1. Pengertian Wali Nikah
Pengertian
wali menurut bahasa (lughat)
yaitu berasal dari bahasa Arab وليّ yang jamaknya اولياءyang berarti
kasih, pemerintah.[1]
Sedangkan menurut istilah wali ialah orang yang berhak dan berkuasa untuk
melakukan perbuatan hukum bagi orang yang berada dibawah perwaliannya menurut
ketentuan syari’at.[2]
Perwalian dalam istilah fiqih disebut wila<yah ,(الولاية) yang berarti penguasaan dan
perlindungan. Oleh karena itu, wali dalam konteks pernikahan adalah orang yang
mempunyai kuasa melakukan akad perkawinan terhadap mereka yang ada dibawah
kuasanya yang telah ditetapkan oleh syara’.[3]
Menurut
Sayyid Sabiq perwalian merupakan ketentuan syari’at yang diberlakukan untuk
orang lain, baik secara umum maupun secara khusus, perwalian jiwa dan perwalian
harta. Namun dalam pembahasan ini perwalian yang dimaksud adalah perwalian atas
jiwa dalam pernikahan.[4]
Abdurrahman al-Jaziri mendefinisikan wali
nikah sebagai berikut:
الولي فى النكاح هو الذي
يتوقف عليه صحة العقد فلا يصح بدونه وهو الاب اووصية والقريب العاصب المعتق
والسلطان والمالك[5]
Artinya:
“Wali didalam nikah adalah orang yang
mempunyai puncak kebijaksanaan atas keputusan yang baginya menentukan sahnya
akad (pernikahan), maka tidaklah sah suatu akad tanpa dengannya, ia adalah ayah
atau orang yang diberi wasiat, kerabat dari pihak ayah, mu’tiq (orang yang
memerdekakan budak), sulthan dan penguasa yang berwenang.”
Adapun
perwalian yang diformulasikan oleh Wahbah Al-Zuhayli ialah kekuasaan otoritas
yang diberikan kepada seseorang untuk secara langsung melakukan suatu tindakan
sendiri tanpa harus bergantung (terkait) izin orang lain. Orang yang mengurusi
atau menguasai suatu akad atau transaksi disebut dengan wali, yang secara
harfiah bermakna yang mencintai teman dekat, sahabat, yang menolong, sekutu,
pengasuh dan orang yang mengurus perkara atau urusan seseorang.[6]
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang dimaksud dengan wali ialah orang yang
menurut hukum (agama, adat) diserahi kewajiban mengurus anak yatim serta
hartanya, sebelum anak tersebut beranjak dewasa. Wali juga bisa diartikan
sebagai pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah yaitu yang melakukan
janji nikah dengan pengantin laki-laki.[7]
Dari beberapa
pengertian wali diatas dapat penulis simpulkan bahwa perwalian dalam perkawinan
adalah kekuasaan atau wewenang atas segolongan manusia yang dilimpahkan kepada
orang yang sempura, karena kekurangan tertentu pada orang yang dikuasai, dan
demi kemaslahatan orang tersebut, atau seseorang atau pihak yang memberikan
izin pada berlangsungnya akad nikah antara laki-laki dan perempuan.
2. Dasar Hukum Wali Nikah
Keberadaan
seorang wali dalam akad nikah adalah suatu hal yang sangat urgen dan tidak sah
suatu akad perkawinan yang dilakukan tanpa wali. Wali diposisikan sebagai rukun
nikah menurut jumhur ulama’. Secara umum didalam Al-Qur’an tidak dijelaskan
secara eksplisit keberadaan wali dalam
perkawinan. Akan tetapi, secara implisit
ayat tersebut mengisyaratkan adanya wali. Diantara beberapa ayat dan
hadits Nabi yang menjelaskan posisi wali adalah sebagai berikut:
a. Al-Qur’an
1) Surat
an-Nur ayat 32:
وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ
وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ
وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Artinya : “Dan
kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak
(berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang
perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya.
Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”[8](Q.S.
an-Nur
ayat 32)
2) Surat al-Baqarah ayat 221:
وَلا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا........
Artinya
: “Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita
mukmin) sebelum mereka beriman.”[9]
(Q.S. al-Baqarah ayat 221)
Ayat pertama ditujukan kepada para wali untuk menikahkan orang-orang
yang belum bersuami atau beristri. Hal ini menujukkan bahwa urusan pernikahan
adalah urusan wali. Ayat yang kedua juga ditujukan kepada para wali supaya
mereka tidak menikahkan wanita-wanita muslimah dengan laki-laki kafir. Khitab
tersebut menunjukkan bahwa akad nikah adalah kuasa seorang wali.
3) Surat al-Baqarah ayat 232:
وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوفِ
Artinya:
“Apabila kamu menalak istri-istrimu, lalu habis idahnya, maka janganlah kamu
(para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah
terdapat kerelaan diantara mereka dengan cara yang makruf.”[10](Q.S.
al-Baqarah ayat 232)
Surat al-Baqarah ayat 232 tersebut memberikan pemahaman bahwa
apabila seorang istri telah habis masa ‘iddahnya, dan tidak ada halangan lain
yang ditetapkan agama, maka bekas suami, para wali atau siapapun tidak boleh
menghalang-halangi wanita itu untuk menetapkan masa depannya menyangkut
perkawinan. Siapa saja yang dipilih, baik laki-laki mantan suaminya atau pria lain
yang ingin dikawininya, maka itu adalah haknya secara penuh, karena janda
berhak atas dirinya daripada orang lain. Ayat ini ditujukan kepada para wali,
jika mereka tidak memiliki hak dalam perwalian, tentu mereka tidak dilarang
untuk menghalang-halangi.
Sebab turunnya ayat tersebut adalah berdasarkan kisah Ma’qal bin
Yasar yang mengawinkan saudara perempuannya dengan seorang laki-laki, yang
kemudian laki-laki tersebut menceraikannya. Kemudian setelah masa iddah
perempuan tersebut habis, laki-laki tersebut berkehendak untuk meminangnya
kembali, dan perempuan tersebut juga ingin kembali kepada mantan suaminya.
Namun Ma’qal bin Yasar menolaknya, maka turunlah ayat ini. Al-Hafiz dalam
kitabnya “Fathul Bari” yang dikutip oleh
Sayyid Sabiq mengatakan bahwa asbabun nuzul ayat ini selain dari kisah Ma’qal
ialah merupakan alasan yang kuat tentang hukum wali. Karena kalau wali tidak
ada maka tidak perlu disebut menghalang-halangi dan sekira wanita tersebut
boleh mengawinkan dirinya sendiri, maka tidak perlu ia kepada saudara
laki-lakinya tersebut.[11]
b. Al-Hadits
عَنْ سُليمان بن موسى عن الزّهرى عن عروة عا ئشة انّ النّبيّ ص.م.
قال: اَيُّماَ امْرَأَةٍ نَكَحَتْ
بِغَيْرِ اِذْنِ وَلِيِّهاَ فَنِكاَحُهاَ باَطِلٌ فَاِنْ دَخَلَ بِهاَ فَلَهاَ
الْمَهْرُ بِماَ اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهاَ فَاِنِ اشْتَجَرُواْ فاَالسُّلْطاَنُ
وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهاَ (رواه الأربعة الاّ النسائ )[12]
“Apabila seorang perempuan menikah tanpa izin
walinya maka nikahnya batal, apabila si suami telah menggaulinya, maka bagi dia
berhak menerima mahar sekadar menghalalkan farjinya. Apabila walinya enggan
(memberi izin) maka wali hakim (pemerintah) yang menjadi wali bagi perempuan
yang tidak memiliki wali.”
)Riwayat Imam Empat kecuali al-Nasa’i).
Dalam hadits
yang lain, dalam Sunan Ibnu Majah (Kitabun Nikah dan Kitabut Thalaq)
disebutkan:
حد ثنا ابو كريب حثنا عبد الله ابن المبارك،عن حجّاج عن الزّهرى عن
عروة
عَنْ عاَ ئِشَةَ رَ ضِيَ اللهُ عَنْهاَ عَنِ النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ
عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قاَلَ: لاَ نِكاَحَ اِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشاَهِدِي عَدْلٍ (رواه
أحمد و البيهقي)[13]
Artinya:
Telah meriwayatkan kepada kami Abu Kuraib: Telah meriwayatkan kepada kami
Abdullah bin Mubarok, dari Hajjaj, dari Zuhri, dari Urwah, dari Aisyah r.a.,
Nabi SAW telah bersabda: “tidak sah suatu pernikahan, kecuali dengan wali dan
dua orang saksi yang adil.” (H.R. Amad dan Baihaqi).[14]
حد ثنا جميل
بن الحسن العتكي حد ثنا محمّد بن مروان العقيليّ: حدثنا هشم ابن حسان عن محمّد
بن سرّين عن ابي هريرة قال: قال رسول الله
ص.م. :لاتزوّج المرءة ولاتزوّج المَرأَ ة نَفْسهاَ فَاِنَّ الزّاَنِيَةَ هي الّتي
تزَوّج نَفْسهاَ [15]
Artinya: “Telah
meriwayatkan kepada kami Jamil bin Hasan al-‘Atiki: telah meriwayatkan kepada
kami Muhammad bin Marwan Al-Uqaili: Telah meriwayatkan kepada kami Hisyam bin
Hasan, dari Muhammad bin Sirrin, dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah
bersabda: “Seorang perempuan tidak boleh menikahkan perempuan lain, dan juga
seorang perempuan tidak boleh menikahkan diri sendiri. Karena hanya perempuan
berzinalah yang menikahkan dirinya sendiri.”
3. Macam-macam Wali Nikah
Ibnu
Rusyd dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid menyebutkan macam-macam wali ada
tiga, yaitu: wali nasab, wali hakim dan wali maula.[16]
Sementara
itu
Abdul Manan menyebutkan macam-macam wali yaitu: wali nasab, wali hakim, wali maula,
dan wali muhkam. [17]
Adapun macam-macam wali nikah dapat
penulis uraikan sebagaimana berikut:
a. Wali
Nasab
Wali
nasab adalah wali yang hak perwaliannya didasarkan karena adanya hubungan
darah. Wali nasab dibagi menjadi dua yaitu wali aqrab dan wali ab’ad.
Wali aqrab adalah orang yang hubungan kekeluargaanya sangat dekat dengan
pihak mempelai perempuan. Dalam hal ini adalah seseorang yang mendapatkan
bagian ‘as{abah
dalam perkara waris. Sedangkan wali ab’ad
adalah wali yang hubungan kekerabatannya agak jauh, yaitu selain dari kelompok
wali aqrab.
Apabila
wali nikah yang berhak, urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah,
atau karena wali nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu, atau sudah udzur,
maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat
berikutnya. Adapun hirarki wali nasab yaitu:
1)
Ayah kandung
2)
Kakek (dari
garis Ayah) dan seterusnya keatas (dalam garis laki-laki)
3)
Saudara
laki-laki sekandung
4)
Saudara
laki-laki seayah
5)
Anak laki-laki
saudara laki-laki sekandung
6)
Anak laki-laki
saudara laki-laki seayah
7)
Saudara
laki-laki ayah sekandung (paman)
8)
Saudara
laki-laki ayah sekandung (paman seayah)
9)
Anak laki-laki
paman sekandung
10)
Anak laki-laki
paman seayah.[18]
Abapila urutan wali diatas tidak ada
maka yang menjadi wali adalah hakim.
b. Wali
Hakim
Wali
hakim adalah wali nikah yang dilaksanakan oleh penguasa, karena wanita yang
akan menikah tidak mempunyai wali.[19]
Wewenang wali nasab akan berpindah kepada hakim apabila:
1)
Ada pertentangan
antara wali dengan mempelai wanita (wali adlol).
2)
Bilamana walinya
tidak ada, atau menghilang dan tidak diketahui keberadaanya.[20]
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
فَاِنِ
اشْتَجَرُواْ فاَالسُّلْطاَنُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهاَ.......
Artinya: “Apabila
walinya enggan (memberi izin) maka wali hakim (pemerintah) yang menjadi wali
bagi perempuan yang tidak memiliki wali.”[21]
c. Wali
Maula
Wali
maula adalah wali yang menikahkan budaknya. Laki-laki boleh menikahkan
perempuan yang berada dalam perwaliannya bilamana perempuan itu rela
menerimanya. Maksud perempuan disini adalah hamba sahaya yang berada dibawah
kekuasaannya.[22]
d. Wali
Muhakam
Wali
muhakam ialah wali yang terdiri dari seorang laki-laki yang bukan
keluarga dari calon istri dan bukan pula
dari pihak penguasa, akan tetapi memiliki pengetahuan keagamaan yang baik dan
dapat menjadi wali dari pemerintah. Keberadaan wali ini karena wali nasab, wali
mu’tiq(maula,) dan wali hakim tidak ada.[23]
Pendapat
tersebut juga sesuai dengan pendapat al-Qurtubi yang dikutip oleh Sayyid Sabiq,
mengatakan bahwa jika perempuan tinggal di tempat yang tidak ada penguasa dan
juga tidak mempunyai wali, maka ia serahkan perwaliannya kepada tetangga yang
dipercayai untuk menikahkannya.[24]
Abdurrahman
al-Jaziri, menyatakan jumhur ulama berpendapat bahwa wali nikah menurut
macamnya dibagi menjadi dua, yaitu wali mujbir dan wali ghairu
mujbir.
ينقسم
الولي إلى قسمين: وليّ مجبر له حقّ تزويج بعض من له عليه الولاية بدون إذنه ورضاه
وولي غير مجبر ليس له ذلك بل لا بدّ منه ولكن لايصح له أن يزوّج بدون إذن
من
له عليه الولاية ورضاه. .[25]
Artinya: “ Wali dibagi menjadi dua,
yaitu wali mujbir yang baginya berhak untuk menjodohkan seseorang yang berada
dalam perwaliannya meski tanpa seizin dan ridla orang yang diwakilkannya; kedua
yaitu wali ghairu mujbir, baginya tidak ada hak seperti didalam wali mujbir
melainkan sebaliknya, dan tidaklah sah baginya menjodohkan dengan tanpa seizin
orang yang ada hak wali dan ridlanya.”
Menurut
Syaikh Kamaluddin Muhammad As-Sakandari (Hanafiah) perwalian juga dibagi
menjadi dua, yaitu perwalian nadb atau istihbab dan perwalian
mujbir.
الولاية
فى النكاح نوعان ولاية ندب واستحباب وهوالولاية على البالغة العاقلة بكرا كانت أو
ثيبا، وولاية اجبار وهوالولاية على الصغيرة بكرا كانت أو ثيبا،وكذالك الكبيرة
المعتوهة والمرقوقة [26]
Artinya:
“ Perwalian dalam pernikahan dibagi menjadi dua yaitu perwalian nadb (sunah)
dan istihbab yaitu perwalian bagi perempuan yang baligh, berakal baik perawan
maupun janda; kedua perwalian mujbir yaitu perwalian bagi perempuan yang kecil
baik perawan maupun janda, dan begitu juga untuk wanita dewasa yang kurang waras dan budak. ”
4. Wali Mujbir
Wali mujbir adalah wali yang mempunyai
wewenang langsung untuk menikahkan orang yang berada dibawah perwaliannya
meskipun tanpa mendapat izin dari orang tersebut.[27]
Menurut madzhab Syafi’i wali mujbir adalah ayah dan ayah dari ayah (kakek).
Sedang menurut madzhab Hanafi, wali mujbir adalah berlaku bagi ‘as{abah
seketurunan terhadap anak yang masih kecil, orang gila, dan orang yang kurang
akalnya.[28]
الحنفية
قالوا: لا وليّ إلاّ مجبر فمعنى الولاية تنفيذ القول على الغير سواء رضي او لم يرض
فليس عندهم وليّ غير مجبر يتوقف عليه العقد. ويختص الولي المجبر
بإجبار
الصّغير والصّغيرة مطلقا والمجنونة الكبار.[29]
Artinya: “ Golongan Hanafiyah
berpendapat bahwa tidak ada wali kecuali wali mujbir, karena arti dari
perwalian disini adalah memutuskan pendapat atas orang lain baik ia rela maupun
tidak, maka tidak ada wali bagi mereka kecuali wali mujbir yang dapat
memutuskan pada akadnya, dan dikhususkan bagi wali mujbir untuk memaksa anak
kecil perempuan secara mutlak, laki-laki dan perempuan yang majnun (gila)
sekalipun mereka telah dewasa.”
الشافعية
قالوا: الولي المجبر هو الاب،والجد وإن علا،والسيد والولي غير المجبر
هو
الأب،والجد، ومن يليهم من العصبات المتقدم ذكرهم، وقد عرفت أن الابن ليس
وليا
عندهم.[30]
Dari kedua
pendapat tersebut, terdapat perbedaan
mengenai definisi wali mujbir yang menyebabkan implikasi hukum dan
konsekuensi yang berbeda. Menurut madzhab Hanafi wali mujbir ialah kewenangan
seorang wali untuk menikahkan seorang perempuan karena hubungan darah,
kepemilikan (hamba sahaya) untuk wanita kecil yang belum baligh atau belum
cakap hukum seperti gila, idiot, dan lain-lain, terlepas dari dia seorang gadis
ataupun janda. Jadi menurut madzhab Hanafi hak ijbar adalah hak yang
dimikili oleh semua wali, baik wali kerabat maupun wali hakim, dengan alasan
wanita yang telah dewasa dan cakap hukum, dia berhak untuk menikahkan dirinya
sendiri.
Menurut
madzhab Syafi’i wali mujbir adalah wali yang berhak menikahkan wanita perawan,
baik masih kecil atau telah dewasa walaupun tanpa persetujuan dari wanita
tersebut. Dalam hal ini wali yang memiliki hak ijbar adalah ayah, dan kakek
ketika ayah tidak ada. Terdapat perbedaan pendapat terkait hamba sahaya yang
dapat dipaksa menikah oleh tuannya. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa seorang
tuan dapat memaksa hamba sahayanya untuk kawin. Pendapat ini juga dikemukakan
oleh Imam Malik. Sedangkan menurut Imam As-Syafi’i hamba sahaya tidak boleh
dipaksa kawin.[31]
Perbedaan tersebut disebabkan apakah perkawinan itu merupakan kepentingan orang
yang dibawah pengampuannya, atau sebagai jalan seorang tuan untuk memperoleh
kesenangan.
Ibnu
Rusyd dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid menjelaskan bahwa persetujuan dalam
nikah ada dua, yaitu dalam bentuk kata-kata bagi pihak laki-laki dan janda, dan
dalam bentuk diam bagi seorang gadis sebagai tanda kerelaannya. Sedangkan untuk
penolakannya harus dengan kata-kata.
الإذن
في النكاح على ضربين: فهو واقع في حق الرجال والثيب من النساء
بالأ
لفاظ، وهو في حق الأبكار المستأذنات واقع بالسكوت: أعني الرضا، وأما
Para fuqaha
sependapat bahwa wanita-wanita yang harus diminta persetujuannya dalam
perkawinan adalah wanita-wanita janda dewasa, berdasarkan sabda Nabi Muhammad
SAW:[33]
وَالثِّيِّبُ
تُعْرِبُ عَنْ نَفْسِهاَ. (أخرجه ابن ماجه وأحمد)
Para
fuqaha berbeda pendapat tentang gadis dewasa yang boleh dinikahkan
dengan tanpa persetujuannya. Perbedaan tersebut disebabkan oleh adanya
pertentangan antara dalil khitab dengan ketentuan umum. Sabda Nabi
Muhammad SAW:
وَالْبِكْرُ
يَسْتَأْ مِرُهاَ أَبُوْهاَ (أخرجه مسلم)
Artinya: ““Perawan diaturkan (urusannya)
oleh ayahnya,.” (HR. Muslim)[35]
Kemudian
terdapat dalil khitab, sabda Nabi Muhammad SAW:
تُسْتَأْ
مَرُ الْيَتِيْمَةُ فِيْ نَفْسِهاَ وَلاَ تُنْكَحُ الْيَتِيْمَةُ إِلاَّ بِإِ ذْ
نِهاَ (أخرجه أبو داود والترمذي)[36]
Artinya: “Gadis yatim itu
dimintai pendapat tentang dirinya, dan
ia tidak boleh dinikahkan, kecuali
dengan persetujuannya.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Hadis
tersebut menyatakan anak yatim tidak boleh dinikahkan dengan tanpa
persetujuannya. Hal ini memberikan pemahaman bahwa wanita yang berayah (tidak
yatim) boleh tidak dimintakan persetujuannya ketika hendak dinikahkan, kecuali
yang telah disepakati oleh jumhur fuqaha, yaitu persetujuan janda
dewasa. Berdasarkan sabda Nabi SAW:
الثيبُ
أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا (أخرجه
مسلم و أبو داود)[37]
Artinya: “Seorang
janda lebih berhak terhadap dirinya sendiri dibandingkan walinya.” (HR. Mulim dan Abu Dawud).
Menurut
Sayyid Sabiq hukum meminta izin kepada perempuan sebelum pernikahan adalah
wajib. Hal itu karena pernikahan adalah hubungan yang abadi dan persekutuan
yang tetap antara laki-laki dan perempuan. Keharmonisan tidak akan langgeng,
cinta dan keselarasan tidak akan kekal selama ridla dari pihak perempuan tidak
diketahui.[38]
Menurut beliau akad atas perempuan yang belum dimintai izin dianggap tidak sah,
dan dia memiliki hak untuk menuntut pembatalan demi menghapuskan tindakan wali
diktator yang telah melakukan atasnya. Pendapat beliau ini berdasarkan riwayat
beberapa hadis, diantaranya:
a. Ibnu
Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
الثيبُ
أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا ، وَالْبِكْرُتَسْتَأْ
ذنُ نَفْسِهَا ، وَإِذْنُهَا صُمَاتُهَا .
Artinya: “ Janda lebih berhak ats
dirinya sendiri, sementara perawan dimintai izin tentang dirinya, dan izinnya
adalah diamnya.”[39]
b.
Abu Hurairah r.a. meriwayatkan
bahwa Rasulullah SAW bersabda:
لاَ
تُنْكَحُ الأْ يِّمُ حَتىَّ تُسْتأَمَرُ وَلاَ الْبِكْرُ حَتّىَ تُسْتَأْذَنُ.
Artinya: “Janda tidak boleh
dinikahkan sebelum dimintai persetujuan, dan tidak pula perawan sebelum
dimintai izin.” Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana izinnya?”
Beliau bersabda,
أَنْ
تَسْكُتَ.
“Dengan
diam.”
c. Khantsa’binti
Khidam meriwayatkan bahwa ayahnya menikahkannya ketika dia sedang menjanda.
Lalu dia mendatangi Rasulullah SAW, beliau pun menolak pernikahannya.
Para
ulama Hanafiyah berpendapat bahwa perwalian paksa (wali mujbir)
ditetapkan bagi ‘as{abah
nasabiyyah atas anak-anak kecil,
orang gila, dan orang-orang bodoh. Sementara para ulama selain madzhab Hanafi
membedakan anak-anak kecil dengan orang-orang gila dan orang-orang bodoh.
Mereka sepakat atas ditetapkannya perwalian paksa terhadap orang gila, orang
bodoh yaitu bagi ayah, kakek, pelaksana wasiat, dan penguasa. Imam malik dan
Ahmad berpendapat bahwa perwalian ini ditetapkan bagi ayah dan pelaksan wasiat.
Sedangkan menurut Imam Syafi’i perwalian ijbar ditetapkan bagi ayah dan
kakek kepada anak atau cucu perempuan yang masih perawan.[40]
Persoalaan
mengenai pengertian keperawanan terdapat banyak penafsiran dari para madzhab, diantaranya yaitu
keperawanan diartikan sebagai norma bagi perempuan yang belum terjamah sama
sekali.[41]
Menurut Abdurrahman al-Jaziri status perawan dibagi menjadi dua, yaitu bikran
hakiki dan bikran hukmi. Bikran hakiki yaitu perempuan yang
belum terjamah walaupun sudah menikah. Hal ini karena ditinggal mati atau
dicerai namun belum disetubuhi oleh suaminya, atau karena belum hilang status
keperawanannya akibat hal yang tidak disengaja seperti jatuh, dan lain-lain.
Adapun bikran hukmi yaitu perempuan yang telah bersetubuh karena
perzinaan atau yang serupa dengan zina baik sekali atau lebih.[42]
Menurut Imam Syafi’i, apabila seorang wanita dicampuri oleh seorang laki-laki
dalam pernikahan yang sah maupun pernikahan yang tidak sah atau dizinai, baik
wanita itu masih kecil atau telah baligh, maka hukumnya sama seperti janda,
tidak boleh bagi bapak untuk menikah tanpa izin darinya.[43]
Sebelum
membahas wali mujbir lebih jauh, maka sangat penting kita mengetahui dan memahami
pemaknaan kata ijbar. Pengertian ijbar
muncul dalam bentuk konsep utuh dan makna yang sebenarnya, secara implisit akan
tampak kemudian dalam penelusuran konsep tersebut karena kata ijbar mempunyai
arti yang dikenal umum dalam bahasa Arab.[44]
Secara etimologi kata ijbar berasal dari kata dasar اَجْبَرَ- يُجْبِرُ )ajbara-yujbiru) yang
berarti memaksa. Sedangkan ijbar adalah bentuk mashdarnya yang berarti
paksaan. [45]
Secara terminologi ijbar ialah kebolehan bagi ayah atau kakek untuk
menikahkan anak perempuan yang masih gadis tanpa izinnya. Dengan demikian ayah
lebih berhak terhadap anaknya yang masih gadis daripada diri anak itu sendiri.[46]
Dalam pengertian fiqih, ayah atau kakek dapat menikahkan anak perempuannya
tanpa dibutuhkan persetujuan dari yang bersangkutan, yaitu perempuan yang masih
gadis atau yang keperawanannya hilang bukan akibat seksual misalnya karena
terjatuh, kemasukan jari dan semacamnya.
Ijbar
perlu dibedakan dengan ikrah dan taklif. Meskipun secara
etimologi ketiganya bermakna paksaan. Ikrah adalah suatu paksaan
terhadap seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu dengan ancaman yang
membahayakan terhadap jiwa atau tubuhnya, dan ia tidak mampu melawannya.[47]
Terdapat ayat Alqur’an yang menggunakan
kata Ikrah:
لا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ
....
Artinya: “Tidak ada paksaan untuk
(memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada
jalan yang sesat.”[48]
(QS. Al-Baqqrah: 256)
Kemudian
taklif adalah suatu paksaan terhadap seseorang untuk mengerjakan
sesuatu. Akan tetapi pekerjaan ini sebenarnya merupakan konsekuensi logis
belaka dari penerimaanna atas suatu hukum atau keyakinannya.[49]
Terdapat ayat Alqur’an:
لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا....
Artinya:“Allah tidak
membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”[50]
(QS. Al-Baqqrah: 256)
Sedangkan
ijbar adalah tindakan untuk melakukan perkawinan bagi anak gadisnya atas
dasar tanggung jawab yang hanya bisa dilakukan oleh ayah atau kakek. Ijbar
dimaksudkan sebagai bentuk perlindungan atau tanggung jawab seorang ayah kepada
anaknya. Karena keadaan anaknya yang dianggap belum atau tidak memiliki
kemampuan untuk bertindak.[51]
Sementara
itu wacana yang berkembang dalam tradisi masyarakat adalah orang tua seringkali
memaksa anaknya untuk menikah atau menikahkan anaknya dengan pilihannya, bukan
pilihan anaknya yang populer dengan sebutan kawin paksa. Dalam masyarakat
seringkali hukum ijbar dalam fiqh dijadikan legitimasi kewenangan
seorang ayah menikahkan anak gadisnya dengan paksa. Hal ini merupakan kesalahan
mendasar dalam memahami makna ijbar dan ikrah.
Menurut
Sayyid Sabiq perwalian paksa berlaku kepada orang yang kehilangan kapabilitas,
seperti orang gila dan anak kecil yang tidak mumayiz, sebagaimana hal itu juga
berlaku kepada orang yang kapabilitasnya tidak sempurna, seperti anak kecil
yang mumayiz dan orang bodoh yang mumayiz.[52]
Makna berlakunya perwalian paksa bagi mereka adalah bahwa wali boleh melakukan
akad pernikahan bagi mereka tanpa harus minta pendapatnya. Akadnya sah tanpa
bergantung kepada ridla dari mereka.
Syariat telah menetapkan perwalian
paksa (ijbar) demi memelihara kepentingan orang yang berada dibawah
perwaliannya. Hal ini karena seseorang yang kehilangan kapabilitas atau
kapabilitasnya tidah sempurna, ia tidak dapat melihat kepentingan dan
kebutuhannya serta tidak memiliki kemampuan rasional untuk mengetahui
kemaslahatan dalam akad-akad yang diadakannya. Oleh karena itu,
tindakan-tindakan bagi orang tersebut diserahkan kepada walinya.[53]
[1] Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta:
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsiran Al Qur’an,1983), hlm. 507
[2] Peunoh Daly, Hukum Perkawinan
Islam Studi Perbandingan dalam Kalangan Ahlussunnah dan Negara-negara Islam,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1998), hlm. 134
[3] Musthofa
Al-Khin dkk., Kitab Fiqih Madzhab Syafi’i, terj. Azizi Ismail dan M.
Asri Hasim, (Kualalumpur: Pustaka Salam, 2002), hlm. 622
[4]
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunah, terj. Khairul Amru Harahap, dkk.
(Jakarta: Cakrawala Publishing, 2008), hlm. 368
[5] Abdurrahman
al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala Madzahibil ‘Arba’ah, Juz IV, (Beirut: Darl
Al-Kutb al-Ilmiyah, t.t, hlm. 29
[6] Dikutip
Amin Suma, Hukum Islam di Dunia Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
ed. Revisi 2005), hlm. 134
[7] Frista Artmanda W, Kamus
Lengkap Bahasa Indonesia, (Jombang: Lintas Media, t.t), hlm.347
[11]
Dikutip dari Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Juz II, (Beirut: Dar
Fikr, 1995), hlm. 197
[12] Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, juz. II,
(Beirut:Dar al-Kutub al- ‘Alamiyah, t.t.), hlm.95
[13] Muhammad Yazid al-Qozwaini, Sunan Ibnu Majah,
juz 1, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), hlm. 605
[14] Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin, Edisi Lengkap
Fiqih Madzhab Syafi’i buku 2, Muamalah, Munakahat, Jinayah, (Bandung: CV
Pustaka Setia), hlm. 271
[16] Ibnu
Rusyd, Bidayatul Mujtahid, terj. M. A Abdurrahman, A. Haris
Abdullah, Juz 2, cet. Ke- , (Semarang:
CV. Asy-Syifa’, 1990), hlm. 365
[17] Abdul Manan, Aneka
Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2006), hlm. 61
[18] Direktorat
Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama IAIN Jakarta Departemen
Agama, Ilmu Fiqh, (Jakarta: IAIN Jakarta, jil. 2, 1983), hlm.
107
[22] Tihami dan Sohari, Fikih Munakahat, (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2009), hlm.99
[23] Sayuti
Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia Berlaku Bagi Umat Islam, (Jakarta:
UI Press, tt.), hlm. 65-66
[25] Abdurrahman
al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala Madzahib al-‘arba’ah, (Lebanon: Dar
al-Kutbal-Ilmiyah, 2010), hlm. 720
[26] Kamaluddin
Muhammad As-Sakandari, Syarah Fathul Qadir, (Beirut:Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, 1995), hlm.246
[27] Abdul Ghofur Anshori, Perkawinan Islam Perspektif
Fikih dan Hukum Positif. (Yogyakarta: UII Press.2011), hlm.40
[28]
Direktorat Pembinaan Prasarana....., Ilmu Fiqh, hlm. 107
[29] Abdurrahman
al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala Madzahib al-‘arba’ah, hlm. 720
[30] Abdurrahman
al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala Madzahib al-‘arba’ah, hlm. 720
[31] Ibnu
Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Beirut: Dar Al-Jill, 1989), terj. Imam
Ghazali Said dan Achmad Zaidun, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), hlm. 400
[32] Ibnu
Rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayah al-Muqtashid, (Kairo:
Maktabah Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah, juz 2, tt.), hlm. 3
[33]
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, terj. Imam Ghazali...., hlm. 400
[34]
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, terj. Imam Ghazali...., hlm. 401
[35]
Wahbah Zuhaili, Fiqih Islam....., hlm. 181
[36]
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid ...., hlm. 4
[37]
Imam An-Nawawi, Al-Minhaj Syarh Shahih...., hlm. 889
[38] Sayyid
Sabiq, Fiqih Sunnah, terj. Moh. Abidun dkk, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, cet. 2, 2010),
hlm. 377
[41] Miftahul Huda, Kawin Paksa “ Ijbar Nikah dan
Hak-hak Reproduksi Perempuan”, (Yogyakarta: STAIN Ponorogo Press, 2009),
hlm. 31
[42] Abdurrahman
al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala Madzahibil ‘Arba’ah, dikutip oleh Miftahul Huda,
Kawin Paksa....., hlm. 31
[43]
As-Syafi’i, Al-Umm, terj. Rosadi Imron, dkk. (Jakarta: Pustaka
Azam, 2009), hlm. 444
[44] Taufiq Hidayat, “Rekonstruksi
Konsep Ijbar”, Jurnal Syariah dan Hukum, STAI An-Nawawi, hlm. 5
[45] Adib Bisri dan Munawwir A.
Fatah, Kamus Al-Bisri, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1999), hlm. 238
[46] Abi Abdillah Muhammad bin Idris
Asy-Syafi’i, al-Umm, (ttp: t.t), jil. V, hlm. 162-163 dikutip oleh
Taufiq Hidayat, “Rekonstruksi Konsep Ijbar”, ......., hlm. 6
[47] Miftahul Huda, Kawin
Paksa....., hlm. 28
[48] Alqur’an dan Terjemahannya,
Kementrian Agama RI.....
[51] Husein Muhammad, Fiqh Perempuan Reflesi Kiai
Wacana Agama dan Jender, cet. Ke-2, (Yogyakarta: LKIS, 2002), hlm. 80
[52] Sayyid
Sabiq, Fiqih Sunah, terj. Moh. Abidun, dkk. , (Jakarta: Pena Pundi
Aksara, cet. 2, 2010), hlm. 380
ASSALAMU'ALAIKUM WW..
BalasHapusMAKALAHNYA MENARIK..IJIN NGOPI