Rabu, 11 April 2018

Tinjauan Zina dalam Hukum Islam


Tinjauan Zina

1.           Pengertian Zina dan Dasar Hukumnya

Menurut Ibnu Rusyd zina adalah setiap persetubuhan yang terjadi bukan karena pernikahan yang sah, bukan karena syubhat, dan bukan karena kepemilikan (budak).[1] Secara garis besar pengertian ini telah disepakati oleh para ulama, meski mereka masih berselisih pendapat terkait manakah yang dikatakan syubhat.
Dalam literatur ulama salaf pembahasan ini tidak asing, sehingga mudah untuk dijumpai, salah satunya ada yang mendevinisikan bahwa zina adalah seseorang yang balig dan mempunyai akal normal memasukkan penis kedalam vagina maupun anus perempuan diluar pernikahan. Adapun Abu Hanifah memberikan definisi zina hanya terkhususkan pada vagina perempuan.[2]
Seks sendiri sebenarnya mengalami perkembangan varian, diantaranya seks sesama jenis yang mana tidak hanya menggunakan alat kelamin wanita dan pria. Seks sesama jenis ini bisa dilakukan dengan oral maupun anal. Melihat beberapa kasus ini nampaknya sangat memprihatinkan akan dampaknya, dikarnakan al-Qur`an telah memberikan gambaran dengan kisah kaum Nabi Luth as.
Terlepas dari dampak negativ yang ditimbulkan, devinisi zina sendiri sebenarnya sempit sehingga memberikan peluang terhadap penyimpangan seks. Namun dari itu mazhab Hambali memberikan devinisi yang luas terhadap pengertian zina, yaitu dengan mengatakan bahwa zina adalah segala perbuatan kotor (fa>h}isyah) terhadap vagina maupun anus. Perbuatan kotor (fa>h}isyah) disini dalam al-Ta’ri>fa>t diartikan sebagai, perbuatan yang mengakibatkan had (hukuman) di dunia dan siksa di akhirat.[3] Sebagaimana diterangkan dalam al-Qur'an :
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
Artinya :  Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.[4]
Berbeda dengan hubungan badan yang dilakukan oleh pasangan suami istri, pada dasarnya semuanya diperbolehkan kecuali menyetubuhi istri melalui lubang anus, karena hal ini didasari dengan larangan yang jelas pada sebuah hadis. Artinya apapun jenis seks yang dilakukan suami istri tetap dihukumi mubah kecuali seks melalui lubang anus.
Perbedaan antara kedua permasalahan diatas adalah pada permasalahan hubungan intim dalam sebuah pernikahan dan diluar pernikahan. Meskipun tidak mengeluarkan sperma didalam vagina perempuan, namun sudah terjadi penetrasi penis kedalam vagina otomatis dinamakan zina. Sedangkan ketika penetrasi diakukan pada lubang selain vagina walaupun hukum aslinya mubah namun ketika dilakukan kepada selain istri hukumnya bisa berubah menjadi haram.
A'immah al-Maz\a>hib al-Arba’ah dalam mendevinisikan zina beragam. Syafi`iyah mendefinisikan dengan redaksi sebagai berikut:
إيلاج الذكر بفرج محرم لعينه خال من الشبهة مشتهًى طبعا[5]
Artinya: Memasukkan zakar ke dalam farji yang haram lidzatihi yang di syahwati, dalam keadaan tidak syubhat (keliru).
Seks disini diartikan seks antara alat kelamin laki-laki dan permpuan yang saling bertemu walaupun tidak mengeluarkan sperma. Hal ini mengecualikan perbuatan seks terhadap vagina selain manusia semisal kambing atau sejenisnya. Dan juga mengecualikan perbuatan seks yang dilakukan dalam keadaan samar (subhat) sebagai contoh dalam situasi gelap tanpa sedikitpun penerangan sehingga memungkinkan terjadinya salah melakukan hubungan seksual dengan wanita selain istrinya.
Sedangkan Hanabilah memberikan devinisi sebagai berikut ;
ويعرفه الحنابلة بأنه: فعل الفاحشة فى قبل أو دبر[6]
Menurut ulama Hanabalah zina diartikan sebagai perbuatan kotor terhadap kemaluan maupun anus. Batasan fahisyah dalam kitab at-Ta`rifat adalah :
التي توجب الحد فى الدنيا والعذاب فى الاخرة[7]
Sesuatu perbuatan yang menyebabkan adanya had di dunia dan siksa di akhirat.
Menurut penulis pendevinisian zina oleh golongan Hanabalah lebih longggar dari pada yang lain, sehingga bisa mengcover terhadap beberapa permasalahan seks yang menyimpang. Seperti seks secara anal, oral, onani atau masturbasi.
Kemudian ulama Malikiyah memberikan devinisi sebagai berikut ;
يعرف الزنا عند المالكيين بأنه: وطء مكلف فرج آدمى لا ملك له فيه باتفاق تعمدًا[8]
Malikiyah  memberikan devinisi bahwa zina adalah perlakuan seks oleh seorang mukallaf terhadap vagina wanita yang belum dimiliki dengan dinikah secara sengaja.
Pendapat yang disampaikan oleh kalangan Malikiyah tidak jauh beda dengan golongan Syafi`iyah. Hanya saja redaksi ta`ammudan menurut penulis mengindikasikan harus adanya unsur kesengajaan, suka sama suka, tanpa paksaan. Sehingga didalam kasus seorang wanita yang diperkosa, hanya si laki-laki yang dihukumi zina.
ويعرفه الحنفيون بأنه: وطء الرجل المرأة فى القبل فى غير الملك وشبهة الملك[9]
Hanafiyah memberikan devinisi : zina adalah hubungan seks antara laki-laki dan wanita pada vagina diluar kepemilikan nikah dan keserupaan dalam kepemilikan.
Dewasa kini perbuatan seks menyimpang sangat berfariatif, mulai dari seks sesama jenis hingga seks menggunakan alat bantu, tidak hanya kaum wanita yang mempergunakannya namun kaum laki-laki juga mempergunkan alat bantu boneka sebagai pengganti wanita. Penulis tidak berani untuk mengkategorikan tindakan seks menyimpang ini dengan zina, hanya saja lebih condong untuk disamakan dengan hukum onani (istimna`). Reason yang penulis usung adalah, sebenarnya illat diharamkannya zina adalah Ikhtila>t} al Ansa>b. Sehingga perbuatan seks menyimpang dengan mempergunakan alat bantu yang mana tidak sampai kontak langsung antara kemaluan laki-laki dan perempuan. baik dilakukan oleh wanita maupun laki-laki belum sampai dikatakan zina.
Abdul Qodir Audah dalam at-Tasyri’ al-Jina>'i memberikan komentarnya terhadap perilaku seks menggunakan kondom, dengan mengatakan ;
ويعتبر الوطء زنا ولو كان هناك حائل بين الذكر والفرج مادام هذا الحائل خفيفًا لا يمنع الحس واللذة[10]
Artinya:   Seks diluar nikah bisa dikatan sebagai zina, walaupun dilakukan dengan menggunakan kondom yang tipis. Yang mana tidak menghilangkan rasa indrawi.
Menurut ibnu Qudamah zina adalah persetubuhan antara laki-laki dan perempuan baik di qubul atau dubur perempuan yang haram disetubuhi, bukan karena syubhat.[11]
Sedangkan menurut al-Nawawy, zina adalah persetubuhan antara laki-laki dan perempuan baik dari qubul atau dubur perempuan yang haram disetubuhi, bukan karena syubhat (keliru).
Perlu diketahui sebagai catatan bahwa ada perbedaan yang sangat esensial mengenai definisi zina di dalam hukum positif Indonesia (KUHP) dengan hukum Islam. Di dalam Kitab Undang-undang Hukum  Pidana Indonesia pasal 284 dinyatakan bahwa zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan istri atau suaminya. Dan supaya masuk pasal ini, maka persetubuhan itu harus dilakukan dengan suka sama suka, tidak boleh ada paksaan dari salah satu pihak[12].

2.           Macam-macam Zina

Terlepas dari perbedaan terkait esensi dari zina tersebut, Perbuatan zina dari sisi subyeknya dapat dibedakan menjadi dua, Muh{san dan Gairu Muh}san.
a.   Gairu muh}san
Zina gairu muh}san adalah zina yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan perempuan yang belum berkeluarga. Hukuman untuk gairu muh}san ini ada dua macam, dera seratus kali dan pengasingna selama satu tahun.[13] Sedangkan mayoritas ulama sepakat bahwa hukuman bagi pezina yang belum kawin adalah seratus dera.[14] Hal ini berdasarkan firman Allah SWT dalam Q.S an-Nur ayat 2:
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِئَةَ جَلْدَةٍ وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
Artinya:   Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.[15]
Menurut Abu Hanifah dan para pengikutnya sama sekali tidak ada dera, sedangkan menurut Imam Syafi`i pezina dikenakan pengasingan disamping hukuman dera. Yakni bagi laki-laki atau perempuan, merdeka maupun hamba sahaya.
Sedangkan menurut Imam Malik pengasingan hanya dikenakan kepada pezina laki-laki dan tidak dikenakan terhadap pezin perempuan pendapat ini juga dikemukakan oleh al-Auza`i.[16]
b.   Muh}san
Zina muh}san adalah zina yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang sudah menikah (bersuami atau beristri). Menurut jumhur fuqoha` hukuman mereka itu adalah rajam. Mereka berpedoman pada keshahihan hadis yang terkait dengan rajam.

3.           Hikmah Larangan Zina

Keharaman zina ditinjau dari segi medis dikarenakan supaya tidak tertular penyakit, seperti sipilis kencing nanah dan lemh syahwat. Sedangkan dari sisi syari'at sebagaimana dituliskan oleh al-Jurjawy dadalah sebagai berikut[17] :
a.   Menjaga nasab
H{ifzu al-nasl  merupakan salah satu pilar maqa>sid al-Syari'ah. Keberlangsungan umat manusia sangat ditentukan oleh keturunan-keturunnya. Sehingga dalam al-Qur'an dijelaskan manusia sebagai mahluk hidup yang bersuku dan berbangsa agar saling mengenal satu sama lain. Sebagaimana dalam surat al-Hujurat ayat 13;
يَأيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ.
Artinya :  Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.[18]

b.   Menjaga kehormatan
Dalam maqa>sid al-Syari'ah dikenal istilah hifz}u al ‘ird}i. Maksudnya kehormatan seseorang dalam berkeluarga ditentukan oleh pernikahan yang sah secara syari’at. Sangat banyak fenomena dimana kehormatan sebuah keluarga hancur disebabkan adanya perzinaan. Sehingga yang mulanya dipandang sebagai keluarga terhormat berubah menjadi keluarga yang hina.
c.   Mencegah tertular penyakit
Kebanyakan penyakit kelamin disebabkan karena seringnya gonta-ganti pasangan. Meskipun dunia medis telah menemukan alat pencegah penularan penyakit kelamin yang disebut alat kontrasepsi namun tidak menutup kemungkinan penyakit tersebut tetap menular. Maka dari itu tindakan preventif dengan tidak melakukan zina adalah solusi terbaik agar tidak tertular penyakit kelamin
d.   Menghindari kemiskinan
Seseorang yang melakukan penyimpangan dengan jalan zina tidak akan berhenti pada satu tujuan. Seiring bertambahnya waktu seseorang yang hobi akan melakukan zina ingin merasakan lawan jenis lainnya. Hal demikian tentunya sangat menguras keuangan keluarga yang telah dibina bersama
e.   Belas kasih terhadap anak
Yang paling dirugikan dari perbuatan zina adalah keluarga, baik pasangan maupun anak mereka berdua. Banyak kasus perceraian disebabkan perselingkuhan yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam keluarga. Hal ini tentunya berdampak pada perkembangan psikologis anak dalam bersosialisasi terhadap ingkungan bermainnya.


[1] Ibnu Rusyd, bidayatul mujtahid, Daru ihya'i al-kutub al-‘arobiyah, Indonesia : t.t.,  juz. II, hlm. 324.
[2] Abul Hasan Ali, Ahkam as sultoniyah, Beirut : Dar al-Fikr, juz. I, hlm. 447.
[3] Ali bin Muhammad al-jurjani, al-Ta’ri>fa>t, Jeddah : al-Haromain, t.t.,  hlm.160.
[4] Departemen Agama RI, Al-Qur`an dan Terjemahnya ..., hlm. 388.
[5] Abdul Qodir Audah, al-Tasyri` al-Jina`i , Beirut: Dar al-kutub al-Islamiyah, t.t., juz. III, hlm. 380.
[6] Abdul Qodir Audah, al-Tasyri` al-Jina`i ..., hlm. 380.
[7] Ali bin muhammad al jurjani, al-ta`rifat¸ Surabaya : Haromain, t.t., hlm. 160.
[8] Abdul Qodir Audah, al-Tasyri` al-Jina`i..., hlm. 380.
[9] Abdul Qodir Audah, al-Tasyri` al-Jina`i ..., hlm. 381.
[10] Abdul Qodir Audah, at-tasyri` al- jina`i ..., hlm. 381.
[11] Muhammad bin Abdurrohman, Rohmah al-Ummah fi Ikhtilaf al-Aimmah, Ter. Abdulloh zaki “Fiqih Empat Madzhab” Bandung : Hasyimi Perss, 2004, hlm. 181.
[12] R. Soesila, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Bogor : Politeia, t.t., hlm. 181.
[13] Ahmad Wardi Muslih, Hukum Pidana Islam, Jakarta : Sinr Grafika, 2005, hlm. 29.
[14] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujatahid wa Nihayatul muqtasid, Analisa Fiqih Para Mujtahid, Jakarta : Pustaka Amani, 2002, hlm. 608.
[15] Departemen Agama RI, Al-Qur`an dan Terjemahnya..., hlm. 488.
[16] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujatahid ..., hlm. 608.
[17] Ali Ahmad Al-Jurjawi, Hikmah at-Tasyri’ wa Falsafatuhu ..., hlm. 186-187.
[18] Departemen Agama RI, Al-Qur`an dan Terjemahnya..., hlm. 745.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar