Tinjauan Zina
1.
Pengertian Zina dan Dasar Hukumnya
Menurut Ibnu
Rusyd zina adalah setiap persetubuhan yang terjadi bukan karena pernikahan yang
sah, bukan karena syubhat, dan bukan karena kepemilikan (budak).[1]
Secara garis besar pengertian ini telah disepakati oleh para ulama, meski
mereka masih berselisih pendapat terkait manakah yang dikatakan syubhat.
Dalam literatur
ulama salaf pembahasan ini tidak asing, sehingga mudah untuk dijumpai, salah
satunya ada yang mendevinisikan bahwa zina adalah seseorang yang balig dan
mempunyai akal normal memasukkan penis kedalam vagina maupun anus perempuan
diluar pernikahan. Adapun Abu Hanifah memberikan definisi zina hanya
terkhususkan pada vagina perempuan.[2]
Seks
sendiri sebenarnya mengalami perkembangan varian, diantaranya seks sesama jenis
yang mana tidak hanya menggunakan alat kelamin wanita dan pria. Seks sesama
jenis ini bisa dilakukan dengan oral maupun anal. Melihat beberapa kasus ini
nampaknya sangat memprihatinkan akan dampaknya, dikarnakan al-Qur`an telah
memberikan gambaran dengan kisah kaum Nabi Luth as.
Terlepas
dari dampak negativ yang ditimbulkan, devinisi zina sendiri sebenarnya sempit
sehingga memberikan peluang terhadap penyimpangan seks. Namun dari itu mazhab
Hambali memberikan devinisi yang luas terhadap pengertian zina, yaitu dengan
mengatakan bahwa zina adalah segala perbuatan kotor (fa>h}isyah) terhadap vagina maupun anus. Perbuatan kotor (fa>h}isyah) disini dalam al-Ta’ri>fa>t diartikan sebagai, perbuatan yang mengakibatkan had
(hukuman) di dunia dan siksa di akhirat.[3]
Sebagaimana diterangkan dalam al-Qur'an :
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ
فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
Artinya : Dan janganlah kamu
mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan
suatu jalan yang buruk.[4]
Berbeda
dengan hubungan badan yang dilakukan oleh pasangan suami istri, pada dasarnya
semuanya diperbolehkan kecuali menyetubuhi istri melalui lubang anus, karena
hal ini didasari dengan larangan yang jelas pada sebuah hadis. Artinya apapun
jenis seks yang dilakukan suami istri tetap dihukumi mubah kecuali seks melalui
lubang anus.
Perbedaan
antara kedua permasalahan diatas adalah pada permasalahan hubungan intim dalam
sebuah pernikahan dan diluar pernikahan. Meskipun tidak mengeluarkan sperma
didalam vagina perempuan, namun sudah terjadi penetrasi penis kedalam vagina
otomatis dinamakan zina. Sedangkan ketika penetrasi diakukan pada lubang selain
vagina walaupun hukum aslinya mubah namun ketika dilakukan kepada selain istri
hukumnya bisa berubah menjadi haram.
A'immah al-Maz\a>hib al-Arba’ah dalam mendevinisikan zina beragam. Syafi`iyah mendefinisikan
dengan redaksi sebagai berikut:
Artinya: Memasukkan zakar ke dalam farji yang haram
lidzatihi yang di syahwati, dalam keadaan tidak syubhat (keliru).
Seks
disini diartikan seks antara alat kelamin laki-laki dan permpuan yang saling bertemu
walaupun tidak mengeluarkan sperma. Hal ini mengecualikan perbuatan seks
terhadap vagina selain manusia semisal kambing atau sejenisnya. Dan juga
mengecualikan perbuatan seks yang dilakukan dalam keadaan samar (subhat)
sebagai contoh dalam situasi gelap tanpa sedikitpun penerangan sehingga
memungkinkan terjadinya salah melakukan hubungan seksual dengan wanita selain
istrinya.
Sedangkan Hanabilah
memberikan devinisi sebagai berikut ;
ويعرفه الحنابلة بأنه: فعل الفاحشة فى قبل أو
دبر[6]
Menurut
ulama Hanabalah zina diartikan sebagai perbuatan kotor terhadap kemaluan maupun
anus. Batasan fahisyah dalam kitab at-Ta`rifat adalah :
Sesuatu perbuatan yang menyebabkan adanya had di dunia
dan siksa di akhirat.
Menurut
penulis pendevinisian zina oleh golongan Hanabalah lebih longggar dari
pada yang lain, sehingga bisa mengcover terhadap beberapa permasalahan seks
yang menyimpang. Seperti seks secara anal, oral, onani atau masturbasi.
Kemudian
ulama Malikiyah memberikan devinisi sebagai berikut ;
يعرف الزنا عند المالكيين بأنه: وطء مكلف فرج
آدمى لا ملك له فيه باتفاق تعمدًا[8]
Malikiyah
memberikan devinisi bahwa
zina adalah perlakuan seks oleh seorang mukallaf terhadap vagina wanita yang
belum dimiliki dengan dinikah secara sengaja.
Pendapat
yang disampaikan oleh kalangan Malikiyah tidak jauh beda dengan golongan
Syafi`iyah. Hanya saja redaksi ta`ammudan menurut penulis
mengindikasikan harus adanya unsur kesengajaan, suka sama suka, tanpa paksaan.
Sehingga didalam kasus seorang wanita yang diperkosa, hanya si laki-laki yang
dihukumi zina.
ويعرفه الحنفيون بأنه: وطء الرجل المرأة فى
القبل فى غير الملك وشبهة الملك[9]
Hanafiyah memberikan devinisi : zina adalah hubungan seks antara laki-laki
dan wanita pada vagina diluar kepemilikan nikah dan keserupaan dalam
kepemilikan.
Dewasa
kini perbuatan seks menyimpang sangat berfariatif, mulai dari seks sesama jenis
hingga seks menggunakan alat bantu, tidak hanya kaum wanita yang
mempergunakannya namun kaum laki-laki juga mempergunkan alat bantu boneka
sebagai pengganti wanita. Penulis tidak berani untuk mengkategorikan tindakan
seks menyimpang ini dengan zina, hanya saja lebih condong untuk disamakan
dengan hukum onani (istimna`). Reason yang penulis usung adalah,
sebenarnya illat diharamkannya zina adalah Ikhtila>t}
al Ansa>b. Sehingga perbuatan seks
menyimpang dengan mempergunakan alat bantu yang mana tidak sampai kontak
langsung antara kemaluan laki-laki dan perempuan. baik dilakukan oleh wanita
maupun laki-laki belum sampai dikatakan zina.
Abdul
Qodir Audah dalam at-Tasyri’ al-Jina>'i memberikan komentarnya terhadap perilaku seks
menggunakan kondom, dengan mengatakan ;
Artinya: Seks
diluar nikah bisa dikatan sebagai zina, walaupun dilakukan dengan menggunakan
kondom yang tipis. Yang mana tidak menghilangkan rasa indrawi.
Menurut
ibnu Qudamah zina adalah persetubuhan antara laki-laki dan perempuan baik di qubul
atau dubur perempuan yang haram disetubuhi, bukan karena syubhat.[11]
Sedangkan
menurut al-Nawawy, zina adalah persetubuhan antara laki-laki dan perempuan baik
dari qubul atau dubur perempuan yang haram disetubuhi, bukan
karena syubhat (keliru).
Perlu
diketahui sebagai catatan bahwa ada perbedaan yang sangat esensial mengenai
definisi zina di dalam hukum positif Indonesia (KUHP) dengan hukum Islam. Di
dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Indonesia pasal 284 dinyatakan bahwa zina adalah persetubuhan yang dilakukan
oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki
yang bukan istri atau suaminya. Dan supaya masuk pasal ini, maka persetubuhan
itu harus dilakukan dengan suka sama suka, tidak boleh ada paksaan dari salah
satu pihak[12].
2.
Macam-macam
Zina
Terlepas dari perbedaan
terkait esensi dari zina tersebut, Perbuatan zina dari sisi subyeknya dapat
dibedakan menjadi dua, Muh{san dan Gairu Muh}san.
a.
Gairu muh}san
Zina gairu muh}san adalah zina yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan
perempuan yang belum berkeluarga. Hukuman untuk gairu muh}san ini ada dua macam, dera seratus kali dan pengasingna
selama satu tahun.[13]
Sedangkan mayoritas ulama sepakat bahwa hukuman bagi pezina yang belum kawin
adalah seratus dera.[14]
Hal ini berdasarkan firman Allah SWT dalam Q.S an-Nur ayat 2:
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ
وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِئَةَ جَلْدَةٍ وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ
اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَلْيَشْهَدْ
عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
Artinya: Perempuan
yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya
mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah,
dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh
sekumpulan dari orang-orang yang beriman.[15]
Menurut Abu Hanifah dan para pengikutnya sama sekali tidak ada dera, sedangkan
menurut Imam Syafi`i pezina dikenakan pengasingan disamping
hukuman dera. Yakni bagi laki-laki atau perempuan, merdeka maupun hamba sahaya.
Sedangkan menurut Imam Malik pengasingan hanya dikenakan kepada pezina
laki-laki dan tidak dikenakan terhadap pezin perempuan pendapat ini juga
dikemukakan oleh al-Auza`i.[16]
b.
Muh}san
Zina muh}san adalah zina yang dilakukan oleh laki-laki dan
perempuan yang sudah menikah (bersuami atau beristri). Menurut jumhur fuqoha`
hukuman mereka itu adalah rajam. Mereka berpedoman pada keshahihan hadis yang
terkait dengan rajam.
3.
Hikmah
Larangan Zina
Keharaman zina ditinjau dari
segi medis dikarenakan supaya tidak tertular penyakit, seperti sipilis kencing
nanah dan lemh syahwat. Sedangkan dari sisi syari'at
sebagaimana dituliskan oleh al-Jurjawy dadalah sebagai berikut[17]
:
a.
Menjaga nasab
H{ifzu al-nasl merupakan salah
satu pilar maqa>sid al-Syari'ah. Keberlangsungan umat manusia sangat ditentukan oleh
keturunan-keturunnya. Sehingga dalam al-Qur'an
dijelaskan manusia sebagai mahluk hidup yang bersuku dan berbangsa agar saling
mengenal satu sama lain. Sebagaimana dalam surat al-Hujurat ayat 13;
يَأيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنكُمْ مِنْ
ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ
أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ.
Artinya : Hai
manusia, sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang
yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Mengenal.[18]
b.
Menjaga kehormatan
Dalam maqa>sid
al-Syari'ah dikenal istilah hifz}u al ‘ird}i. Maksudnya
kehormatan seseorang dalam berkeluarga ditentukan oleh pernikahan yang sah
secara syari’at. Sangat banyak fenomena dimana kehormatan sebuah keluarga
hancur disebabkan adanya perzinaan. Sehingga yang mulanya dipandang sebagai
keluarga terhormat berubah menjadi keluarga yang hina.
c.
Mencegah tertular penyakit
Kebanyakan penyakit kelamin
disebabkan karena seringnya gonta-ganti pasangan. Meskipun dunia medis telah
menemukan alat pencegah penularan penyakit kelamin yang disebut alat
kontrasepsi namun tidak menutup kemungkinan penyakit tersebut tetap menular.
Maka dari itu tindakan preventif dengan tidak melakukan zina adalah solusi
terbaik agar tidak tertular penyakit kelamin
d.
Menghindari kemiskinan
Seseorang yang melakukan
penyimpangan dengan jalan zina tidak akan berhenti pada satu tujuan. Seiring
bertambahnya waktu seseorang yang hobi akan melakukan zina ingin merasakan
lawan jenis lainnya. Hal demikian tentunya sangat menguras keuangan keluarga
yang telah dibina bersama
e.
Belas kasih terhadap anak
Yang paling dirugikan dari
perbuatan zina adalah keluarga, baik pasangan maupun anak mereka berdua. Banyak
kasus perceraian disebabkan perselingkuhan yang dilakukan oleh salah satu pihak
dalam keluarga. Hal ini tentunya berdampak pada perkembangan psikologis anak
dalam bersosialisasi terhadap ingkungan bermainnya.
[1] Ibnu Rusyd, bidayatul
mujtahid, Daru ihya'i al-kutub al-‘arobiyah,
Indonesia : t.t., juz. II, hlm. 324.
[2] Abul Hasan Ali, Ahkam as
sultoniyah, Beirut : Dar al-Fikr, juz. I, hlm. 447.
[4] Departemen Agama RI, Al-Qur`an
dan Terjemahnya ..., hlm. 388.
[5] Abdul Qodir Audah, al-Tasyri`
al-Jina`i , Beirut: Dar al-kutub al-Islamiyah, t.t., juz. III, hlm. 380.
[6] Abdul Qodir Audah, al-Tasyri`
al-Jina`i ..., hlm. 380.
[7] Ali bin muhammad al
jurjani, al-ta`rifat¸ Surabaya : Haromain, t.t., hlm. 160.
[8] Abdul Qodir Audah, al-Tasyri`
al-Jina`i..., hlm. 380.
[9] Abdul Qodir Audah, al-Tasyri`
al-Jina`i ..., hlm. 381.
[11] Muhammad bin Abdurrohman, Rohmah
al-Ummah fi Ikhtilaf al-Aimmah, Ter. Abdulloh zaki “Fiqih Empat Madzhab”
Bandung : Hasyimi Perss, 2004, hlm. 181.
[12] R. Soesila, Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Bogor : Politeia, t.t., hlm. 181.
[13] Ahmad Wardi Muslih, Hukum
Pidana Islam, Jakarta : Sinr Grafika, 2005, hlm. 29.
[14] Ibnu Rusyd, Bidayatul
Mujatahid wa Nihayatul muqtasid, Analisa Fiqih Para Mujtahid, Jakarta :
Pustaka Amani, 2002, hlm. 608.
[15] Departemen Agama RI, Al-Qur`an
dan Terjemahnya..., hlm. 488.
[16] Ibnu Rusyd, Bidayatul
Mujatahid ..., hlm. 608.
[18] Departemen Agama RI, Al-Qur`an
dan Terjemahnya..., hlm. 745.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar