal itu karena pernikahan adalah hubungan yang abadi dan persekutuan yang tetap antara laki-laki dan perempuan. Keharmonisan tidak akan langgeng, cinta dan keselarasan tidak akan kekal selama ridla dari pihak perempuan tidak diketahui.[38] Menurut beliau akad atas perempuan yang belum dimintai izin dianggap tidak sah, dan dia memiliki hak untuk menuntut pembatalan demi menghapuskan tindakan wali diktator yang telah melakukan atasnya. Pendapat beliau ini berdasarkan riwayat beberapa hadis, diantaranya:
a.      Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
الثيبُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا ، وَالْبِكْرُتَسْتَأْ ذنُ نَفْسِهَا ، وَإِذْنُهَا صُمَاتُهَا .
Artinya: “ Janda lebih berhak ats dirinya sendiri, sementara perawan dimintai izin tentang dirinya, dan izinnya adalah diamnya.”[39]

b.     Abu Hurairah r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:

لاَ تُنْكَحُ الأْ يِّمُ حَتىَّ تُسْتأَمَرُ وَلاَ الْبِكْرُ حَتّىَ تُسْتَأْذَنُ.
Artinya: “Janda tidak boleh dinikahkan sebelum dimintai persetujuan, dan tidak pula perawan sebelum dimintai izin.” Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana izinnya?” Beliau bersabda,

أَنْ تَسْكُتَ.
“Dengan diam.”
c.      Khantsa’binti Khidam meriwayatkan bahwa ayahnya menikahkannya ketika dia sedang menjanda. Lalu dia mendatangi Rasulullah SAW, beliau pun menolak pernikahannya.

            Para ulama Hanafiyah berpendapat bahwa perwalian paksa (wali mujbir) ditetapkan bagi ‘as{abah nasabiyyah atas anak-anak kecil, orang gila, dan orang-orang bodoh. Sementara para ulama selain madzhab Hanafi membedakan anak-anak kecil dengan orang-orang gila dan orang-orang bodoh. Mereka sepakat atas ditetapkannya perwalian paksa terhadap orang gila, orang bodoh yaitu bagi ayah, kakek, pelaksana wasiat, dan penguasa. Imam malik dan Ahmad berpendapat bahwa perwalian ini ditetapkan bagi ayah dan pelaksan wasiat. Sedangkan menurut Imam Syafi’i perwalian ijbar ditetapkan bagi ayah dan kakek kepada anak atau cucu perempuan yang masih perawan.[40]
Persoalaan mengenai pengertian keperawanan terdapat  banyak penafsiran  dari para madzhab, diantaranya yaitu keperawanan diartikan sebagai norma bagi perempuan yang belum terjamah sama sekali.[41] Menurut Abdurrahman al-Jaziri status perawan dibagi menjadi dua, yaitu bikran hakiki dan bikran hukmi. Bikran hakiki yaitu perempuan yang belum terjamah walaupun sudah menikah. Hal ini karena ditinggal mati atau dicerai namun belum disetubuhi oleh suaminya, atau karena belum hilang status keperawanannya akibat hal yang tidak disengaja seperti jatuh, dan lain-lain. Adapun bikran hukmi yaitu perempuan yang telah bersetubuh karena perzinaan atau yang serupa dengan zina baik sekali atau lebih.[42] Menurut Imam Syafi’i, apabila seorang wanita dicampuri oleh seorang laki-laki dalam pernikahan yang sah maupun pernikahan yang tidak sah atau dizinai, baik wanita itu masih kecil atau telah baligh, maka hukumnya sama seperti janda, tidak boleh bagi bapak untuk menikah tanpa izin darinya.[43]
                        Sebelum membahas wali mujbir lebih jauh, maka sangat penting kita mengetahui dan memahami pemaknaan kata ijbar.  Pengertian ijbar muncul dalam bentuk konsep utuh dan makna yang sebenarnya, secara implisit akan tampak kemudian dalam penelusuran konsep tersebut karena kata ijbar mempunyai arti yang dikenal umum dalam bahasa Arab.[44] Secara etimologi kata ijbar berasal dari kata dasar اَجْبَرَ- يُجْبِرُ )ajbara-yujbiru) yang berarti memaksa. Sedangkan ijbar adalah bentuk mashdarnya yang berarti paksaan. [45] Secara terminologi ijbar ialah kebolehan bagi ayah atau kakek untuk menikahkan anak perempuan yang masih gadis tanpa izinnya. Dengan demikian ayah lebih berhak terhadap anaknya yang masih gadis daripada diri anak itu sendiri.[46] Dalam pengertian fiqih, ayah atau kakek dapat menikahkan anak perempuannya tanpa dibutuhkan persetujuan dari yang bersangkutan, yaitu perempuan yang masih gadis atau yang keperawanannya hilang bukan akibat seksual misalnya karena terjatuh, kemasukan jari dan semacamnya.
                        Ijbar perlu dibedakan dengan ikrah dan taklif. Meskipun secara etimologi ketiganya bermakna paksaan. Ikrah adalah suatu paksaan terhadap seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu dengan ancaman yang membahayakan terhadap jiwa atau tubuhnya, dan ia tidak mampu melawannya.[47]
       Terdapat ayat Alqur’an yang menggunakan kata Ikrah:
لا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ....
            Artinya: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.”[48] (QS. Al-Baqqrah: 256)

            Kemudian taklif adalah suatu paksaan terhadap seseorang untuk mengerjakan sesuatu. Akan tetapi pekerjaan ini sebenarnya merupakan konsekuensi logis belaka dari penerimaanna atas suatu hukum atau keyakinannya.[49] Terdapat ayat Alqur’an:
لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا....
     Artinya:“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”[50] (QS. Al-Baqqrah: 256)

            Sedangkan ijbar adalah tindakan untuk melakukan perkawinan bagi anak gadisnya atas dasar tanggung jawab yang hanya bisa dilakukan oleh ayah atau kakek. Ijbar dimaksudkan sebagai bentuk perlindungan atau tanggung jawab seorang ayah kepada anaknya. Karena keadaan anaknya yang dianggap belum atau tidak memiliki kemampuan untuk bertindak.[51]
            Sementara itu wacana yang berkembang dalam tradisi masyarakat adalah orang tua seringkali memaksa anaknya untuk menikah atau menikahkan anaknya dengan pilihannya, bukan pilihan anaknya yang populer dengan sebutan kawin paksa. Dalam masyarakat seringkali hukum ijbar dalam fiqh dijadikan legitimasi kewenangan seorang ayah menikahkan anak gadisnya dengan paksa. Hal ini merupakan kesalahan mendasar dalam memahami makna ijbar dan ikrah.
            Menurut Sayyid Sabiq perwalian paksa berlaku kepada orang yang kehilangan kapabilitas, seperti orang gila dan anak kecil yang tidak mumayiz, sebagaimana hal itu juga berlaku kepada orang yang kapabilitasnya tidak sempurna, seperti anak kecil yang mumayiz dan orang bodoh yang mumayiz.[52] Makna berlakunya perwalian paksa bagi mereka adalah bahwa wali boleh melakukan akad pernikahan bagi mereka tanpa harus minta pendapatnya. Akadnya sah tanpa bergantung kepada ridla dari mereka.
                        Syariat telah menetapkan perwalian paksa (ijbar) demi memelihara kepentingan orang yang berada dibawah perwaliannya. Hal ini karena seseorang yang kehilangan kapabilitas atau kapabilitasnya tidah sempurna, ia tidak dapat melihat kepentingan dan kebutuhannya serta tidak memiliki kemampuan rasional untuk mengetahui kemaslahatan dalam akad-akad yang diadakannya. Oleh karena itu, tindakan-tindakan bagi orang tersebut diserahkan kepada walinya.[53]



[1] Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsiran Al Qur’an,1983), hlm. 507
[2] Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam Studi Perbandingan dalam Kalangan Ahlussunnah dan Negara-negara Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1998), hlm. 134
[3]   Musthofa Al-Khin dkk., Kitab Fiqih Madzhab Syafi’i, terj. Azizi Ismail dan M. Asri Hasim, (Kualalumpur: Pustaka Salam, 2002), hlm. 622
[4]  Sayyid Sabiq, Fiqih Sunah, terj. Khairul Amru Harahap, dkk. (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2008), hlm. 368
[5]  Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala Madzahibil ‘Arba’ah, Juz IV, (Beirut: Darl Al-Kutb al-Ilmiyah, t.t, hlm. 29
[6]  Dikutip Amin Suma, Hukum Islam di Dunia Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, ed. Revisi 2005), hlm. 134
[7] Frista Artmanda W, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Jombang: Lintas Media, t.t), hlm.347
[8] Alqur’an dan Terjemahannya, Kementrian Agama RI, (Bandung: Jabal Raudlatul Jannah, 2010
[9]   Alqur’an dan Terjemahannya, Kementrian Agama RI.....
[10] Alqur’an dan Terjemahannya, Kementrian Agama RI.....
[11]  Dikutip dari Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Juz II, (Beirut: Dar Fikr, 1995), hlm. 197
[12] Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, juz. II, (Beirut:Dar al-Kutub al- ‘Alamiyah, t.t.), hlm.95
[13] Muhammad Yazid al-Qozwaini, Sunan Ibnu Majah, juz 1, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), hlm. 605
[14] Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin, Edisi Lengkap Fiqih Madzhab Syafi’i buku 2, Muamalah, Munakahat, Jinayah, (Bandung: CV Pustaka Setia), hlm. 271
[15]  Muhammad Yazid al-Qozwaini, Sunan Ibnu Majah, hlm. 606
[16]  Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, terj. M. A Abdurrahman, A. Haris Abdullah,  Juz 2, cet. Ke- , (Semarang: CV. Asy-Syifa’, 1990), hlm. 365
[17]  Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), hlm. 61
[18]  Direktorat Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama IAIN Jakarta Departemen Agama,  Ilmu Fiqh,  (Jakarta: IAIN Jakarta, jil. 2, 1983), hlm. 107
[19]   Abdul Manan,  Aneka Masalah Hukum......, hlm. 206
[20]   Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, hlm. 206
[21]  Alqur’an dan Terjemahannya, Kementrian Agama RI.....
[22] Tihami dan Sohari, Fikih Munakahat, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009), hlm.99
[23]  Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia Berlaku Bagi Umat Islam, (Jakarta: UI Press, tt.), hlm. 65-66
[24]   Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, hlm. 205
[25]  Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala Madzahib al-‘arba’ah, (Lebanon: Dar al-Kutbal-Ilmiyah, 2010), hlm. 720
[26]  Kamaluddin Muhammad As-Sakandari, Syarah Fathul Qadir, (Beirut:Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1995), hlm.246
[27] Abdul Ghofur Anshori, Perkawinan Islam Perspektif Fikih dan Hukum Positif. (Yogyakarta: UII Press.2011), hlm.40
[28]  Direktorat Pembinaan Prasarana....., Ilmu Fiqh,  hlm. 107
[29]  Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala Madzahib al-‘arba’ah, hlm. 720
[30]  Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala Madzahib al-‘arba’ah, hlm. 720
[31]  Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Beirut: Dar Al-Jill, 1989), terj. Imam Ghazali Said dan Achmad Zaidun, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), hlm. 400
[32]  Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid   Wa Nihayah al-Muqtashid, (Kairo: Maktabah Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah, juz 2, tt.), hlm. 3
[33]  Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, terj. Imam Ghazali...., hlm. 400
[34]  Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, terj. Imam Ghazali...., hlm. 401
[35]  Wahbah Zuhaili, Fiqih Islam....., hlm. 181
[36]  Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid  ...., hlm. 4
[37]  Imam An-Nawawi, Al-Minhaj Syarh Shahih...., hlm. 889
[38]  Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, terj. Moh. Abidun dkk,  (Jakarta: Pena Pundi Aksara, cet. 2, 2010), hlm. 377
[39]   Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, hlm. 378
[40]  Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, hlm. 381
[41] Miftahul Huda, Kawin Paksa “ Ijbar Nikah dan Hak-hak Reproduksi Perempuan”, (Yogyakarta: STAIN Ponorogo Press, 2009), hlm. 31
[42]  Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala Madzahibil ‘Arba’ah, dikutip oleh Miftahul Huda, Kawin Paksa....., hlm. 31
[43]  As-Syafi’i, Al-Umm, terj. Rosadi Imron, dkk. (Jakarta: Pustaka Azam, 2009), hlm. 444
[44] Taufiq Hidayat, “Rekonstruksi Konsep Ijbar”, Jurnal Syariah dan Hukum, STAI An-Nawawi, hlm. 5
[45] Adib Bisri dan Munawwir A. Fatah, Kamus Al-Bisri, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1999), hlm. 238
[46] Abi Abdillah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, al-Umm, (ttp: t.t), jil. V, hlm. 162-163 dikutip oleh Taufiq Hidayat, “Rekonstruksi Konsep Ijbar”, ......., hlm. 6
[47] Miftahul Huda, Kawin Paksa....., hlm. 28
[48] Alqur’an dan Terjemahannya, Kementrian Agama RI.....
[49]  Miftahul Huda, Kawin Paksa......, hlm. 28
[50]  Alqur’an dan Terjemahannya, Kementrian Agama RI.....
[51] Husein Muhammad, Fiqh Perempuan Reflesi Kiai Wacana Agama dan Jender, cet. Ke-2, (Yogyakarta: LKIS, 2002), hlm. 80
[52]  Sayyid Sabiq, Fiqih Sunah, terj. Moh. Abidun, dkk. , (Jakarta: Pena Pundi Aksara, cet. 2, 2010), hlm. 380
[53]   Sayyid Sabiq, Fiqih Sunah, terj. Moh. Abidun, hlm. 380

1 komentar: