Kamis, 12 April 2018

Tinjauan Iddah ( Masa Tunggu bagi Wanita yang Cerai)


Tinjauan Iddah ( Masa Tunggu bagi Wanita yang Cerai)

1.           Pengertian Idah dan Dasar Hukumnya
Secara bahasa idah merupakan masdar dari 'adda ya'uddu 'addan yang mempunyai arti bilangan, jumlah.[1] Dalam kamus al-Munjid apabila kata idah disandingkan dengan wanita mempunyai arti hari-hari berkabung atas hilangnya suami[2]. Dari kedua arti tersebut dapat dipahami bahwa idah adalah jumlah hari (masa) dimana seorang istri berkabung atas hilangnya (dikarnakan meninggal atau cerai) suami.
Menurut Sayyid Sabiq yang dimaksud dengan idah dari segi bahasa adalah perempuan (istri) menghitung hari-harinya dan masa bersihnya.[3] Sementara al-Jaziri menyatakan bahwa kata idah mutlak digunakan untuk menyebut hari-hari haid perempuan atau hari-hari sucinya.[4]
Dari sisi terminologi terdapat beberapa devinisi idah yang dikemukakan oleh para ulama'. Meskipun dengan redaksi yang berbeda, tetapi secara garis besar mempunyai kesamaan.
Menurut al-Jaziri secara terminologi idah bermakna masa tunggu  seorang perempuan yang tidak hanya didasarkan pada masa haid atau sucinya tetapi kadang-kadang juga didasarkan pada bilangan bulan atau dengan kelahiran.[5]
Sementara itu sayyid sabiq mendevinisikan idah sebagai berikut :
وهي اسم للمدة التي تنتظر فيها المرأة وتمتنع عن التزويج بعد وفاة زوجها أو فراقه لها[6]
idah merupakan nama bagi masa tunggu perempuan (istri) dan tidak boleh kawin setelah kematian suaminya atau setelah ia diceraikan suaminya.
Zakariyya al-Anshori memberikan devinisi idah, dengan redaksi dalam kitab Tuh}fah al-T{ulla>b :
العدة مدة تربص فيها المرأة لمعرفة براءة رحمها او للتعبد او لتفجعها على زوج[7]
Idah adalah masa tunggu seorang perempuan untuk mengetahui kesucian rahim atau untuk taábud (beribadah) atau untuk tafajjŭ (bela sungkawa) terhadap suaminya.
Muhammad zaid al-Ibyani menjelaskan bahwa idah memiliki tiga makna yaitu makna secara bahasa berarti menghitung, makna secara syar'i ialah masa tunggu yang diwajibkan bagi perempuan ketika terdapat sebab. Dan makna menurut istilah fuqaha', Idah yaitu masa tunggu yang diwajibkan bagi perempuan ketika putus perkawinan atau karena perkawinan syubhat (keliru).[8]
Dari berbagai devinisi idah yang telah dikemukakan diatas maka dapat dirumuskan sebuah pengertian yang komprehensif tentang idah yaitu masa tunggu yang ditetapkan bagi perempuan setelah kematian suami atau putus perkawinan baik berdasarkan masa haid atau suci, bilangan bulan atau dengan kelahiran untuk mengetahui kesucian rahim, beribadah maupun berbela sungkawa atas suaminya. Selama masa tersebut perempuan istri dilarang menikah dengan laki-laki lain.
Kewajiban menjalankan idah bagi seorang perempuan setelah kematian suaminya atau setelah cerai dari suaminya dijelaskan di dalam al-Qur`an maupun al-Sunnah. Dalam al-Quran kata-kata idah dituliskan sebanyak sembilan kali beserta derivasinya. Sedangkan sinonim dari idah adalah kata tarabbuṣ[9] dan ajal.
Nash al-Qur`an atau al-Sunnah yang menjadi dasar hukum ditetapkan idah antara lain :
Q.S. al-Talaq ayat 1.
يَأ يُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ وَاتَّقُوا اللَّهَ.
Artinya:   Wahai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) idahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu idah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu.[10]

Q.S al-Ahzab ayat 49
يَأ يُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا
Artinya:   Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka idah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya[11]

Hadis riwayat Imam Malik yang terdapat dalam kitab al-Muwaṭṭā'.
و حَدَّثَنِي عَنْ مَالِك عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ الطَّلَاقُ لِلرِّجَالِ وَالْعِدَّةُ لِلنِّسَاءِ[12]
Artinya  : Dan (Yahya) menceritakan kepadaku dari Malik dari Yahya bin Sa’i>d dari Sa’i>d bin Musayyab, bahwasanya Nabi saw bersabda : talak adalah bagi laki-laki dan idah adalah bagi perempuan.

Dalam konteks hukum positif yang berlaku di Indonesia. Idah disebut dengan masa tunggu. Sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 11.
1)      Bagi seorang yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.
2)      Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan  diatur dalam Peraturan Pemerintah lebih lanjut.[13]
Selanjutnya dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 153 ayat 1 disebutkan ;
Bagi seorang isteri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau idah, kecuali qobla al dukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami.[14]
Terkait dengan idah wanita zina Kompilasi Hukum Islam pasal 53 menyebutkan bahwa :
1)      Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
2)      Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada  ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
3)          Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir [15].

2.           Macam-macam Idah

Secara garis besar idah dibagi menjadi dua. Pertama idah disebabkan atas meninggalnya suami. Kedua idah disebabkan karena perceraian. Dari kedua pembagian tersebut masih dimungkinkan ada dua permasalahan, yaitu ada kehamilan atau tidak. Adapun secara rinci akan dibahas dibawah ini.
a.           Idah karena meninggalnya suami
Dalam hal wanita ditinggal mati oleh suaminya, idah wanita tersebut ada dua kemungkinan, yaitu ada kehamilan atau tidak. Apabila wanita tersebut hamil maka idahnya sampai ia melahirkan. Ketentuan ini berdasarkan Q.S al-T{ala>q ayat 4:
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
Artinya :  Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.[16]
Sedangkan apabila wanita tersebut tidak hamil maka idahnya adalah empat bulan sepuluh hari. Dalam al-Qur'an surat al-Baqoroh ayat 234 :
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
Artinya :  Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan sepuluh hari.[17]
b.           Idah karena perceraian
Wanita yang diceraikan oleh suaminya memiliki idah yang variatif. Hal ini dikarnakan keadaan yang memang berbeda satu dan lain.
Pertama Wanita yang diceraikan dalam keadaan hamil. Idah bagi wanita yang diceraikan dalam keadaan hamil sama seperti wanita hamil yang ditinggal mati oleh suaminya, yakni sampai melahirkan.
Kedua wanita yang diceraikan dalam keadaan tidak hamil. Wanita ini diwajibkan beridah selama tiga kali sucian menurut Imam Syafi’i, dan tiga kali haid / menstruasi menurut Abu Hanifah. Dalam Q.S al-Baqoroh ayat 228 :
وَالْمُطَلَّقتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
Artinya: Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru.[18]
Ketiga adalah wanita yang dicerikan oleh suaminya dalam keadaan sudah menepouse. Idah disini berlaku selama tiga bulan, dalam Q.S. al-Talaq ayat 4 berbunyi ;
وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ
Artinya: Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa idahnya) maka idah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang belum haid.[19]
Keempat adalah wanita yang diceraikan dalam keadaan belum pernah dikumpuli. Dalam hal ini wanita tersebut tidak diwajibkan idah. Sebagaimana dalam Q.S al-Ahzab ayat 49 :
يَأ يُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka idah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya, Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.[20]

3.     Hikmah Disariatkan Idah

Perlu diketahui bahwasanya Allah SWT tidaklah meninggalkan perintah bagi kita maupun kaidah-kaidah penetapan hukum kecuali di dalamnya terdapat hikmah yang tinggi untuk menolong manusia di dunia maupun di akhirat. Tidak terkecuali dalam permasalahan idah.
Dalam tradisi bangsa arab idah disimbolkan dengan Ihdad[21]. Tetapi pada zaman jahiliyyah Ihdad sangat memberatkan seorang istri dimana waktu tunggu berlangsung selama satu tahun.[22] Kemudian Islam datang meralatnya dengan memberikan batasan-batasan Ihdad yang lebih ringan daripada tradisi jahiliyah, yaitu 4 bulan 10 hari. Sebagaimana Firman allah SWT :
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
Artinya :  Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan sepuluh hari.[23] Al-Baqarah :234
Dan hadis Nabi Muhammad saw:
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تُحِدُّ امْرَأَةٌ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلَاثٍ إِلَّا عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا وَلَا تَلْبَسُ ثَوْبًا مَصْبُوغًا إِلَّا ثَوْبَ عَصْبٍ وَلَا تَكْتَحِلُ وَلَا تَمَسُّ طِيبًا إِلَّا إِذَا طَهُرَتْ نُبْذَةً مِنْ قُسْطٍ أَوْ أَظْفَارٍ[24]
Artinya :  Diriwayatkan dari umi ‘at}iyyah bahwasanya rasulullah saw bersabda; seorang wanita tidak boleh melakukan ihdad atas kematian seseorang melebihi tiga (hari), kecuali dikarenakan kematian suaminya maka ihdad selama empat bulan sepuluh hari. Dan tidak diperbolehkan memakai pakian yang di cap (diberi motif warna), memakai celak dan wangi-wangian kecuali setalah suci, maka diperbolehkan menggunakan sedikit qist} dan az}fa>r (jenis tumbuhan yang wangi).
و حَدَّثَنِي عَنْ مَالِك عَنْ نَافِعٍ عَنْ صَفِيَّةَ بِنْتِ أَبِي عُبَيْدٍ عَنْ عَائِشَةَ وَحَفْصَةَ زَوْجَيْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيْتٍ فَوْقَ ثَلَاثِ لَيَالٍ إِلَّا عَلَى زَوْجٍ[25]
Artinya :  (Yahya) telah bercerita kepadaku, (bersumber) dari Malik dari Nafi’ dari Shafiyah binti Ubaid dari Aisyah dan Hafsoh kedua istri Nabi, bahwasanya Nabi bersabda : Tidak dihalalkan bagi wanita mukmin untuk melakukan ihdad diatas tiga malam kecuali atas kematian suaminya.

Al-Jurjawi dalam kitab Hikmah al-Tasyri` wa Falsafatuh menjelaskan beberapa hikmah terkait dengan disyariatkannya idah. Diantaranya adalah :
1)      Mengetahui keberadaan rahim, sehingga tidak akan terjadi percampuran sperma dua laki-laki dalam satu rahim sehingga menyebabkan ketidak jelasan nasab (keturunan)
2)      Memberikan penghormatan terhadap akad dan mengagungkannya
3)      Memperpanjang waktu untuk ruju` bagi suami yang menjatuhkan talak raj`i
4)      Menghormati hak suami yang meninggal dengan menunjukkan rasa berbela sungkawa atas kepergiannya
5)      Kehati-hatian (ihtiyat) terhadap hak suami yang kedua[26]
Pada dasarnya dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, kehamilan dapat diketahui tanpa menunggu tiga kali masa suci atau selesainya masa idah. Tetapi dari sisi lain idah perceraian adalah sebagai sarana introspeksi diri bagi kedua belah pihak, berfikir secara jernih sehingga kembali berumah tangga seperti sediakala atau berlanjut perceraian.
Hikmah lain ditetapkannya idah bagi wanita hamil yang ditalak suaminya adalah masih adanya tanggung jawab nafkah bagi suami terhadap istri berbentuk pemenuhan nafkah sampai saat melahirkan[27]. Selain itu dengan ditetapkannya idah menunjukkan bahwa ikatan perkawinan adalah ikatan yang kokoh dan suci (mitsaqon gholidzon) yang tidak mudah putus hanya dengan jatuhnya talak raj`i.



[1] Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir kamus Arab-Indonesia, Surabaya : Pustaka Progresif, 2002, hlm. 903.
[2] Kamus al-Munjid, Beirut : Al-Katsulikiyah, t.t., hlm. 490
[3] As-Sayid Sabiq, fiqh as-Sunnah, Juz II. Jakarta : PT Pena Pundi Aksara, hlm. 277
[4] Abdur Rahman al-Jaziri, al-Fiqh `ala al-Mazahib al-Arbaáh Mesir : Maktabah Al-Tijariyah al-Kubra, 1969, Juz. IV, hlm. 513.
[5] Abdur Rahman al-Jaziri, al-Fiqh `ala al-Mazahib al-Arbaáh...,hlm. 513.
[6] As-Sayid Sabiq, fiqh as-Sunnah..., hlm, 325.
[7] Zakariya al-Anshori, Tuh}fah al-T{ulla>b, Semarang : Maktabah Alawiyah, T.t., hlm. 109.
[8] Muhammad zaid al-Ibyani, Syarh al-Ahkam asy-Syariah fi Ahwal al-Syahsiyyah, Beirut : Maktabah an-Nahdah, t.t., juz I, hlm. 426.
[9] Dalam kamus al-Munjid kata tarabbus} mempunyai arti intidzar (menunggu)
[10] Departemen Agama RI, Al-Qur`an dan Terjemahnya, jakarta : CV. Naladana, 2004, hlm. 816.
[11] Ibid, Hlm 600.
[12] Malik bin Anas al-Muwaṭṭā'. T.t., hlm. 582.
[13] Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974.
[14] Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Islam Ditjen Pembinaan Kelembagaan Islam Departemen Agama, 2001.
[15] Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Islam Ditjen Pembinaan Kelembagaan Islam Departemen Agama, 2001.
[16] Departemen Agama RI, Al-Qur`an dan Terjemahnya..., hlm. 817.
[17] Departemen Agama RI, Al-Qur`an dan Terjemahnya..., hlm. 47.
[18] Departemen Agama RI, Al-Qur`an dan Terjemahnya..., hlm. 45.
[19] Departemen Agama RI, Al-Qur`an dan Terjemahnya..., hlm. 817.
[20] Departemen Agama RI, Al-Qur`an dan Terjemahnya..., hlm. 600.
[21] Ihdad adalah tindakan seorang istri dengan meninggalkan berhias/bersolek, tidak memakai wangi-wangian. Ihdad dalam tradisi arab disimbolkan dengan memakai baju hitam. Lihat kamus Munjid, hlm. 121.
[22] Ali Ahmad Al-Jurjawi, Hikmah at-Tasyri’ wa Falsafatuhu, Beirut : Dar al-Fikr, t.t., juz. II, hlm. 55.
[23] Departemen Agama RI, Al-Qur`an dan Terjemahnya..., hlm. 47.
[24] Imam Muslim, Shahih Muslim, Beirut : Dar al-Fikr, t.t., juz. VII, hlm. 480.
[25] Malik bin Anas, al-Muwat}t}a', t.t., hlm. 598.     
[26] Ali Ahmad Al-Jurjawi, Hikmah at-Tasyri’ wa Falsafatuhu..., hlm. 54.
[27] Ali Ahmad Al-Jurjawi, Hikmah at-Tasyri’ wa Falsafatuhu..., hlm. 56.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar