Sabtu, 21 April 2018

Tinjauan Ifta' dan Perbedaannya dengan Ijtihad

                                        Tinjauan Ifta' dan Perbedaannya dengan Ijtihad


1. Pengertian Ifta’
Ifta’ dari kata dalam bahasa Arab yaitu ifta’, yang artinya memberikan penjelasan. Sedangkan menurut istilah ifta’ adalah: “ Usaha memberikan penjelasan tentang hukum syara’ oleh ahli kepada orang yang belum mengetahuinya”.[1]
Contoh dari ifta’ adalah mengenai hukum hadiah undian, ada tiga bentuk hukum yang menyangkut hukum tersebut salah satunya hukum–hukum yang diperbolehkan syariat hadiah-hadiah yang disediakan untuk memotivasi dan mengajak kepada peningkatan ilmu.[2] Pengetahuan yang bermanfaat dan amal sholeh misalnya, hadiah dalam perlombaan menghafal Al-Quran.

2.     Kaitan Ifta’ dengan Ijtihad
Fatwa merupakan hasil ijtihad para ahli (mujtahid dan mufti) yang dapat dilahirkan dalam bentuk lisan ataupun tulisan. Dengan upaya serius, para mufti atau mujtahid memberikan fatwa-fatwa yang berharga untuk kepentingan umat manusia. Oleh karena itu, kaitan antara ijtihad dengan fatwa sangat erat sekali, sebab ijtihad itu merupakan suatu usaha yang maksimal para ahli untuk mengambil atau mengistinbathkan hukum-hukum tertentu, sedangkan fatwa itu salah satu hasil dari ijtihad itu sendiri.
Hukum Islam yang berlandaskan al-Qur`an dan al-Hadits sebagian besar bentuknya ditentukan berdasarkan hasil ijtihad para mujtahid yangdituangkan dalam bentuk fatwa keagamaan. Karena begitu penting nilai fatwa dalam kehidupan keagamaan umat Islam, dalam mengeluarkan fatwa, seorang mufti atau lembaga tertentu harus memenuhi prosedur dan persyaratan yang cukup ketat, yang telah ditetapkan oleh para ulama’. Hal ini diberlakukan untuk menghindari kecacatan dan kesalahan dalam mengeluarkan fatwa.
Fatwa tidak bisa dikeluarkan tanpa prosedur dan persyaratan yang telah ditetapkan, serta disepakati para ulama. Ia menempati posisi penting dalam hukum Islam karena statusnya sama dengan hasil ijtihad. Realitas dan fenomena permintaan fatwa dari individu atau masyarakat sudah ada semenjak awal sejarah perkembangan umat Islam.
Pada masa Rasulallah SAW, ketika para sahabat menemukan persoalan yang dianggap sulit untuk dicarikan solusinya dan jawabannya, mereka langsung bertemu  dan meminta jawaban dari Nabi Muhammad SAW, meskipun jawaban nabi langsung berupa nash-nash al-Qur’an dan Hadist Nabi sendiri, tetapi tradisi permintaan, konsultasi, bimbingan untuk menjawab berbagai persoalan hidup kepada ahlinya merupakan bagian spirit yang menginspirasi munculnya tradisi fatwa dalam masyarakat muslim. Keberadaan Nabi SAW pada masa itu adalah pembuat keputusan (decision maker) dan pemegang kebijakan bagi hampir seluruh persoalan umat Islam. Setelah kewafatan Nabi, pemegang otoritas keagamaan menjadi persoalan. Untuk itu, para ulama selalu membuat prosedur dan persyaratan dalam berbagai hal yang menyangkut penentuan panduan keagamaan, termasuk persoalan fatwa.
Telah dijelaskan bahwa yang difatwakan atau materi fatwa itu adalah hukum syara’ yang diperoleh melalui ijtihad. Dalam hal ini mufti sama kedudukannya dengan hakim, yaitu menyampaikan hukum kepada umat. Fatwa disampaikan mufti’ dengan ucapannya setelah menerima pertanyaan dari umat. Sedangkan qadhi menyampaikan hukum melalui putusan hukum  atau dalam proses persidangan setelah perkaranya disampaikan oleh umat.[3]
Dalam kaitannya dengan masalah ijtihad ummat manusia itu terbagi dalam dua kelompok. Kelompok orang-orang yang mempunyai kesanggupan ijtihad dan mampu melaksanakannya, yaitu mujtahidin. Dan kelompok  yang kedua ialah mereka yang tidak memiliki sarana ijtihad dan karenanya tidak mampu melaksanakannya, mereka adalah orang-orang awam (kebanyakan). Biasanya orang-orang awam ini memahami dan mempraktekkan ajaran agama meminta petunjuk kepada para ulama dan memohon fatwa kepada para mujtahid.[4]Bagi mereka hal ini merupakan perintah Allah swt. :
وَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ إِلا رِجَالا نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ
Artinya : “ Kami tiada mengutus Rasul-Rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang-laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, Maka Tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.”  (Q.S.Al-Anbiya: 7)
Permintaan fatwa tersebut hendaklah diajukan kepada orang yang sudah terkenal keahliannya dan keadilannya.  Adapun kewajiban seorang mufti ialah memberikan fatwa, bila dimintainya. Ia tidak diperkenankan menolak memberikan fatwa. Karena mufti yang menolak dimintai fatwa diultimatum oleh Rasulullah saw. akan dikendali mulutnya dengan kendali dari pintal tali terbuat dari api neraka.

3.     Syarat-Syarat Mufti dan Problematika Fatwa
Mufti’ berkedudukan sebagai pemberi penjelasan tentang hukum syara’ yang harus diketahui diketahuidan diamalkan oleh umat. Umat akan selamat apabila ia memberikan fatwa yang benar dan akan sesat apabila ia salah dalam berfatwa.[5]
Mufti adalah mujtahid. Ada yang berkata mufti ditujukan untuk seorang ahli fiqih (faqih), karena yang dimaksud dengan mufti adalah mujtahid dalam  istilah ulama ahli ushul.
a.      Secara global, syarat-syarat mufti dapat dikelompokan kepada empat bagian berikut:[6]
·     Syarat umum, yaitu muslim, dewasa dan sempurna akalnya. Karena mufti akan menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan hukum syaradan pelaksanaanya.
·     Syarat keilmuan, yaitu mengetahui secara baik dalil-dalil sam’i dan mengetahui secara baik dalil-dalil aqli. Mufti harus ahli dan mempunyai kemampuan untuk berijtihad.
·     Syaratkepribadian, yaituadildandapatdipercaya.
·     Syarat pelengkap dalam kedudukanya sebagai ulama panutan yang oleh al-Amidi diuraikan antara lain: dengan berfatwa ia bermaksud untuk mendidik untuk mengetahui hukum syara’, bersifat tenang atau sakinah, dan berkecukupan. Imam Ahmad menurut yang dijelaskan oleh ibn al-Qoyyim menambah dengan sifat berikut: mempunyai niat dan i’tikad yang baik, kuat pendirian dan dikenal ditengah umat. Secara umum, al-Isnawi mengemukakan syarat mufti adalah sepenuhnya syarat-syarat yang berlaku pada seorang perowi hadist, karena dalam tugasnya mufti memberi penjelasan sama dengan tugas perowi.
b.     Problematika Fatwa
Fatwa bukanlah sebuah keputusan hukum yang dibuat dengan mudah, atau yang disebut dengan membuat hukum tanpa dasar. Seorang yang memberi Fatwa (Mufti) harus memenuhi sejumlah persyaratan tertentu, seperti memahami pelbagai aspek hukum Islam dan dalil yang menopangnya dan otoritas keilmuannya diakui oleh masyarakat, sehingga masyarakat datang kepadanya untuk meminta pertimbangan hukum.
Dalam hal ini, dan karena dirasa terlalu sulitnya memperoleh kewenangan fatwa, dalam konteks Indonesia, maka lazim diberikan lembaga khusus dalam sebuah organisasi, misalnya Komisi Fatwa MUI, Bahtsul Masail NU,  Majlis Tarjih Muhammadiyah dan lainnya yang dianggap mempunyai komptensi yang memadai. Meskipun, fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga tersebut juga mendapat tanggapan yang bervariasi, pro dan kontra, termasuk MUI yang dianggap sebagai lembaga yang merepresentasikan keberadaan ulama-ulama di Indonesia. Realitas ini menjadi bahan kajian, bahwa menentukan penetapan fatwa itu tidak mudah dan membutuhkan pertimbangan yang komprehensif.
Menjadi keprihatinan bersama dengan fenomena maraknya orang atau lembaga yang dengan mudah  mengeluarkan fatwa. Satu sisi seringkali masyarakat muslim Indonesia dihadapkan pada kenyataan bahwa fatwa yang keluar dari lembaga agama yang resmi seperti MUI sering menimbulkan perdebatan panjang sehingga menimbulkan pro dan kontra, bahkan terkadang fatwa itu dimentahkan oleh segelintir orang yang tidak kompeten dalam bidang hukum Islam, pada sisi yang lain masyarakat menanti jawaban MUI atas berbagai persoalan yang ditanyakan kepada lembaga tersebut.
Akibatnya, masyarakat sering bingung dan tidak bisa menentukan mana yang benar diantara berbagai pendapat tersebut. Menurut Zain al-Najah, fatwa itu adalah hak ulama, bukan perorangan. Dan yang mengerti urusan fatwa adalah mereka-mereka yang tahu dan mengerti secara baik hukum Islam. Karenanya, jika ada orang meskipun dikenal tokoh Islam, tapi bukan berlatar belakang hukum Islam atau fiqih, mereka tak memiliki hak mengeluarkan fatwa.
Menurut Zain al-Najah memang aneh, setiap ada fatwa MUI, semua media massa termasuk TV justru meminta komentar tokoh-tokoh yang tak ahli dalam hukum Islam. Seharusnya media massa dan televisi mengerti kepada siapa harus mendapat komentar tentang fatwa, tidak kepada orang yang tidak mengerti tentang fatwa. Menurutnya, bila dibandingkan dengan negara-negara Islam di Timur Tengah,  belum ada dalam sejarahnya fatwa ulama dikencam apalagi dilecehkan orang-orang awam dan bukan ahli di bidangnya kecuali di Indonesia.
Ia mencontohkan, dalam kasus semua fatwa yang dikeluarkan Darul Ifta’ al-Mishriyyah (Lembaga Fatwa Mesir) atau Majma'ul Buhuts al-Islamiyyah di Al-Azhar,  tak pernah masyarakat bahkan pihak pemerintah mempertanyakan atau mengotak-atiknya. Umumnya, semua masyarakat Mesir paham dan menghormati, bahkan termasuk pihak pemerintah. Hal ini nampaknya berbeda dengan di Indonesia di mana fatwa ulama ‘dilecehkan’ orang yang tak paham hukum Islam.
Realitas pro dan kontra terhadap berbagai fatwa yang dikeluarkan oleh MUI, seyogyanya harus lebih dipahami sebagai bentuk dinamika intelektualitas yang menghargai sebuah perbedaan, daripada pelecehan terhadap keberadaan fatwa MUI. Kedudukan fatwa MUI yang tidak mengikat semua masyarakat atau warga memberikan peluang orang atau lembaga untuk memberikan respon yang bervariasi, mulai dari yang mengkritik, berupaya menjelaskan, menerima dan menolak total terhadap keberadaan fatwa MUI. 
Pro dan kontra ini  juga bisa dipahami sebagai bentuk koreksi terhadap kedua belah pihak yaitu MUI dan stakholdernya, baik yang pro maupun yang kontra. Paling tidak bagi yang pro, MUI dianggap sebagai lembaga yang merepresentasikan ulama-ulama yang ada di Indonesia, yang mempunyai kompetensi untuk memberikan fatwa. Sementara bagi yang kontra menganggap fatwa MUI bermasalah; proses pendefinisian masalah, prosedur penetapan fatwa, dan kelayakan kompetensi anggota komisi fatwa MUI sebagai seorang mufti. Misalnya dalam fatwa pluralisme agama, MUI sebenarnya mengharamkan pluralisme agama yang didefinisikan oleh MUI sendiri, padahal pluralisme diluar MUI mempunyai definisi dan pengertian yang berbeda dengan yang didefinisikan MUI. Maka sebenarnya MUI mengharamkan pandangan MUI tentang pluralisme, bukan pluralisme yang dipahami oleh kalangan lain.



[1]Ade Dedi Rohayana, Ilmu Ushul Fiqih (Pekalongan:STAIN Press, 2006), hlm. 304
[2] Yusuf Qaradhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer ( Jakarta: Gema Insani press, 2002), hlm. 499
[3]Amir syarifuddin, Ushul Fiqh 2, Jakarta: Kencana, cet 5. 2009 hlm. 237
[4]Mifahu Arifin., A.Faisal Haq, Ushul Fiqh, Surabaya: Citra Media, 1997, hlm. 109
[5]Amir syarifuddin, Ushul Fiqh 2, Jakarta: Kencana, cet 5. 2009 hlm. 457
[6]Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqih ( Jakarta: Amzah, 2005),h. 101

Tidak ada komentar:

Posting Komentar