Rabu, 18 April 2018

KEWAJIBAN MENUNTUT ILMU



KEWAJIBAN MENUNTUT ILMU
A.    Pengertian Menuntut Ilmu
Ilmu berasal dari kata علما-يعلم-علم yang artinya mengetahui, lawan dari kata جهل yang artinya bodoh. Sedangkan menuntut ilmu adalah suatu usaha yang dilakukan oleh seseorang untuk merubah tingkah laku dan perilaku kearah yang lebih baik, karena pada dasarnya ilmu menunjukkan jalan menuju kebenaran dan meninggalkan kebodohan.
Seseorang harus memulai dengan ilmu sebelum beramal. Maksud dari beramal adalah melakukan kegiatan atau melakukan suatu pekerjaan. Dalam melakukan pekerjaan manusia dituntut mengetahui ilmunya dari pekerjaan tersebut. Karena dengan mengetahui ilmunya pekerjaan akan lebih terarah dan tidak berantakan.  
Demikian pula perintah menuntut ilmu tidak dibedakan antara laki-laki dan perempuan. Hal yang paling diharapkan dari menuntut ilmu ialah terjadinya perubahan pada diri individu kearah yang lebih baik yaitu perubahan tingkah laku, sikap dan perubahan aspek lain yang ada pada setiap individu.
Perbedaan orang yang berilmu dengan orang bodoh dalam Al-qur’an Allah SWT berfirman dalam QS. Az-zumar:9.
اَمَّنْ هُوَ قٰنِتٌ ءانَآ ء الَّيْلِ سَا جِدًا وَ قَآ ءِ مًا يَحْذَ رُ الاَ خِرَۃَ وَيَرْجُوا رَحْمَۃَ رَبِّهَ ۗ  قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ وَ الَّذِيْنَ لاَ يَعْلَمُوْنَ ۗ اِنَّمَا يَتَذَكَّرُ  اُولُوا الَا لْبٰبِ ۝
Artinya : (apakah kamu orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah pada waktu malam dengan sujud dan berdiri, karena takut kepada azab akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya ?   Katakanlah, “apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui ?” sebenarnya hanya orang berakal sehat dapat menerima pelajaran. (Az-zumar:9).
Allah membedakan antara orang yang berilmu dan orang yang jahil. Keduanya tidak sama. Terlepas dari substansi ilmu pengetahuan, yang terpenting adalah antara orang yang berilmu dengan orang yang bodoh jelas tidaklah sama. Seperti halnya orang yang buta dan orang yang melihat, kegelapan dan cahaya, orang yang hidup dan mati, manusia dan hewan, serta antara penghuni surga dan neraka.[1]


B.    Mengapa Manusia wajib menuntut Ilmu
Hukum menuntut ilmu sebagai mana disebutkan pada hadits berikut:
عَنْ اَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ ﷲ صلي ﷲ عليه و سلم اُطْلُبُوا الْعِلْمَ وَلَو بِا لصِّيْنِ فَاءِ نَّ طَلَبَ الْعِلْمِ فَرِيْضَۃٌ عَلَي كُلِّ مُسْلِمٍ اِنَّ الْمَلاَ ءِكَۃَ تَضَعُ اَجْنِحَتَهَا لِطَا لِبِ الًعِلْمِ رِضًا بِمَا يَطْلُبُ (اخر حه ابن عبد البر)
Artinya: Dari Anas bin Malik berkata: Rasulullah SAW bersabda, “carilah ilmu walaupun dinegeri Cina. Sesungguhnya mencari ilmu itu wajib atas setiap muslim. Sesungguhnya malaikat mepetakan sayapnya bagi pencari ilmu karena ridha dengan apa yang dicari.”(HR. Ibnu Abd al-Barr).
Mencari  ilmu suatu kewajiban sekalipun dimana saja dan dalam keadaan bagaimanapun pula, tidak ada alasan seseorang meninggalkan ilmu atau tidak mencarinya. Makna walaw ((ولو dalam bahasa arab menunjuk batas maksimal apapun yang terjadi (li al-ghayah). Para Ulama memberi penjelasan makna walaupun dinegeri china dalam hadits tersebut antara lain:
1.     Al-Manawiy dalam kitab al-Taysir Syarah al-Jami’ al-Shaghir memberikan arti sekalipun sangat jauh (Mubalaghoh fi al-bu’di) dengan alasan kewajiban menuntutnya sebagaimana hadits lanjutannya.
2.     Faydh Al-Qadir memberikan arti yang sama, yakni walaupun tercapainya ilmu harus mengadakan perjalanan yang sangat jauh seperti perjalanan ke china dan sangat menderita. Orang yang tidak sabar dalam penderitaan dalam mencari ilmu kehidupannya buta dalam kebodohan dan orang yang sabar atasnya akan meraih kemuliaan dunia akhirat.
3.     Abdullah bin Baz dalam Majmu’ fatwanya; anjuran mencari ilmu walaupun ditempat yang sangat jauh bukan berarti di china.
4.     Muhammad Abduh dalam Al-Mannar, memberikan komentar mencari ilmu dengan siapa saja atau dari mana saja sekalipun bukan negeri muslim.
Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa makna mencari ilmu sekalipun dinegeri china adalah  sekalipun jauh dari tempat tinggal, sekalipun menderita dan sulit, sekalipun datang dari non-muslim atau sekalipun dinegara minoritas muslim yang sudah maju.




Hukum menuntut ilmu wajib bagi seluruh kaum muslimin baik laki-laki maupun perempuan, makna wajib disini ada kalanya wajib ain dan ada kalanya wajib kifayah. Hukum Education) sebagaimana kata Ki Hajar Dewantara, bahwa menuntut ilmu sejak lahir sampai mati. Sebagian Ulama salaf berkata:

اُطْلُبُ الْعِلْمَ مِنَ الْمَهْدِ اِلَي اللَّحْدِ
“Carilah ilmu dari ayunan sampai lubang kubur”.[2]
Maksud ilmu disini secara umum baik ilmu syara’ maupun ilmu pengetahuan. Keduanya penting untuk mencari kemashlahatan dunia dan akhirat. Sedang maksud ilmu yang wajib dituntut sebagai mana hadis diatas adalah ilmu syara’ dan kewajibannya adakalanya fardhu’ ain dan adakalanya fardhu’ kifayah. Ibn al-Mubarak ketika ditanya tentang makna hadis diatas menjawab: maknanya tidak seperti yang mereka duga, tetapi apa yang terjadi pada seseorang dari urusan agamanya akan dimintai pertanggung jawaban sehingga ia harus mengetahui ilmunya. Al-Baydhawiy menjelaskan bahwa maksud ilmu disini adalah ilmu yang tidak ada jalan lain kecuali harus mengetahuinya seperti mengetahui Sang Pencipta Alam dan keesaanNya, mengetahui kenabian Muhammad SAW dan mengetahui cara sholat, semua ini hukumnya fardhu’ ain. Al-Ghazali dalam al-Manhaj menjelaskan bahwa mencari ilmu ada 3 ilmu sebagai berikut:
1.     Ilmu Tauhid, ilmu mengetahui pokok-pokok agama seperti mengetahui sifat-sifat tuhan maha kuasa, maha mengetahui, maha hidup, maha menghendaki, dan maha mendengar. Tuhan memiliki segala sifat kesempurnaan dan suci dari segala sifat alam. Ilmu ini juga mengetahui bahwa Muhammad adalah utusan allah dan membenarkan segala apa yang disampaikan.
2.     Ilmu Sihirr, ilmu hati dan pergerakannya, yakni mengetahui kewajiban hati serta mengetahui larangan2nya sehingga mendapatkan keikhlasan niat dan keabsahan amal.
3.     Ilmu Syariah, segala ilmu yang wajib diketahui untuk melaksanakan syariah dan ibadah. Selain 3 diatas hukumnnya wajib kifayah.
4.     Diantara ulama seperti al-Zarnuji dalam kitabnya ta’lim al-muta’alim, al-Ghazali dalam kitabnya Ulum al-Dinn dan al-Manawi dalam al-Taysir bi Syarah al-jami’ al-Shaghir membagi hukum mencari ilmu adakalanya wajib, haram, sunnah, mubah, dan makruh tergantung manfaat dan mudhoraatnya. Hukum wajib ain seperti ilmu wudhu, sholat, puasa, dan lain-lain yang menyangkut amal wajib. Seorang berharta wajib mengetahui ilmu zakat, seorang yang melakukan transaksi jual beli wajib mengetahui hukum muamalah, seorang beristri wajib mengetahui pergaulan dengan wanita dengan baik dan lain-lain.

C.    Keutamaan bagi Orang yang Berilmu
و عن ابي امامۃ رضي ﷲ عنه ان رسول ﷲ صلي الله عليه وسلم قال: فَضْلُ الْعاَ لِمِ عَلَي الْعَابِدِ كَفَضْلِي عَلَي اَدْنَاكُمْ, ثم قال رسول ﷲ صلي الله عليه وسلم: " اِنَّ ﷲ و مَلَاءِكَتَهُ وَاَهْلَ السَّمَوَاتِ وَالَارْضِ, حَتَّي النَّمْلَۃَ فِي جُحْرِهَا, وحَتَّي الحُوْتَ, لَيُصَلُّوْنَ عَلَي مُعَلِّمِ النَّاسِ الْخَيْرَ" (رواه الترمذي, وقال حديث حسن)
Dari Abu Umamah r.a. Bahwasannya Rasulullah SAW bersabda: “Kelebihan ahli ilmu (‘alim) terhadap ahli ibadah (‘abid) adalah kelebihanku terhadap orang yang paling rendah di antara kamu sekalian”, kemudian Rasulullah SAW meneruskan sabdanya: “Sesungguhnya Allah, para malaikat-Nya serta penghuni langit dan Bumi sampai semut yang berada disarangnya dan juga ikan senantiasa memintakan rahmat kepada orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia”. (HR. al-Turmudzi).[3]
Pada hadis ini Rasulullah SAW menjelaskan keutamaan orang ‘alim atas ‘abid. ‘Alim artinya orang yang berilmu pengetahuan terutama ilmu syara’ sedang ‘Abid adalah ahli ibadah saja. Keduanya diperlukan dalam beragama orang alim harus beribadah sebagai manifestasi ilmunya yakni pengalaman ilmu. Demikian juga ‘abid harus berilmu, karena ibadah tidak dapat diterima kalau tidak didasari ilmu.
Maksud orang alim disini adalah orang yang banyak mengetahui ilmu syara’ dan sudah melaksanakan ibadah yang wajib-wajib saja. Sedang ‘abid dimaksudkan orang ahli ibadah setelah sekadar memperoleh ilmu-ilmu yang wajib. Keutamaan orang alim seperti itu lebih utama dibanding ahli ibadah. Keutamaannya bagaikan keutamaan Nabi dibandingkan dengan orang yang terendah diantara sahabat, Alangkah jauhnya perbedaan keutamaan  keduanya, keutamaan Nabi dibandingkan dengan sahabat yang paling agung saja tak ada taranya, bagaimana jika dibandingkan dengan sahabat yang terendah. Kalau orang ‘alim yang tidak mengamalkan ilmunya sama sekali jelas tidak ada keutamaannya, demikian juga orang ‘abid yang sama sekali tidak di dasari ilmu. Keduanya ditolak, tetapi kejahatan orang alim lebih jahat dibandingkan dengan ‘abid. Imam Ruslan dalam kitabnya al-Zubad berkata:
وَكُلُّ مَنْ بِغَيْرِ عِلْمٍ يَعْمَلُ # اَعْمَالُهُ مَرْدُوْدَۃٌ لاَ تُقْبَلُ

فَعَالِمُ بِعِلْمِهِ لَمْ يَعْمَلَنْ # مُعَذَّبٌ مِنْ قَبْلِ عُبَّادِ الْوَثَن
Setiap orang yang beramal tanpa di dasari ilmu
Segala amalnya tertolak tidak diterima
Seorang alim yang tidak mengamalkan ilmunya
Tersiksa terlebih dahulu sebelum penyembah berhala.[4]
           
Kejahatan orang alim yang tidak mengamalkannya ilmunya lebih jahat daripada orang ahli ibadah yang tidak ada ilmunya dan lebih jahat daripada penyembah berhala. Orang bodoh menjadi penyembah berhala suatu kewajaran karena kebodohannya, tetapi orang alimyang melanggar bukan suatu kewajaran, karena dia mengetahui pelanggaran itu tidak benar.
            Keutamaan ilmu dan orang alim sebagaimana yang dimaksudkan dalam Hadis diatas meliputi eksistensi keilmuan maupun pahala yang diterimanya:
a)     Keilmuan bermanfaat bukan bagi diri yang bersangkutan akan tetapi juga terhadap orang lain dan masyarakat luas, sedang ‘abid (orang yang beribadah) manfaatnya hanya untuk diri sendiri bukan untuk orang lain.
b)     Orang yang sibuk dengan keilmuannya seperti mengajar,menulis atau menyebarkan ilmu dengan berbagai media pahalanya lebih besar daripada pahala ibadah sunah saja.
c)     Kedudukan orang yang berilmu jauh lebih mulia dari pada orang tidak berilmu. Dalam QS. Al-Mujadilah: 11  disebutkan bahwa orang yang berilmu akan diangkat derajatnya.
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِيْنَ ءَامَنُوْامِنْكُمْ وَالَّذِيْنَ اُوْتُواالْعِلْمَ ٰدَرَجٰتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ۝
Artinya: niscaya Allah akan mengangkat(derajat) orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Maha mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan.
d)     Kesaksian orang yang berilmu disandingkan setelah esaksian Allah dan para Malaikat-Nya.
e)     Ilmu akan mendatangkan khasyah (takwa).
f)      Perjalanan mencari ilmu adalah berada di jalan Allah.
g)     Menemuh jalan ilmu berarti menempuh jalan menuju surga.
h)     Ilmu adalah bagian dari sedekah jariyah.
i)      Ilmu adalah pilar dari segala kebaikan.
j)      Orang berilmu dapat memberi syafaat atas izin Allah.
k)     Ilmu lebih utama daripada solat sunah.
l)      Ilmu adalah mencakup seluruh ibadah.
Tanpa ilmu manusia akan tersesat.


[1] Yusuf Qardhawi. AL-QUR’AN BERBICARA TENTANG AKAL DAN ILMU PENGETAHUAN, (Jakarta, gema insane, 1998) hlm 93
[2] Khon Abdul Majid. HADIS TARBAWI, (Jakarta; PRENADAMEDIA GROUP, 2015) hlm 143
[3] Ibid.hlm 133
[4] Ibid.hlm 135

Tidak ada komentar:

Posting Komentar