Tajdidun Nikah
1. Pengertian Tajdidun Nikah
Menurut bahasa tajdid adalah pembaharuan yang
merupakan bentukdari جَدَّدَ-
يُجَدِّدُ- تَجْدِيْدًاyang artinya memperbaharui.[1]Dalam kata tajdidmengandung arti yaitu
membangun kembali, menghidupkan kembali,menyusun kembali, atau memperbaikinya
sebagaimana yang diharapkan.Menurut istilah tajdid adalah mempunyai dua
makna yaitu: Pertama, apabiladilihat dari segi sasarannya, dasarnya,
landasan dan sumber yang tidakberubah-ubah, maka tajdidbermakna mengembalikan
segala sesuatu kepadaaslinya. Kedua, tajdidbermakna modernisasi, apabila
sasarannya mengenaihal-hal yang tidak mempunyai sandaran, dasar, landasan dan
sumber yangtidak berubah-ubah untuk disesuaikan dengan situasi dan kondisi
serta ruangdan waktu.[2]
Sedangkan kata nikah
berasal dari bahasa Arabنِكَاحyang merupakanbentuk
masdar dari fi’il madhiنَكَحyang artinya kawin atau
menikah.[3]Abdurrahman al-Jaziri dalam
kitabnya al-Fiqh ‘Ala Madzahibil Arba’ah menyebutkan bahwa arti nikah secara
bahasa adalah :
النكاح لغة : الوطء و الضم[4]
Artinya:“Nikah menurut bahasa artinya:
wath’i (hubungan seksual) dan berhimpun.”
Kemudian nikah secara istilah (syara’)
didefenisikan sebagai berikut: Pengertian nikah
menurut ulama Asy-Syafi’iyah:
النكاح بانه عقد يتضمن ملك الوطء بلفظ انكاح او تزويج او
معناهما
Artinya: “Nikah adalah akad yang mengandung ketentuan
hukum kebolehan wath’i dengan lafadz nikah atau tazwij atau yang semakna dengan
keduanya”[5]
Dari uraian tersebut diatas
tampak jelas bahwa yang dimaksud dengan “Tajdidun Nikah dalam
Pernikahan” adalah pembaharuan Aqad Nikah. atau memperbaharui Akad Nikah
atau mengulang Akad Nikah. Yang dalam bahasa Jawa sering disebut dengan
istilah: Nganyari Nikah. Atau lebih dikenal dengan Istilah Mbangun Nikah.
2. Dasar Hukum Tajdidun Nikah
Dalil Tajdidun Nikah secara
eksplisit tidak ditemukan dalam al-Qur’an, namun kami temukandalamhadistyang
dijadikan sandaran tajdidun nikah yaitu: Hadist riwayat imam Muslim, tentang
baiat Salamah yang kedua, berikut hadistnya:
حدثنا ابو عاصم عن يزيد بن ابي عبيد عن سلمه قال : بايَعْنَا النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَقَالَ لِي يَا
سَلَمَةُ أَلاَ تُبَايِعُ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ قَدْ بَايَعْتُ فِي الأَوَّلِ
قَالَ وَفِي الثَّانِي اخرجه مسلم[6]
.Artinya: Kami melakukan bai’at
kepada Nabi saw di bawah pohon kayu. Ketika itu, Nabi saw menanyakan kepadaku :
“Ya Salamah, apakah kamu tidak melakukan bai’at ?. Aku menjawab : “Ya
Rasulullah, aku sudah melakukan bai’at pada waktu pertama (sebelum ini).” Nabi saw
berkata : “Sekarang baiat yang kedua (Riwayat: Muslim).”
Dalam hadits ini diceritakan
bahwa Salamah sudah pernah melakukan bai’at kepada Nabi Saw, namun beliau tetap
menganjurkan Salamah melakukan sekali lagi bersama-sama dengan para sahabat
lain dengan tujuan menguatkan bai’at Salamah yang pertama sebagaimana
disebutkan oleh al-Muhallab.[7]
Karena itu, bai’at Salamah yang kedua kali ini tentunya
tidak membatalkan bai’atnya yang pertama. Tajdid nikah dapat diqiyaskan kepada
tindakan Salamah mengulangi bai’at ini, mengingat keduanya sama-sama merupakan
ikatan janji antara dua pihak. Pendalilan seperti ini telah dikemukakan oleh
Ibnu Munir sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hajar al-Asqalany dalam Fathul
Barri. Ibnu Munir berkata:
Artinya:“Dipahami dari hadits ini (hadits salamah) bahwa
mengulangi lafazh akad nikah dan akad lainnya tidaklah menjadi fasakh bagi akad
pertama”.[9]
Mengomentari
pernyataan Ibnu Munir yang mengatakan bahwa ada ulama Syafi’iyah yang
berpendapat mengulangi akad nikah dan akad lainnya dapat mengakibatkan fasakh
akad pertama, Ibnu Hajar al-Asqalany mengatakan :“Aku mengatakan : “Yang
shahih di sisi ulama Syafi’iyah adalah mengulangi akad nikah atau akad lainnya
tidak mengakibatkan fasakh akad pertama, sebagaimana pendapat jumhur ulama.[10]
[3]Atabik Ali, Muhammad Mudhlor, Kamus
Kotemporer Arab Indonesia, Yogyakarta: Muti Karya Grafika Pondok Pesantren
Krapyak, 1998, h. 1943.
[4]Jaziri Abdurrahman . Fiqh ‘Ala Madzahib
al-Arba’ah. Beirut Libanon: Ihya al-Turat al-‘Arabi. 1969h. 3-4
[5] Hariri Abdurrahman . Fiqh
‘Ala Madzahib al-Arba’ah. Beirut Libanon: Ihya al-Turat al-‘Arabi. 1969 h. 4.
[6]Ibnu hajar
al-Asqalany, fathul bari, baitul afkar ad-daulah , J. I, h.
93.
[8]Ibnu hajar
al-Asqalany, Fathul Bari, Baitul Afkar ad-Daulah , J. I, h.
93.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar