Makna Ijtihad dan persyaratan non
Skill sebagaiMujtahid
1. Definisi
ijtihad
Konsep ijtihad sebenarnya melekat
pada kitab-kitab fiqh (Azizy, 2004: 67). Sangat mengada-ada
ketika berbicara tentang fiqh tanpa menyertakan proses
memproduksi, karena fiqh adalah produk jadi, proses itulah
yang dinamakan ijtihad. Ditelisik dari sisi etimologi, ijtihad
merupakan bentuk dari kata benda dari konjungsi (tasyrif) kata ijtihada-yajtahidu-ijtihadan yang
mengandung pengertian usaha keras dan pengerahan segala kemampuan untuk
mencapai maksud tertentu (Haq, 2009: 8).
An-Na’im (1990: 45), penggunaan
ijtihad dalam pengertian umum relevan dengan interpretasi al-Quran dan sunnah.
Ketika suatu prinsip atau aturan syari’ah didasarkan pada makna umum atau
implikasi yang luas dari suatu teks al-Qur’an dan sunnah berbeda dengan aturan
langsung dari teks yang jelas dan terinci, maka teks dan prinsip syari’ah itu
harus dihubungkan melalui penalaran hukum. Dari sisi ini jelaslah bahwa bahwa
ijtihad adalah konsep fundamental dan sangat aktif dalam pembentukan hukum
Islam. Asy-Syaukhani mendefinisikan ijtihad dengan; badlu al-wus’I fi
nayli hukmin syar’iyin ‘amaliyyin bi tariqi al-istinbath (Pengerahan
kemampuan dalam memperoleh hokum syariat ‘amaliyah dengan cara istinbath)”
(Asy-Syaukhani, tt: 250)
Menurut ulama’ ushul biasanya memberi
definisi ijtihad dengan; badzl al-juhd li al-wusulil al-hukm al-syar’iy
min dalil tafshiliy min al-adillah al-syariyyah (mencurahkan daya
upaya untuk sampai pada [menemukan] hokum syariy dari dalil yang spesifik dari
dalil-dalil syar’iy) (Khallaf, 216). Sedangkan definisisi yang diberikan oleh
al-alamah Khudhory bekIjtihad adalah: mencurahkan kemampuan untuk
mengistinbathkan hokum syar’I dari apa yang dipandang pembuat syara’ sebagai
dalil yaitu kitab Allah dan Sunah Nabi-Nya. Bentuknya ada dua macam, pertama, mengambil
hokum dari bentuk lahir nash, apabila hokum bisa didapat dari nash-nash itu.
Kedua, mengambil hokum dari rasionalitasnya, apabila dalam nash itu ada ‘illat
jelas atau diistinbathkan darinya. Peristiwa dimaksud terdapat dalam ‘ilat ini
dan nash tidak mencakup hukumnya. Ini dikenal dengan nama qiyas (Bek, [a]66).
Dari uraian diatas maka ijtihad
mengandung dua faktor; Pertama, ijtihad yang khusus untuk
menetapkan suatu hukum dan penjelasannya. Pengertian ini adalah pengertian
ijtihad yang sempurna, dan dikhususkan bagi ulama’ yang bermaksud untuk
mengetahui ketentuan-ketentuan hukum furu’amaliyah dengan
menggunakan dalil-dalil terperinci. Sebagian ulama’ telah menjelaskan bahwa
ijtihad dalam pengertian dan bentuk yang khusus pada suatu masa akan terputus
(kosong). Demikian menurut jumhur ulama’. Sementara ulama’ Hambali mengatakan
bahwa setiap masa tidak boleh kosong dari ijtihad dalam bentuk ini. Karena iti
setiap masa harus selalu ada mujtahid yang harus mencapai tingkatan tersebut.
Kedua, ijtihad khusus untuk menerapkan dan mengamalkan hukum.
Seluruh ulama’ sepakat bahwa setiap masa tidak akan terjadi kekosongan dari
mujtahid dalam katagori ini. Mereka inilah yang akan mencari dan
menerapkan illatterhadap berbagai kasus juz’iyah, dengan menerapkan
prinsip-prinsip yang telah ditetapkan ulama’ dahulu (Zahrah, 568).
Beberapa pengertian tersebut menurut
Harun Nasution (1996: 108-109),arti ijtihad seperti yang dikemukakan di atas
adalah ijtihad dalam arti sempit. Sedangkan dalam arti luas menurutnya, ijtihad
juga berlaku pada bidang selain hukum Islam, misalnya Ibnu Taimiyah yang
menjelaskan bahwaijtihad juga digunakan dalam lapangan tasawuf, ia mengatakan
“sebenarnya kaum sufi adalah mujtahid-mujtahid dalam masalah kepatuhan,
sebagaimana mujtahid-mujtahid lain”, dan sebenarnya kaum sufi di Basrah dalam
masalah ibadah dan hal ihwal ini adalah mujtahid-mujtahid, seperti halnya
dengan tantangan mereka di Kufah yang juga mujtahid-mujtahid dalam masalah
hukum, politik, aqidah tasawuf, falsafah, dan tata negara.
Dengan tugas penerapan tersebut,
maka akan menjadi jelaslah ketentuan hukum-hukum tentang masalah yang tidak
dikenal oleh ulama’ terdahulu yang dikategorikansebagai mujtahid tingkat
pertama.Oleh sebab itu ada beberapa persayaratan yang harus dimiliki oleh
mujtahid untuk dapat melaksanakanijtihad.
2. Persyaratan Non Skill Sebagai Mujtahid
Mujtahid adalah seorang ahli fiqih
yang mengeluarkan segala kemampuannya untuk sampai pada hukum syariat. Ia harus
memiliki kemampuan sebagai acuan untuk melahirkan hukum-hukum syariat dari
pendekatannya. Berdasarkan pengertian ini, orang yang memiliki pengetahuan
terhadap hukum-hukum syariat nemun tidak mampu untuk melahirkan kesimpulan
hukum dari dalil-dalil yang ada tidak bisa disebut sebagai mujtahid. Dalam
Islam seorang mujtahid memiliki kedudukan yang tinggi. Ia berdiri menggantikan
posisi Nabi Muhammad saw, karena ia memiliki ilmu kenabian, menyampaikannya
kepada umat manusia, dan menjadi seorang yang memberikan pengajaran dan
petunjuk kepada mereka (al-Syarafi, 1998: 28-29).
Oleh karena itu untuk menghindari
kesalahan dan jebakan dalam berijtihad dibutuhkan kejujuran intelektual, ikhlas
dan memiliki pengetahuan yang cukup tentang seluk beluk masalah ijtihad. Paling
tidak calon mujtahid harus dengan jelas mampu membedakan dimana ia seharusnya
berijtihad (Rahmat, 1996: 180).Dalam hal ini, sebagian ulama’ sangatketat
menerapkan syarat-syarat ijtihad, meski sebagian yang lain cukup longgar. Dan
sebagian lagi ada yang mengambil jalan tengahnya. Namun demikian, syarat-syarat
yang mereka ajukan secara umum mengajak kembali pengetahuan yang lebih orisinil
tentang sumber-sumber dan tujuan syariat (al-Syarafi, 1998: 30).Masalah ijtihad
sebenarnya bukan masalah mau atau tidak mau, persoalan mampu dan tidak mampu.
Memaksa orang yang tidak mampu berijtihad mengundang bahaya, sebab untuk
melakukan ijtihad seseorang harus memenuhi syarat-syarat tertentu yeng bisa
membawa ke derajat mujtahid.
Muhammad Musa Towana dalam Amir
Mu’alim (2004: 58), mengelompokkan Syarat-syarat ijtihad ke dalam beberapa
bagian. Pertama,persyaratan umum (al-syurut al-‘ammah), yang
meliputi; (1) Baligh (2) Berakal sehat (3) Kuat daya nalarnya (4) beriman atau
mukmin.
Kedua, persyaratan pokok (al-syurut asasiyyah)yaitu
syarat-syarat mendasar yang menuntut mujtahid supaya mujtahid memiliki
kecakapan sebagai berikut; (1) mengetahui al-qur’an (2) memahami sunnah (3)
memahami maksud-maksud hokum syariah, dan (4) mengetahui kaidah-kaidah umum (al-qawaid
al-kulliyah) hukum Islam.
Ketiga, pernyaratan penting (al-syurut al-hammah) yakni
beberapa persyaratan yang penting dipunyai mujtahid. Syarat-syarat ini
mencakup; (1) menguasai bahasa Arab, (2) menguasai ilmu ushul
fiqh (3) mengetahui ilmu mantik atau logika, dan (4) mengetahui hokum
asal suatu perkara (al-bara’ah asliyah).
Keempat, persyaratan pelengkap (al-syurut al-takmiliyah) yang
mencakup; (1) tidak ada dalil qahtiy bagi masalah yang ijtihadi (2)
mengetahui hilafiyahatautempat tempat perbedaan dan (3) memelihara
kesalehan dan ketaqwaan diri.
Menurut para sarjana ushul
fiqh hanya orang-orang yang memiliki persyaratan tersebut-lah yang
berhak menyandang predikat “Mujtahid”. Kreteria ideal ini merupakan rumusan
yang diangkat sesuai dengan beban ijtihad yang cukup berat itu. Oleh karenanya,
kriteria-kriteria di atas adalah kriteria untuk seorang mujtahid mutlaq dan
bukan mujtahid pada umumnya. Namun setidaknya, mujtahid-mujtahid yang bukan
mujtahid mutlaq, juga harus mempunyai kualifikasi kemampuan yang mengacu pada
kriteria-kriteria di atas.
al-Syatibi (w. 790H), untuk mecapai
ke derajat mujtahid, seorang fakih harus memiliki dua sifat; 1) mampu memahami
maksud-maksud syariat (maqasyid asy-syariah) dan 2) sanggup
mengistinbahkan hukum berdasarkan pemahamannya sendiri terhadap maqasyid
asy-syariah tersebut (Syatibi, t.t [IV]: 89).
Pembagian dan penjelasan tentang
ijtihad yang dikemukakan al-Syatibi di atas, Nampak jelas bahwa
syarat mujtahid harus memenuhi kuwalifikasi yakni al-masalih
al-mursalah yang didefinisikan sebagai metode ijtihad yang
diberlakukan ketika sesuatu masalah tidak ada sumber nasnya dalam syariat,
dalam hal ini jika juga tidak ada sumbernya dari ijma dan selainnya semisal
qiyas. al-Masalih al-Mursalah (selanjutnya disebut maslahah) sebenarnya telah
dipraktekkan sejak masa Nabi saw. Hal ini, telah banyak dilakukan oleh para
sahabat, dan Nabi saw sendiri membenarkannya. Secara tekstual sahabat telah
menyalahi syara’, sebab telah melakukan di luar ketentuan.
Menurut al-Syatibi, maslahat yang
merupakan tujuan Tuhan dalam syariatnya itu mutlak diwujudkan sebab keselamatan
dan kesejahteraan tidak akan mungkin dicapai tanpa mashalah terutama yang
bersifat dharuriyah dan meliputi lima hal, yakni; pemeliharan terhadap agama,
jiwa, akal, keturunan, dan harta. Selanjutnya, al-Syatibi menegaskan
bahwa maqashid al-syari’ah yang bila dikaitkan dengan
kemaslahatan, maka dapat dilihat dari dua aspek. Pertama, tujuan Tuhan (maqashid
al-syari’) dan kedua tujuan mukallaf (maqashid al-mukallaf).
Persyaratan-persyaratan tersebut
memang tidak ada dalam nash al-Qur’an maupun sunnah. Hal ini semata-mata
digariskan oleh para ulama’ sebagai hal yang mutlak perlu menurut akal sehat,
dan juga mengambil teladan dari para imam besar, para mujtahid dimasa lalu.
Agar dengan demikian dapat mencegah banyak orang yang ingin memasukkan dirinya
dalam barisan mujtahid, padahal kemampuan maupun kepribadiannya masih jauh
untuk meraih kedudukan mulia itu.
Oleh karena itu, menurut Qodri Azizy
syarat-syarat ijtihad di atas terlampau berat perlu dikaji ulang, karena
menurutnya hampir tidak mungkin tersentuh untuk masa kini. Demikian pula beban
yang terlalu berat dan tuntunan yang terlalu tinggi ketika melakukan ijtihad
juga perlu di luruskan. Sebab dalam kenyataannya, setiap kitab fiqh, meskipun
kitab yang sangat sederhana, selalu pula menyebut ijtihad untuk syarat seorang
hakim. Dan kalau kita lihat sejarahnya, sebelum abad ke tiga hijriyah
syarat-syarat ijtihad yang begitu ketat belum muncul. Jadi terjadi paradoks.
Hal ini menurut Azizy perlu kajian mendalam dan sekaligus keberanian untuk
meredefinisikan ijtihad untuk kemudian memunculkan konsep ijtihad baru atau
modern. Beliau menyarankan Ijtihad hendaknya menjadi sebuah formulasi
metodologi yang dapat dibentuk sebagai hasil kajian kritis terhadap konsep
berijtihad secara konvensional yang dipadukan dengan tuntutan zaman dan
pertanggung jawaban tradisi akademik. Oleh karena itu, formulasi ijtihad baru
juga sudah menjadi tuntutan untuk dibangun., yang tentu tidak dapat langsung
lepas sama sekali dari proses continuity dari berijtihad masa
lalu. Formulasi ini juga diperlukan bagi mereka yang akan menghasilkan gelar
akademik tertinggi, sehingga akan mampu mendemonstrasikan karya orisinilnya[1][1] (Azizy,
2004: 108-110).
sedangkan, menurut al-Bagirselain
keempat jenis persyaratan diatas yang digolongkannya kedalam pesyaratan
teksnis. Al-Baqir juga menambahkan persyaratan non skill (kepribadian).
Mengenai persyaratan ini acap kali diabaikan sehingga kita sering melihat
orang-orang yang mungkin tinggi kadar ilmunya, namun kepribadiannya lemahdan
akhlaq-nya buruk, sehingga ilmunya itu tidak dapat diharapkan untuk pembimbing
umat dan membawa rahmat bagi manusia. Mengutip pendapat al-alamah Abu Zahrah,
al-Baqir menyebutkan beberapa sifat yang harus dimiliki oleh seorang munjtahid,
antara lain;
Pertama,kecerdasan dan kearifan. Dengan ini ia mampu menggunakan
ilmu-ilmu teknisdi atas sebagai alat yang memilahkan antara pendapat-pendapat
yang benar dan yang palsu, yang tepat dan yang menyimpang dari tujuan syariat.
Selanjutnya kan memudahkan menyimpulkan hokum-hukum yang benar dari dalil-dalil
dan kaidah-kaidah yang umum yang dapat diterapkan pada peristiwa kasus yang
muncul. Semuanya itu disertai dengan kearifan dan kebijakan sehingga tidak akan
menimbulkan keresahan umat dan menyebabkan mereka terombang ambing dalam
kebingungan.
Kedua, Niat yang
tulus dan itikad yang baik.Niat yang tulus menjadikan hati diterangi nur Allah
SWT sehingga mampu menembus inti agama yang penuh hikmah ini. Bila tujuannya
hanyalah hakiakat agama semata-mata, taka da tujuan apa pun selain itu,
pastilah Allah akan mengarunianya cahaya hikmah yang akan senatiasa
membimbingnya di jalan kebenaran dan menjauhkannya dari jalan kesesatan. Sebab,
syariah adalah nur yang tidak aka nada yang bisa meraihnya kecuali siyapa yang
hatinya dipenuhi keikhlasan. Itulah sebabnya kita senantiasa menyaksikan para
imam besar yang telah mewariskan ilmu-ilmu yang luas serta mendalam sebelum
dikenal sebagai ahli-ahli fiqh mereka dikenal secara luas dengan sifatwara’ kelurusan
pribadi dan kejujuran intelektual. Ia tidak akan bersikap fanatic dalam mempertahankan
pendapat kelompoknya lalu memaksakan kelompok lain untuk mengikuti pendapat
tersebut sebagai kebenaran mutlak, sementara pendapat lain semua salah.Para
imam besar pada masa lalu berkata “pendapat kami benar namun mengandung
kemungkinan salah, sedangkan pendapat orang lain salah namun mengandung
kemungkinan benar” (al-Baqir, 1996: 166-167).
Untuk mengakhiri kajian terhadap
syarat-syarat ijtihad ini, penulis mengemukakan pernyataan Kemal Faruki(1994:
86), tentang hal-hal yang harus dimiliki seseorang agar dapat memiliki
kemampuan untuk melakukan pemahaman secara benar, dia menyatakan; “The
Qur’an stresses three factor making for ability to understanding trucht. First,
and foremost, is amanator trustworthiness and character, which is not
susceptible of being determined by any external formula, let alone by an
academic degree. The second, is knowledge of Islamic subjects. The third, is
comparative knowledge of comparative system, people and institution.”(al-Quran
menekankan tiga factor—yang harus dimiliki seseorang—agar mampu melakukan
pemahaman secara benar. Pertama dan yang terpenting adalah amanat, atau dapat
dipercaya. Sifat ini tidak cukup hanya dibuktikan dengan eksternal
formula—kemampuan hitam diatas putih—apabila dengan gelar akademik. Kedua, pengetahuan
tentang masalah-masalah keislaman. Ketiga memiliki perbandingan pengetahuan
dengan system, orang, dan institusi lainnya).
Dari pernyataan Faruki tersebut
dapat dianggap sebagai “syarat ijtihad” yang sederhana dan global, serta
tidak bersifat “formal-tekhnis”. Persyaratan tersebut tidaklah harus
dimiliki secara individual saja melainkan beberapa orang sesuai dengan disiplin
kemampuan masing-masing sebagaimana yang sudah di-langsir oleh Prof. Qodri
Azizy yakni ijtihad secara mawdhu’iy.
C. Absolutisasi dan Deabsolutisasi Hasil Ijtihad
Pada dasarnya ajaran Islam dapat
dibedakan menjadi dua kelompok.Pertama, ajaran Islam yang bersifat
absolut, universal dan permanen, tidak berubah dan tidak dapat diubah. Kedua, ajaran
Islam yang bersifat ralatif, tidak universal, tidak permanen, melainkan dapat
diubah dan berubah. Termasuk kelompok yang kedua ini adalah ajaran Islam yang
dihasilkan melalui proses ijtihad. Kerangka berfikir ini sering muncul
dikalangan ahli ushul fiqh dan pakar pembaharuan dalam Islam. Di kalangan ahli
Ushul fiqh dikenal dikotomi antara dalilqath’iy dan dzanny baik
eksistensinya (wurud) maupun penunjukannya (dalalah) (Jamil,
1999: 43).
Para ahli hukum Islam sepakat
mengenai penggunaan al-Qur’an sebagai sumber hokum yang pertama yang utama
dalam menentukan dan mengambil kesimpulan hukum. Mereka tidak meragukan
eksistensi al-Qur’an dari ayat yang pertama sampai ayat yang terakhir
diturunkan. Akan tetapi ayat al-Qur’an langsung menunjuk pada materi hokum yang
terbatas jumlahnya.Menurut Khallaf (34-35), bahwa yat hokum dalam bidang
muamalah berkisar antara 230-250 ayat. Selebihnya terbagi kedalam beberapa
aspek. Dari jumlah ayat hokum yang sedikit tersebut, ulama’ ushul juga
ternya masih terjadi diskursus.apakah ayat yangqath’iy al-wurud boleh
dilakukan ijtihad atau tidak?
Menurut ulama’ ushul seperti;Asy-Saukani,
Khudhary Beik, Abu Zahrah Abd Wahab Khallaf dan lain sebagainya sepakat bahwa
nash yang qath’iy tidak ada celah untuk melakukan ijtihad.
Lebih lanjut Khallaf menandaskan bahwa apabila kasus yang hendak diketahui
hukumnya telah ada dalil yang sarih, danqath’iy dari segi sumbernya
dalam pengertiannya yang menunjukkan atashokum syar’inya, maka tidak ada
peluang untuk berijtihad didalamnya. Yang wajib adalah melaksanakan pengertian
yang ditunjuki nash tersebut. sebab sepanjang dalil ituqath’iy kedatangannya
dan keluarnya dari Allah dan rasulnya bukanlah tempat suatu pembahasan dan
pencurahan jerih payah. Dan sepanjang dalil itu dhalalahnyaqath’iy maka
dalahnya terhadap maknanya dan pengambilan hokum dari nash tersebut, bukanlah
suatu tempat suatu pembahasan dan ijtihad. Berdasarkan hal ini maka ayat-ayat
hokum yang interpretative yang menunjukkan terhadap maksudnya dengan pengertian
yang jelas dan tidak mengandungkemungkinan pentakwilan maka ia harus
diterapkan. Dan tidak ada peluang untuk berijtihad dalam kasus-kasus yang
menerapkannya (Khallaf, 338). Contoh dalam kasus hukuman cambuk bagi
pelaku zina; “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka
deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera…….” (QS. An-Nur:
2). Tak ada tempat berijtihad lagi tentang hokum menyiksa penzina dengan cambuk
dan bilangan kali cambukan. Demikian juga taka da ijtihad terhadap hokum-hukum
siksa yang sudah diberi batas. Dan seperti ayat yang mufassar lagimuhkam.
Demikian juga sunah-sunah mutawatir lagi mufassar (Ash-Shiddieqy:
1997: 129).
Berbeda dengan Muhammad
Syahrur—seorang insinyur dari Syria—memperkenalkan teori “hudud” (bentuk
jamak dari kata had yang secara etimologi berarti batas) dalam
memahami ayat-ayat al-Qur’an. Menurutnya al-qur’an yang mempunyai ayat qath’iy masih
berlaku lapangan ijtihad didalamnya. Ia menyebutkan 6 macam teori hudud yaitu;
(1) al-had al-adna (disebutkan batas minimalnya); (2) al-had
al-‘ala (Batas maksimalnya); (3) al-had al-adna wa al-had
al-a’la ma’an (batas minimal dan maksimal, keduanya disebutkan);
(4) al-had al-adna wa al-had al-‘ala nuqtah wahidah (disebut
batas minimal dan maksimalnya bertemu dalam satu titik); al-had al-a’la
bi khatt muqarib li mustaqim (tidak sampai batas maksimal dan tidak
menyentuh batas minimalnya); dan (6) al-had al-a’la mujib muqhlaq la
ajuz tajaawuzuh, wa al-had al-adnaa saalib yaa juz tajawuzuh(batas maksimal
positif dan batas minimal negative, serta keduanya bertemu di titik tengah)
(Syahrur, 1990: 453-466).
Syahrur mencontohkan, misalnyadalam
hal waris dan hukuman bagi pencuri. Ketentuan potong tangan sebagaimana terekam
dalam QS al-Maidah [5]: 38,merupakan al-had al-a’la (batas
maksimal). Karena itu tidak boleh memberikan hukuman melebihi dari potong
tangan, tetapi memungkinkan memberikan hukuman yang lebih ringan dari itu.
Dalam hal ini mujtahid boleh berijtihad menentukan hukuman bagi pencuri sesuai
dengan situasi dan kondisi yang dihadapinya. Disini, bentuk modus
operandi, motivasi dan nilai barang yang dicuri harus menjadi bahan
pertimbangan dalam memberikan hukuman (ibid, 455).Sebagaimana ijtihad umar bin
khatab dalam menghukum pencuriyang pada masa itu terjadi kelaparan dalam
masyarakat di semenanjung Arabia. Dalam keadaan masyarakat ditimpa oleh bahaya
kelaparan tersebut, ancaman hukuman terhadap pencuri yang disebut dalam
al-Qur’an tidak dilaksanakan oleh khalifah umar berdasarkan pertimbangan
(darurat) dan kemaslahatan jiwa masyarakat(Ali, 2006: 176).
Teori hudud versi
syahrur tersebut menunjukkan, bahwa nash al-Qur’an yang menurut ushuliyyun yang
diyakini sebagai ayat qathiy ternyata masih dapat dilenturkan
maknanya. Dengan teori hudud ini, mengakui keberadaan nash qathiyal-dalalah
berikut konsekuensinya menjadi tidak relevan lagi. Hal ini berarti juga
merontokkan anggapan bahwa ijtihad tidak boleh menyentuh nash qaht’iy. Tidak
dapat diterima.
Apabila dilacak dari sejarah
pemikiran hokum Islam, pemikiran yang lebih menekankan pada nilai universal yang
dikandung nash sebagai mana uraian diatas, disadari atau tidak disadari
terinspirasi oleh oleh pemikiran (baca: ijtihad) Umar bin Khattab, yang secara
terang terangan berani menyimpang dari bunyi verbal nash yang selama ini
dianggap qath’iy dalalah-nya. Diantara contoh ijtihad Umar tersebut
adalah: Pertama, menghilangkan hukuman potong tangan bagi
pencuri pada musim paceklik.Hal demikian tidak sejalan dengan bunyi nash (QS.
[5]: 38).Kedua, menghilangkan bagian zakat bagi muallaf
qulubuhum (orang yang masih lemah imannya). Berkaitan dengan hal ini
KhalifahUmar bin Khattabmengijtihadkan dan berseberangan dengan nash dalam
kasus orangmuallafpada waktu itu tidak diberi zakat. Padahal dalam
al-Qur’an surat at-taubah: 60, Allah berfirman;“Sesungguhnya zakat-zakat
itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus
zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak,
orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam
perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
Ayat diatas menyebutkan bahwa
pembagian zakat sudah ditetapkan golongan-golongan yang berhak menerima zakat,
termasuk muallaf di dalamnya, yaitu (diantaranya) orang-orang
yang baru memeluk agama Islam yang seyogyanya dilindungi karena masih lemah
imannya dankarena ia memeluk agama Islam hubungannya dengan keluarganya
(mungkin) terputus. Pada zaman rasulullahgolongan ini memperoleh bagian zakat.
Akan tetapi masa khalifah Umar bin Khattab, beliau menghentikan pemberian zakat
kepada muallaf berdasarkan pertimbangan bahwa Islam telah
kuat, umat Islam telah banyak sehingga tidak perlu lagi diberikan keistimewaan
kepada golongan khusus dalam tubuh umat Islam (Ali, 2006: 176).
Dari fenomena tersebut, mununjukkan
hasil dari suatu ijtihad sangat dipengaruhi oleh kondisi dan situasi dimana
hukum tersebut dirumuskan. Hal tersebut mengakibatkan proses ijtihad yang
dilaksanakan sering menghasilkan rumusan yang bervariasi ketika konteks
persoalan yang timbul berbeda. Sebagai sebuah produk ijtihadi, hukum yang
ditetapkan bukanlah sesuatu yang sakral dan menutup pintu perbedaan maupun
perubahan. Dengan demikian ijtihad memberikan kemungkinan epistemologis bagi
pembaharuan hukum Islam karena ia memuat dua konsep. Pertama mengeluarkan
hokum dari sumbernya, dan kedua, tatbiq yakni
mengaplikasikan hokum dari kasus-kasus yang actual untuk suatu kebutuhan
historis tertentu (Musahadi, 2012: 36).
Maka dari itu, bahwa kaidah “Laa
masaagho li al-ijtihad fiimaa fiihi nasun sharihun qath’iyyun (tidak
ada kebolehan berijtihad mengenai sesuatu yang padanya ada nash yang jelas
dan qath’iy) (Khallaf, 338). Telah membuat jurang pemisah yang
dalam antara nash dan ijtihad. Artinya mereka meyakini bila ada nash qath’iy maka
ijtihad sama sekali dilarang. Sebaliknya peran dan potensi ijtihad baru diakui
jika tidak ada nash qath’iy membuat hubungan yangantagonistis antara
nash dan ijtihad seperti ini, tidaklah sejalan dengan maksud Tuhan menurunkan
wahyu-Nya. Hubungan keduanya harus diubah menjadiinteraktif-komplementatif atau
dalam istilah lain “ta’alluq al-talaazum wa al-musaahabah” (saling
melengkapi dan membutuhkan). Maksudnya agar suatu nash bermakna aplikatif dan
ijtihad juga memerlukan nash sebagai obyek sasarannya. Kebutuhan terhadap ijtihad
ini juga bukan hanya berlaku bagi nash-nash yangdzanny melainkan
juga nash yang qathiy al-dhalalah-nya. Oleh karena itu,
menurutSupena dan Fauzi (2002:279)kaidah tersebut perlu diubah menjadi “kull
al-nas majaal al-ijtihad walaw kana sarihan qath’iyya al-dalalah inda
ushuliyyun”(setiap nash adalah menjadi garapan ijtihad, meskipun nash
tersebut menurut ushuliyyun dikatagorikan qath’iy dalalah-nya).
Sebagai konsekuensi logis atas
ijtihad ini menurutal-Jarhazi(1997: 292), terdapat dua kemungkinan yang kan timbul
kemudian. Pertama,jika ijtihad tersebut sesuai dengan apa yang
dikehendaki Allah SWT; ijtihad yang benar, maka pelaku ijtihad akan memperoleh
dua pahala, yakni pahala ijtihad dan pahala menggapai kebenaran. Kedua, jika
ternyata hasil ijtihad itu tidak sesuai dengan yang dikehendaki Allah SWT;
ijtihad yang slah, maka hanya memperoleh satu pahala, yakni pahala ijtihad
saja. Hal tersebut didasarkan kepada Sabda Rasulullah saw; “idza hakama
al-haakim fajtahid fa ashoba falahu ajrani, wa idza hakama fajtahid fa akhto’
falahu ajroni” (seorang hakim apabila berijtihad kemudian ternyata
ijtihadnya benar, maka ia mendapat dua pahala apabila ia berijtihad dan
ternyata keliru (tidak mencapai kebenaran) maka ia mendapat satu pahala) (HR.
Bukhari)
Ada perbedaan pendapat dalam menafsirkan hadis
tersebut, apakah seorang mujtahid diberi pahala apabila ijtihadnya salah.
Sejumlah ulama’ berpendapat bahwa orang yang ijtihadnya salah tidak mendapatkan
pahala, karena kesalahan tidak akan pernah mendapatkan imbalan pahala. Ia hanya
cukup diberi ampunan penghapusan dosa kesalahannya (Karim, 1984:
41-42).Sebagian mujtahid dapat mencapainya, maka ia dikatakan yang mencapai
kebenaran dan ia akan mendapat dua pahala. Sebagian lagi tidak dapat mencapai
kebenaran dan ia akan mendapat satu pahala; pahala ini karena ijtihadnya, bukan
karena kekeliruannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar