Wakaf Produktif
Wakaf dari segi penggunaannya terbagi menjadi dua
yaitu wakaf langsung dan wakaf tidak langsung. Wakaf langsung ialah wakaf yang pokok barangnya
digunakan untuk mencapai tujuannya. Seperti masjid untuk shalat, sekolah untuk
kegiatan belajar mengajar, rumah sakit untuk mengobati orang sakit. Sedangkan Wakaf wakaf tidak langsung (Produktif) ialah wakaf yang pokok barangnya tidak secara langsung digunakan untuk
mencapai tujuannya, tetapi
dikembangkan terlebih dahulu sehingga
menghasilkan sesuatu (produktif), kemudian hasilnya baru dipergunakan untuk
tujuan wakaf.[1]
Sedangkan
Muhammad Syafi’i Antonio sebagaiman dikutip oleh Jaih Mubarak mengatakan,
bahwa wakaf produktif adalah pemberdayaan wakaf yang ditandai dengan ciri
utama, yaitu: pola manajemen wakaf harus terintegrasi, asas kesejahteraan nazir,
dan asas transformasi dan tanggungjawab.[2]
Wakaf produktif pertama adalah tujuh area kebun milik Mukhairiq
di Madinah, seorang Yahudi. Saat ia akan berperang bersama kaum muslimin dalam
perang uhud ia berwasiat, “Jika aku
terbunuh maka harta-hartaku untuk Muhammmad, ia akan memanfaatkan ke jalan
Allah.” Ternyata Mukhairiq terbunuh . kemudian Rasulullah mengelola kebun itu
dan menyedahkan hasilnya. Sementara wakaf produktif yang kedua yaitu wakafnya Umar r.a. di Tanah
Khaibar. Ia memperlakukan tanah itu sebagaimana Rasulullah telah memperlakukan
terhadap tanah Muakhairiq[3].
Dalam
sejarah wakaf produktif telah dikenal pada masa Az-Zuhry (W. 124 H) salah satu
ulama terkemuka dan peletak dasar tadwin al-Hadits memfatwakan bahwa wakaf dinar dan dirham dianjurkan untuk
pembangunan sarana sosial, dakwah dan pendidikan umat Islam. Prakteknya adalah menjadikan dinar dan dirham sebagai
modal usaha, kemudian keuntungannya didistribusikan sebagai wakaf[4]. Setiap
harta wakaf ada peluang untuk produktif, baik harta wakaf yang tidak bergerak,
seperti: tanah, apartemen, masjid, rumah dan lain-lain, maupun harta wakaf bergerak
seperti : uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak atas kekayaan
intelektual (HAKI), hak
sewa, dan harta bergerak lain
sesuai ketentuan
syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[5]
a. Model pembiyaaan wakaf
produktif secara tradisional
1) Pembiayaan wakaf dengan
menciptakan wakaf baru untuk melengkapi harta wakaf lama
2) Pinjaman untuk pembiayaan
kebutuhan operasional harta wakaf
Pinjaman untuk membiayai
operasional dan biaya pemeliharaan untuk mengembalikan fungsi wakaf semula.
Syarat yang harus di lakukan sebelum melakukan pinjaman adalah harus mendapat
ijin dari hakim atau penguasa atau pengelola melihat unsur kemaslahatan.
3) Penukaran pengganti
(subsitusi) harta wakaf
4) Model pembiayaan hukr (sewa
berjangka panjang dengan lump sum)
5) Model dengan pembiayaan ijaratain
(sewa dengan dua kali pembayaran)
b. Model pembiyaaan baru untuk
proyek wakaf produktif secara institusional
1) Model pembiayaan murabahah
2) Model istisnaa
3) Model ijarah
4) Mudharabah oleh pengelola harta wakaf
dengan penyedia dana
5) Model pembiayaan berbagai
kepemilikan
6) Model bagi hasil (output)
Model sewa berjangka panjang dan hukr
[5] Undang-undang No. 41 Tahun 2004 Pasal 16 ayat
3
[6] Direktorat
Pemberdayaan Wakaf, Direktorat Jenderal
Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama RI, Pedoman Pengelolaan dan
Pengembangan Wakaf, Jakarta, 2006, hlm. 114
Tidak ada komentar:
Posting Komentar