Minggu, 01 April 2018

Tinjauan Tajdidun nikah



 Tajdidun Nikah
1.   Pengertian Tajdidun Nikah
Menurut bahasa tajdid adalah pembaharuan yang merupakan bentukdari جَدَّدَ- يُجَدِّدُ- تَجْدِيْدًاyang artinya memperbaharui.[1]Dalam kata tajdidmengandung arti yaitu membangun kembali, menghidupkan kembali,menyusun kembali, atau memperbaikinya sebagaimana yang diharapkan.Menurut istilah tajdid adalah mempunyai dua makna yaitu: Pertama, apabiladilihat dari segi sasarannya, dasarnya, landasan dan sumber yang tidakberubah-ubah, maka tajdidbermakna mengembalikan segala sesuatu kepadaaslinya. Kedua, tajdidbermakna modernisasi, apabila sasarannya mengenaihal-hal yang tidak mempunyai sandaran, dasar, landasan dan sumber yangtidak berubah-ubah untuk disesuaikan dengan situasi dan kondisi serta ruangdan waktu.[2]
Sedangkan kata nikah berasal dari bahasa Arabنِكَاحyang merupakanbentuk masdar dari fi’il madhiنَكَحyang artinya kawin atau menikah.[3]Abdurrahman al-Jaziri dalam kitabnya al-Fiqh ‘Ala Madzahibil Arba’ah menyebutkan bahwa arti nikah secara bahasa adalah :
النكاح لغة : الوطء و الضم[4]
Artinya:“Nikah menurut bahasa artinya: wath’i (hubungan seksual) dan berhimpun.”
Kemudian nikah secara istilah (syara’) didefenisikan sebagai berikut: Pengertian nikah menurut ulama Asy-Syafi’iyah:
النكاح بانه عقد يتضمن ملك الوطء بلفظ انكاح او تزويج او معناهما
Artinya: “Nikah adalah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan wath’i dengan lafadz nikah atau tazwij atau yang semakna dengan keduanya”[5]
   Dari uraian  tersebut diatas tampak jelas bahwa yang dimaksud  dengan “Tajdidun Nikah  dalam Pernikahan” adalah pembaharuan Aqad Nikah.  atau memperbaharui Akad Nikah atau mengulang  Akad Nikah. Yang dalam bahasa Jawa sering disebut dengan istilah: Nganyari Nikah. Atau lebih dikenal dengan Istilah Mbangun Nikah.  

2.     Dasar Hukum Tajdidun Nikah
Dalil Tajdidun Nikah secara eksplisit tidak ditemukan dalam al-Qur’an, namun kami temukandalamhadistyang dijadikan sandaran tajdidun nikah yaitu: Hadist riwayat imam Muslim, tentang baiat Salamah yang kedua, berikut hadistnya:
حدثنا ابو عاصم عن يزيد بن ابي عبيد عن سلمه قال : بايَعْنَا النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَقَالَ لِي يَا سَلَمَةُ أَلاَ تُبَايِعُ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ قَدْ بَايَعْتُ فِي الأَوَّلِ قَالَ وَفِي الثَّانِي اخرجه مسلم[6]
.Artinya: Kami melakukan bai’at kepada Nabi saw di bawah pohon kayu. Ketika itu, Nabi saw menanyakan kepadaku : “Ya Salamah, apakah kamu tidak melakukan bai’at ?. Aku menjawab : “Ya Rasulullah, aku sudah melakukan bai’at pada waktu pertama (sebelum ini).” Nabi saw berkata : “Sekarang baiat yang kedua (Riwayat: Muslim).”
Dalam hadits ini diceritakan bahwa Salamah sudah pernah melakukan bai’at kepada Nabi Saw, namun beliau tetap menganjurkan Salamah melakukan sekali lagi bersama-sama dengan para sahabat lain dengan tujuan menguatkan bai’at Salamah yang pertama sebagaimana disebutkan oleh al-Muhallab.[7]
Karena itu, bai’at Salamah yang kedua kali ini tentunya tidak membatalkan bai’atnya yang pertama. Tajdid nikah dapat diqiyaskan kepada tindakan Salamah mengulangi bai’at ini, mengingat keduanya sama-sama merupakan ikatan janji antara dua pihak. Pendalilan seperti ini telah dikemukakan oleh Ibnu Munir sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hajar al-Asqalany dalam Fathul Barri. Ibnu Munir berkata:
وقال ابن المنير: يستفاد من هذا الحديث أن اعادة لفظ العقد في النكاح وغيره ليس فسح للعقد الاول[8]
Artinya:“Dipahami dari hadits ini (hadits salamah) bahwa mengulangi lafazh akad nikah dan akad lainnya tidaklah menjadi fasakh bagi akad pertama.[9]
        Mengomentari pernyataan Ibnu Munir yang mengatakan bahwa ada ulama Syafi’iyah yang berpendapat mengulangi akad nikah dan akad lainnya dapat mengakibatkan fasakh akad pertama, Ibnu Hajar al-Asqalany mengatakan :“Aku mengatakan : “Yang shahih di sisi ulama Syafi’iyah adalah mengulangi akad nikah atau akad lainnya tidak mengakibatkan fasakh akad pertama, sebagaimana pendapat jumhur ulama.[10]

[1]Husain Al-Habsyi, Kamus al-Kautsar Lengkap, (Surabaya: YAPI, 1997), h. 43.
[2]Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006),h. 147.
[3]Atabik Ali, Muhammad Mudhlor, Kamus Kotemporer Arab Indonesia, Yogyakarta: Muti Karya Grafika Pondok Pesantren Krapyak, 1998, h. 1943.
[4]Jaziri Abdurrahman . Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah. Beirut Libanon: Ihya al-Turat al-‘Arabi. 1969h. 3-4
[5] Hariri Abdurrahman . Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah. Beirut Libanon: Ihya al-Turat al-‘Arabi. 1969 h. 4.
[6]Ibnu hajar al-Asqalany, fathul bari, baitul afkar ad-daulah , J. I, h. 93.
[7]Ibnu Bathal, Syarah Bukhari, Maktabah Syamilah, J. XV, h. 301.
[8]Ibnu hajar al-Asqalany, Fathul Bari, Baitul Afkar ad-Daulah , J. I, h. 93.
[9]Ibnu Hajar al-Asqalany, Fathul Bari,baitul afkar ad-daulah, J. II, h. 175
[10]Ibnu Hajar al-Asqalany, Fathul Barri, Maktabah Syamilah, Juz.  XIII, h. 199.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar