Rabu, 18 April 2018

PERBEDAAN IJTIHADIYAH DALAM HUKUM ISLAM; SEBUAH KAJIAN FILSAFAT


Makna Ijtihad dan persyaratan non Skill sebagaiMujtahid
1.   Definisi ijtihad
Konsep ijtihad sebenarnya melekat pada kitab-kitab fiqh (Azizy, 2004: 67). Sangat mengada-ada ketika berbicara tentang fiqh tanpa menyertakan proses memproduksi, karena fiqh adalah produk jadi, proses itulah yang dinamakan ijtihad.  Ditelisik dari sisi etimologi, ijtihad merupakan bentuk dari kata benda dari konjungsi (tasyrif) kata ijtihada-yajtahidu-ijtihadan yang mengandung pengertian usaha keras dan pengerahan segala kemampuan untuk mencapai maksud tertentu (Haq, 2009: 8).
An-Na’im (1990: 45), penggunaan ijtihad dalam pengertian umum relevan dengan interpretasi al-Quran dan sunnah. Ketika suatu prinsip atau aturan syari’ah didasarkan pada makna umum atau implikasi yang luas dari suatu teks al-Qur’an dan sunnah berbeda dengan aturan langsung dari teks yang jelas dan terinci, maka teks dan prinsip syari’ah itu harus dihubungkan melalui penalaran hukum. Dari sisi ini jelaslah bahwa bahwa ijtihad adalah konsep fundamental dan sangat aktif dalam pembentukan hukum Islam. Asy-Syaukhani mendefinisikan ijtihad dengan; badlu al-wus’I fi nayli hukmin syar’iyin ‘amaliyyin bi tariqi al-istinbath (Pengerahan kemampuan dalam memperoleh hokum syariat ‘amaliyah dengan cara istinbath)” (Asy-Syaukhani, tt: 250)
Menurut ulama’ ushul biasanya memberi definisi ijtihad dengan; badzl al-juhd li al-wusulil al-hukm al-syar’iy min dalil tafshiliy min al-adillah al-syariyyah (mencurahkan daya upaya untuk sampai pada [menemukan] hokum syariy dari dalil yang spesifik dari dalil-dalil syar’iy) (Khallaf, 216). Sedangkan definisisi yang diberikan oleh al-alamah Khudhory bekIjtihad adalah: mencurahkan kemampuan untuk mengistinbathkan hokum syar’I dari apa yang dipandang pembuat syara’ sebagai dalil yaitu kitab Allah dan Sunah Nabi-Nya. Bentuknya ada dua macam, pertama, mengambil hokum dari bentuk lahir nash, apabila hokum bisa didapat dari nash-nash itu. Kedua, mengambil hokum dari rasionalitasnya, apabila dalam nash itu ada ‘illat jelas atau diistinbathkan darinya. Peristiwa dimaksud terdapat dalam ‘ilat ini dan nash tidak mencakup hukumnya. Ini dikenal dengan nama qiyas (Bek, [a]66).
Dari uraian diatas maka ijtihad mengandung dua faktor; Pertama, ijtihad yang khusus untuk menetapkan suatu hukum dan penjelasannya. Pengertian ini adalah pengertian ijtihad yang sempurna, dan dikhususkan bagi ulama’ yang bermaksud untuk mengetahui ketentuan-ketentuan hukum furu’amaliyah dengan menggunakan dalil-dalil terperinci. Sebagian ulama’ telah menjelaskan bahwa ijtihad dalam pengertian dan bentuk yang khusus pada suatu masa akan terputus (kosong). Demikian menurut jumhur ulama’. Sementara ulama’ Hambali mengatakan bahwa setiap masa tidak boleh kosong dari ijtihad dalam bentuk ini. Karena iti setiap masa harus selalu ada mujtahid yang harus mencapai tingkatan tersebut.
Kedua, ijtihad khusus untuk menerapkan dan mengamalkan hukum. Seluruh ulama’ sepakat bahwa setiap masa tidak akan terjadi kekosongan dari mujtahid dalam katagori ini. Mereka inilah yang akan mencari dan menerapkan illatterhadap berbagai kasus juz’iyah, dengan menerapkan prinsip-prinsip yang telah ditetapkan ulama’ dahulu (Zahrah, 568).
Beberapa pengertian tersebut menurut Harun Nasution (1996: 108-109),arti ijtihad seperti yang dikemukakan di atas adalah ijtihad dalam arti sempit. Sedangkan dalam arti luas menurutnya, ijtihad juga berlaku pada bidang selain hukum Islam, misalnya Ibnu Taimiyah yang menjelaskan bahwaijtihad juga digunakan dalam lapangan tasawuf, ia mengatakan “sebenarnya kaum sufi adalah mujtahid-mujtahid dalam masalah kepatuhan, sebagaimana mujtahid-mujtahid lain”, dan sebenarnya kaum sufi di Basrah dalam masalah ibadah dan hal ihwal ini adalah mujtahid-mujtahid, seperti halnya dengan tantangan mereka di Kufah yang juga mujtahid-mujtahid dalam masalah hukum, politik, aqidah tasawuf, falsafah, dan tata negara.
Dengan tugas penerapan tersebut, maka akan menjadi jelaslah ketentuan hukum-hukum tentang masalah yang tidak dikenal oleh ulama’ terdahulu yang dikategorikansebagai mujtahid tingkat pertama.Oleh sebab itu ada beberapa persayaratan yang harus dimiliki oleh mujtahid untuk dapat melaksanakanijtihad.

2.      Persyaratan Non Skill Sebagai Mujtahid
Mujtahid adalah seorang ahli fiqih yang mengeluarkan segala kemampuannya untuk sampai pada hukum syariat. Ia harus memiliki kemampuan sebagai acuan untuk melahirkan hukum-hukum syariat dari pendekatannya. Berdasarkan pengertian ini, orang yang memiliki pengetahuan terhadap hukum-hukum syariat nemun tidak mampu untuk melahirkan kesimpulan hukum dari dalil-dalil yang ada tidak bisa disebut sebagai mujtahid. Dalam Islam seorang mujtahid memiliki kedudukan yang tinggi. Ia berdiri menggantikan posisi Nabi Muhammad saw, karena ia memiliki ilmu kenabian, menyampaikannya kepada umat manusia, dan menjadi seorang yang memberikan pengajaran dan petunjuk kepada mereka (al-Syarafi, 1998: 28-29).
Oleh karena itu untuk menghindari kesalahan dan jebakan dalam berijtihad dibutuhkan kejujuran intelektual, ikhlas dan memiliki pengetahuan yang cukup tentang seluk beluk masalah ijtihad. Paling tidak calon mujtahid harus dengan jelas mampu membedakan dimana ia seharusnya berijtihad (Rahmat, 1996: 180).Dalam hal ini, sebagian ulama’ sangatketat menerapkan syarat-syarat ijtihad, meski sebagian yang lain cukup longgar. Dan sebagian lagi ada yang mengambil jalan tengahnya. Namun demikian, syarat-syarat yang mereka ajukan secara umum mengajak kembali pengetahuan yang lebih orisinil tentang sumber-sumber dan tujuan syariat (al-Syarafi, 1998: 30).Masalah ijtihad sebenarnya bukan masalah mau atau tidak mau, persoalan mampu dan tidak mampu. Memaksa orang yang tidak mampu berijtihad mengundang bahaya, sebab untuk melakukan ijtihad seseorang harus memenuhi syarat-syarat tertentu yeng bisa membawa ke derajat mujtahid.
Muhammad Musa Towana dalam Amir Mu’alim (2004: 58), mengelompokkan Syarat-syarat ijtihad ke dalam beberapa bagian. Pertama,persyaratan umum (al-syurut al-‘ammah), yang meliputi; (1) Baligh (2) Berakal sehat (3) Kuat daya nalarnya (4) beriman atau mukmin.
Kedua, persyaratan pokok (al-syurut asasiyyah)yaitu syarat-syarat mendasar yang menuntut mujtahid supaya mujtahid memiliki kecakapan sebagai berikut; (1) mengetahui al-qur’an (2) memahami sunnah (3) memahami maksud-maksud hokum syariah, dan (4) mengetahui kaidah-kaidah umum (al-qawaid al-kulliyah) hukum Islam.
Ketiga, pernyaratan penting (al-syurut al-hammah) yakni beberapa persyaratan yang penting dipunyai mujtahid. Syarat-syarat ini mencakup; (1) menguasai bahasa Arab, (2) menguasai ilmu ushul fiqh (3) mengetahui ilmu mantik atau logika, dan (4) mengetahui hokum asal suatu perkara (al-bara’ah asliyah).
Keempat, persyaratan pelengkap (al-syurut al-takmiliyah) yang mencakup; (1) tidak ada dalil qahtiy bagi masalah yang ijtihadi (2) mengetahui hilafiyahatautempat tempat perbedaan dan (3) memelihara kesalehan dan ketaqwaan diri.
Menurut para sarjana ushul fiqh hanya orang-orang yang memiliki persyaratan tersebut-lah yang berhak menyandang predikat “Mujtahid”. Kreteria ideal ini merupakan rumusan yang diangkat sesuai dengan beban ijtihad yang cukup berat itu. Oleh karenanya, kriteria-kriteria di atas adalah kriteria untuk seorang mujtahid mutlaq dan bukan mujtahid pada umumnya. Namun setidaknya, mujtahid-mujtahid yang bukan mujtahid mutlaq, juga harus mempunyai kualifikasi kemampuan yang mengacu pada kriteria-kriteria di atas.
al-Syatibi (w. 790H), untuk mecapai ke derajat mujtahid, seorang fakih harus memiliki dua sifat; 1) mampu memahami maksud-maksud syariat (maqasyid asy-syariah) dan 2) sanggup mengistinbahkan hukum berdasarkan pemahamannya sendiri terhadap maqasyid asy-syariah tersebut (Syatibi, t.t [IV]: 89).
Pembagian dan penjelasan tentang ijtihad yang dikemukakan al-Syatibi di atas, Nampak  jelas bahwa syarat mujtahid harus memenuhi kuwalifikasi yakni al-masalih al-mursalah yang didefinisikan sebagai metode ijtihad yang diberlakukan ketika sesuatu masalah tidak ada sumber nasnya dalam syariat, dalam hal ini jika juga tidak ada sumbernya dari ijma dan selainnya semisal qiyas. al-Masalih al-Mursalah (selanjutnya disebut maslahah) sebenarnya telah dipraktekkan sejak masa Nabi saw. Hal ini, telah banyak dilakukan oleh para sahabat, dan Nabi saw sendiri membenarkannya. Secara tekstual sahabat telah menyalahi syara’, sebab telah melakukan di luar ketentuan. 
Menurut al-Syatibi, maslahat yang merupakan tujuan Tuhan dalam syariatnya itu mutlak diwujudkan sebab keselamatan dan kesejahteraan tidak akan mungkin dicapai tanpa mashalah terutama yang bersifat dharuriyah dan meliputi lima hal, yakni; pemeliharan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Selanjutnya, al-Syatibi menegaskan bahwa maqashid al-syari’ah yang bila dikaitkan dengan kemaslahatan, maka dapat dilihat dari dua aspek. Pertama, tujuan Tuhan (maqashid al-syari’) dan kedua tujuan mukallaf (maqashid al-mukallaf).
Persyaratan-persyaratan tersebut memang tidak ada dalam nash al-Qur’an maupun sunnah. Hal ini semata-mata digariskan oleh para ulama’ sebagai hal yang mutlak perlu menurut akal sehat, dan juga mengambil teladan dari para imam besar, para mujtahid dimasa lalu. Agar dengan demikian dapat mencegah banyak orang yang ingin memasukkan dirinya dalam barisan mujtahid, padahal kemampuan maupun kepribadiannya masih jauh untuk meraih kedudukan mulia itu. 
Oleh karena itu, menurut Qodri Azizy syarat-syarat ijtihad di atas terlampau berat perlu dikaji ulang, karena menurutnya hampir tidak mungkin tersentuh untuk masa kini. Demikian pula beban yang terlalu berat dan tuntunan yang terlalu tinggi ketika melakukan ijtihad juga perlu di luruskan. Sebab dalam kenyataannya, setiap kitab fiqh, meskipun kitab yang sangat sederhana, selalu pula menyebut ijtihad untuk syarat seorang hakim. Dan kalau kita lihat sejarahnya, sebelum abad ke tiga hijriyah syarat-syarat ijtihad yang begitu ketat belum muncul. Jadi terjadi paradoks. Hal ini menurut Azizy perlu kajian mendalam dan sekaligus keberanian untuk meredefinisikan ijtihad untuk kemudian memunculkan konsep ijtihad baru atau modern. Beliau menyarankan Ijtihad hendaknya menjadi sebuah formulasi metodologi yang dapat dibentuk sebagai hasil kajian kritis terhadap konsep berijtihad secara konvensional yang dipadukan dengan tuntutan zaman dan pertanggung jawaban tradisi akademik. Oleh karena itu, formulasi ijtihad baru juga sudah menjadi tuntutan untuk dibangun., yang tentu tidak dapat langsung lepas sama sekali dari proses continuity dari berijtihad masa lalu. Formulasi ini juga diperlukan bagi mereka yang akan menghasilkan gelar akademik tertinggi, sehingga akan mampu mendemonstrasikan karya orisinilnya[1][1] (Azizy, 2004: 108-110).
sedangkan, menurut al-Bagirselain keempat jenis persyaratan diatas yang digolongkannya kedalam pesyaratan teksnis. Al-Baqir juga menambahkan persyaratan non skill (kepribadian). Mengenai persyaratan ini acap kali diabaikan sehingga kita sering melihat orang-orang yang mungkin tinggi kadar ilmunya, namun kepribadiannya lemahdan akhlaq-nya buruk, sehingga ilmunya itu tidak dapat diharapkan untuk pembimbing umat dan membawa rahmat bagi manusia. Mengutip pendapat al-alamah Abu Zahrah, al-Baqir menyebutkan beberapa sifat yang harus dimiliki oleh seorang munjtahid, antara lain;
Pertama,kecerdasan dan kearifan. Dengan ini ia mampu menggunakan ilmu-ilmu teknisdi atas sebagai alat yang memilahkan antara pendapat-pendapat yang benar dan yang palsu, yang tepat dan yang menyimpang dari tujuan syariat. Selanjutnya kan memudahkan menyimpulkan hokum-hukum yang benar dari dalil-dalil dan kaidah-kaidah yang umum yang dapat diterapkan pada peristiwa kasus yang muncul. Semuanya itu disertai dengan kearifan dan kebijakan sehingga tidak akan menimbulkan keresahan umat dan menyebabkan mereka terombang ambing dalam kebingungan.
KeduaNiat yang tulus dan itikad yang baik.Niat yang tulus menjadikan hati diterangi nur Allah SWT sehingga mampu menembus inti agama yang penuh hikmah ini. Bila tujuannya hanyalah hakiakat agama semata-mata, taka da tujuan apa pun selain itu, pastilah Allah akan mengarunianya cahaya hikmah yang akan senatiasa membimbingnya di jalan kebenaran dan menjauhkannya dari jalan kesesatan. Sebab, syariah adalah nur yang tidak aka nada yang bisa meraihnya kecuali siyapa yang hatinya dipenuhi keikhlasan. Itulah sebabnya kita senantiasa menyaksikan para imam besar yang telah mewariskan ilmu-ilmu yang luas serta mendalam sebelum dikenal sebagai ahli-ahli fiqh mereka dikenal secara luas dengan sifatwara’ kelurusan pribadi dan kejujuran intelektual. Ia tidak akan bersikap fanatic dalam mempertahankan pendapat kelompoknya lalu memaksakan kelompok lain untuk mengikuti pendapat tersebut sebagai kebenaran mutlak, sementara pendapat lain semua salah.Para imam besar pada masa lalu berkata “pendapat kami benar namun mengandung kemungkinan salah, sedangkan pendapat orang lain salah namun mengandung kemungkinan benar” (al-Baqir, 1996: 166-167).
Untuk mengakhiri kajian terhadap syarat-syarat ijtihad ini, penulis mengemukakan pernyataan Kemal Faruki(1994: 86), tentang hal-hal yang harus dimiliki seseorang agar dapat memiliki kemampuan untuk melakukan pemahaman secara benar, dia menyatakan; “The Qur’an stresses three factor making for ability to understanding trucht. First, and foremost, is amanator trustworthiness and character, which is not susceptible of being determined by any external formula, let alone by an academic degree. The second, is knowledge of Islamic subjects. The third, is comparative knowledge of comparative system, people and institution.”(al-Quran menekankan tiga factor—yang harus dimiliki seseorang—agar mampu melakukan pemahaman secara benar. Pertama dan yang terpenting adalah amanat, atau dapat dipercaya. Sifat ini tidak cukup hanya dibuktikan dengan eksternal formula—kemampuan hitam diatas putih—apabila dengan gelar akademik. Kedua, pengetahuan tentang masalah-masalah keislaman. Ketiga memiliki perbandingan pengetahuan dengan system, orang, dan institusi lainnya).
Dari pernyataan Faruki tersebut dapat dianggap sebagai “syarat ijtihad” yang sederhana dan global, serta tidak bersifat “formal-tekhnis”. Persyaratan tersebut tidaklah harus dimiliki secara individual saja melainkan beberapa orang sesuai dengan disiplin kemampuan masing-masing sebagaimana yang sudah di-langsir oleh Prof. Qodri Azizy yakni ijtihad secara mawdhu’iy.

C. Absolutisasi dan Deabsolutisasi Hasil Ijtihad
Pada dasarnya ajaran Islam dapat dibedakan menjadi dua kelompok.Pertama, ajaran Islam yang bersifat absolut, universal dan permanen, tidak berubah dan tidak dapat diubah. Kedua, ajaran Islam yang bersifat ralatif, tidak universal, tidak permanen, melainkan dapat diubah dan berubah. Termasuk kelompok yang kedua ini adalah ajaran Islam yang dihasilkan melalui proses ijtihad. Kerangka berfikir ini sering muncul dikalangan ahli ushul fiqh dan pakar pembaharuan dalam Islam. Di kalangan ahli Ushul fiqh dikenal dikotomi antara dalilqath’iy dan dzanny baik eksistensinya (wurud) maupun penunjukannya (dalalah) (Jamil, 1999: 43).
Para ahli hukum Islam sepakat mengenai penggunaan al-Qur’an sebagai sumber hokum yang pertama yang utama dalam menentukan dan mengambil kesimpulan hukum. Mereka tidak meragukan eksistensi al-Qur’an dari ayat yang pertama sampai ayat yang terakhir diturunkan. Akan tetapi ayat al-Qur’an langsung menunjuk pada materi hokum yang terbatas jumlahnya.Menurut Khallaf (34-35), bahwa yat hokum dalam bidang muamalah berkisar antara 230-250 ayat. Selebihnya terbagi kedalam beberapa aspek. Dari jumlah ayat hokum yang sedikit tersebut, ulama’ ushul juga ternya masih terjadi diskursus.apakah ayat yangqath’iy al-wurud boleh dilakukan ijtihad atau tidak?
Menurut ulama’ ushul seperti;Asy-Saukani, Khudhary Beik, Abu Zahrah Abd Wahab Khallaf dan lain sebagainya sepakat bahwa nash yang qath’iy tidak ada celah untuk melakukan ijtihad. Lebih lanjut Khallaf menandaskan bahwa apabila kasus yang hendak diketahui hukumnya telah ada dalil yang sarih, danqath’iy dari segi sumbernya dalam pengertiannya yang menunjukkan atashokum syar’inya, maka tidak ada peluang untuk berijtihad didalamnya. Yang wajib adalah melaksanakan pengertian yang ditunjuki nash tersebut. sebab sepanjang dalil ituqath’iy kedatangannya dan keluarnya dari Allah dan rasulnya bukanlah tempat suatu pembahasan dan pencurahan jerih payah. Dan sepanjang dalil itu dhalalahnyaqath’iy maka dalahnya terhadap maknanya dan pengambilan hokum dari nash tersebut, bukanlah suatu tempat suatu pembahasan dan ijtihad. Berdasarkan hal ini maka ayat-ayat hokum yang interpretative yang menunjukkan terhadap maksudnya dengan pengertian yang jelas dan tidak mengandungkemungkinan pentakwilan maka ia harus diterapkan. Dan tidak ada peluang untuk berijtihad dalam kasus-kasus yang menerapkannya (Khallaf, 338).  Contoh dalam kasus hukuman cambuk bagi pelaku zina; “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera…….” (QS. An-Nur: 2). Tak ada tempat berijtihad lagi tentang hokum menyiksa penzina dengan cambuk dan bilangan kali cambukan. Demikian juga taka da ijtihad terhadap hokum-hukum siksa yang sudah diberi batas. Dan seperti ayat yang mufassar lagimuhkam. Demikian juga sunah-sunah mutawatir lagi mufassar (Ash-Shiddieqy: 1997: 129).
Berbeda dengan Muhammad Syahrur—seorang insinyur dari Syria—memperkenalkan teori “hudud” (bentuk jamak dari kata had yang secara etimologi berarti batas) dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an. Menurutnya al-qur’an yang mempunyai ayat qath’iy masih berlaku lapangan ijtihad didalamnya. Ia menyebutkan 6 macam teori hudud yaitu; (1) al-had al-adna (disebutkan batas minimalnya); (2) al-had al-‘ala (Batas maksimalnya); (3) al-had al-adna wa al-had al-a’la ma’an (batas minimal dan maksimal, keduanya disebutkan); (4) al-had al-adna wa al-had al-‘ala nuqtah wahidah (disebut batas minimal dan maksimalnya bertemu dalam satu titik); al-had al-a’la bi khatt muqarib li mustaqim (tidak sampai batas maksimal dan tidak menyentuh batas minimalnya); dan (6) al-had al-a’la mujib muqhlaq la ajuz tajaawuzuh, wa al-had al-adnaa saalib yaa juz tajawuzuh(batas maksimal positif dan batas minimal negative, serta keduanya bertemu di titik tengah) (Syahrur, 1990: 453-466).
Syahrur mencontohkan, misalnyadalam hal waris dan hukuman bagi pencuri. Ketentuan potong tangan sebagaimana terekam dalam QS al-Maidah [5]: 38,merupakan al-had al-a’la (batas maksimal). Karena itu tidak boleh memberikan hukuman melebihi dari potong tangan, tetapi memungkinkan memberikan hukuman yang lebih ringan dari itu. Dalam hal ini mujtahid boleh berijtihad menentukan hukuman bagi pencuri sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapinya. Disini, bentuk modus operandi, motivasi dan nilai barang yang dicuri harus menjadi bahan pertimbangan dalam memberikan hukuman (ibid, 455).Sebagaimana ijtihad umar bin khatab dalam menghukum pencuriyang pada masa itu terjadi kelaparan dalam masyarakat di semenanjung Arabia. Dalam keadaan masyarakat ditimpa oleh bahaya kelaparan tersebut, ancaman hukuman terhadap pencuri yang disebut dalam al-Qur’an tidak dilaksanakan oleh khalifah umar berdasarkan pertimbangan (darurat) dan kemaslahatan jiwa masyarakat(Ali, 2006: 176).
Teori hudud versi syahrur tersebut menunjukkan, bahwa nash al-Qur’an yang menurut ushuliyyun yang diyakini sebagai ayat qathiy ternyata masih dapat dilenturkan maknanya. Dengan teori hudud ini, mengakui keberadaan nash qathiyal-dalalah berikut konsekuensinya menjadi tidak relevan lagi. Hal ini berarti juga merontokkan anggapan bahwa ijtihad tidak boleh menyentuh nash qaht’iy. Tidak dapat diterima.
Apabila dilacak dari sejarah pemikiran hokum Islam, pemikiran yang lebih menekankan pada nilai universal yang dikandung nash sebagai mana uraian diatas, disadari atau tidak disadari terinspirasi oleh oleh pemikiran (baca: ijtihad) Umar bin Khattab, yang secara terang terangan berani menyimpang dari bunyi verbal nash yang selama ini dianggap qath’iy dalalah-nya. Diantara contoh ijtihad Umar tersebut adalah: Pertama, menghilangkan hukuman potong tangan bagi pencuri pada musim paceklik.Hal demikian tidak sejalan dengan bunyi nash (QS. [5]: 38).Kedua, menghilangkan bagian zakat bagi muallaf qulubuhum (orang yang masih lemah imannya). Berkaitan dengan hal ini KhalifahUmar bin Khattabmengijtihadkan dan berseberangan dengan nash dalam kasus orangmuallafpada waktu itu tidak diberi zakat. Padahal dalam al-Qur’an surat at-taubah: 60, Allah berfirman;“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Ayat diatas menyebutkan bahwa pembagian zakat sudah ditetapkan golongan-golongan yang berhak menerima zakat, termasuk muallaf di dalamnya, yaitu (diantaranya) orang-orang yang baru memeluk agama Islam yang seyogyanya dilindungi karena masih lemah imannya dankarena ia memeluk agama Islam hubungannya dengan keluarganya (mungkin) terputus. Pada zaman rasulullahgolongan ini memperoleh bagian zakat. Akan tetapi masa khalifah Umar bin Khattab, beliau menghentikan pemberian zakat kepada muallaf berdasarkan pertimbangan bahwa Islam telah kuat, umat Islam telah banyak sehingga tidak perlu lagi diberikan keistimewaan kepada golongan khusus dalam tubuh umat Islam (Ali, 2006: 176).
Dari fenomena tersebut, mununjukkan hasil dari suatu ijtihad sangat dipengaruhi oleh kondisi dan situasi dimana hukum tersebut dirumuskan. Hal tersebut mengakibatkan proses ijtihad yang dilaksanakan sering menghasilkan rumusan yang bervariasi ketika konteks persoalan yang timbul berbeda. Sebagai sebuah produk ijtihadi, hukum yang ditetapkan bukanlah sesuatu yang sakral dan menutup pintu perbedaan maupun perubahan. Dengan demikian ijtihad memberikan kemungkinan epistemologis bagi pembaharuan hukum Islam karena ia memuat dua konsep. Pertama mengeluarkan hokum dari sumbernya, dan keduatatbiq yakni mengaplikasikan hokum dari kasus-kasus yang actual untuk suatu kebutuhan historis tertentu (Musahadi, 2012: 36).
Maka dari itu, bahwa kaidah “Laa masaagho li al-ijtihad fiimaa fiihi nasun sharihun qath’iyyun (tidak ada kebolehan berijtihad mengenai sesuatu yang padanya ada nash yang jelas dan qath’iy) (Khallaf, 338). Telah membuat jurang pemisah yang dalam antara nash dan ijtihad. Artinya mereka meyakini bila ada nash qath’iy maka ijtihad sama sekali dilarang. Sebaliknya peran dan potensi ijtihad baru diakui jika tidak ada nash qath’iy membuat hubungan yangantagonistis antara nash dan ijtihad seperti ini, tidaklah sejalan dengan maksud Tuhan menurunkan wahyu-Nya. Hubungan keduanya harus diubah menjadiinteraktif-komplementatif atau dalam istilah lain “ta’alluq al-talaazum wa al-musaahabah” (saling melengkapi dan membutuhkan). Maksudnya agar suatu nash bermakna aplikatif dan ijtihad juga memerlukan nash sebagai obyek sasarannya. Kebutuhan terhadap ijtihad ini juga bukan hanya berlaku bagi nash-nash yangdzanny melainkan juga nash yang qathiy al-dhalalah-nya. Oleh karena itu, menurutSupena dan Fauzi (2002:279)kaidah tersebut perlu diubah menjadi “kull al-nas majaal al-ijtihad walaw kana sarihan qath’iyya al-dalalah inda ushuliyyun”(setiap nash adalah menjadi garapan ijtihad, meskipun nash tersebut menurut ushuliyyun dikatagorikan qath’iy dalalah-nya).
Sebagai konsekuensi logis atas ijtihad ini menurutal-Jarhazi(1997: 292), terdapat dua kemungkinan yang kan timbul kemudian. Pertama,jika ijtihad tersebut sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah SWT; ijtihad yang benar, maka pelaku ijtihad akan memperoleh dua pahala, yakni pahala ijtihad dan pahala menggapai kebenaran. Kedua, jika ternyata hasil ijtihad itu tidak sesuai dengan yang dikehendaki Allah SWT; ijtihad yang slah, maka hanya memperoleh satu pahala, yakni pahala ijtihad saja. Hal tersebut didasarkan kepada Sabda Rasulullah saw; “idza hakama al-haakim fajtahid fa ashoba falahu ajrani, wa idza hakama fajtahid fa akhto’ falahu ajroni” (seorang hakim apabila berijtihad kemudian ternyata ijtihadnya benar, maka ia mendapat dua pahala apabila ia berijtihad dan ternyata keliru (tidak mencapai kebenaran) maka ia mendapat satu pahala) (HR. Bukhari) 
Ada perbedaan pendapat dalam menafsirkan hadis tersebut, apakah seorang mujtahid diberi pahala apabila ijtihadnya salah. Sejumlah ulama’ berpendapat bahwa orang yang ijtihadnya salah tidak mendapatkan pahala, karena kesalahan tidak akan pernah mendapatkan imbalan pahala. Ia hanya cukup diberi ampunan penghapusan dosa kesalahannya (Karim, 1984: 41-42).Sebagian mujtahid dapat mencapainya, maka ia dikatakan yang mencapai kebenaran dan ia akan mendapat dua pahala. Sebagian lagi tidak dapat mencapai kebenaran dan ia akan mendapat satu pahala; pahala ini karena ijtihadnya, bukan karena kekeliruannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar