Minggu, 08 April 2018

Konsep Wasiat dalam Islam

WASIAT
1.      Pengertian Wasiat
Wasiat dari kata وصى وصيا وصية. [1]Wasiat dalam bahasa diartikan اسم من الإيصاء. [2] Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia wasiat mempunyai dua arti yaitu, pesan terakhir yang disampaikan oleh orang yang akan meninggal (biasanya berkenaan dengan harta kekayaan, dan lain sabagainya) dan berarti pusaka, sesuatu (benda) yang bertuah; yang ghaib; sesuatu yang dapat membuat sesuatu yang ganjil.[3] Sedangkan wasiat secara istilah ulama memberikan pengertian sebagai berikut:[4]
Ulama H}anafiyyah:
الوصية تمليك مضاف إلى مابعد الموت بطريق التبرع
Artinya: “Wasiat adalah memberikan hak milik kepada orang lain setelah (‘a>qid) meninggal dunia dengan jalan sukarela.”

Ulama Ma>likiyyah:
الوصية في عرف الفقهاء عقد يوجب حقا في ثلث مال عاقده يلزم بموته أو يوجب نيابة عند بعده
Artinya: “wasiat menurut fuqaha adalah suatu akad yang menetapkan kepada si penerima wasiat untuk menghaki 1/3 harta si pewasiat setelah ia meninggal atau akad yang menetapkan penggantian hak 1/3 si pewasiat kepada si penerima wasiat.”

Ulama Sya>fi’iyyah:
الوصية تبرع بحق مضاف إلى مابعد الموت سواء أضافه لفظا أولا
Artinya: “wasiat adalah derma (pemberian) sesuatu hak atau kepemilikan kepada seseorang yang terjadi setelah kematian baik itu dengan lafadh atau tidak.”

Ulama Hana>bilah:
الوصية الأمر بالتصرف بعد الموت كأن يوصي شخصا بأن يقوم على أولاده الصغار أويزوج بناته أويفرق ثلث ماله ونحو ذلك 

Artinya: “Wasiat adalah perintah menggantikan aktifitasnya setelah kematian pewasiat seperti seseorang berwasiat untuk memelihara anak-anaknya yang masih kecil, atau untuk menikahkan anak perempuannya atau memisahkan sepertiga hartanya atau yang lainnya.”

Dari beberapa pengertian di atas dapat dipahami bahwa wasiat adalah suatu perbuatan baik dengan memberikan hak kepada orang lain dan berlaku setelah pemberi wasiat meninggal dunia. Namun, definisi di atas terdapat juga beberapa perbedaan seperti ulama Ma>likiyyah lebih cenderung menekankan tentang jumlah wasiat yakni sepertiga harta, tanpa mengungkapkan bahwa wasiat adalah perbuatan baik tanpa imbalan (tabarru’). Definisi ulama Sya>fi’iyyah hampir sama dengan definisi ulama H}anafiyyah namun lebih menekankan bahwa berlakunya wasiat setelah wafat si pewasiat. Ulama Hana>bilah juga tidak mengungkapkan bahwa wasiat adalah perbuatan baik tanpa imbalan, yang membedakannya dengan transaksi jual beli, sedekah, dan lain-lain.  
Dalam penjelasan pasal 49 ayat (c) UU No. 3 Tahun 2006 Tentang perubahan UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang dimaksud wasiat adalah perbuatan seseorang memberikan suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga/badan hukum yang berlaku setelah yang memberi tersebut meninggal dunia.[5]
Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 171 huruf f dijelaskan bahwa wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia.[6]

2.      Pensyariatan Wasiat dan Dasar Hukumnya
Keberadaan wasiat sebagai suatu proses peralihan harta ternyata telah berlangsung cukup lama. Pada masa-masa sebelum kedatangan Islam, pelaksanaan wasiat kurang mengedepankan prinsip kebenaran dan keadilan. Hal ini antara lain terjadi pada masa Romawi. Selanjutnya, pada masa Arab Jahiliyyah, wasiat diberikan kepada orang lain dengan tujuan untuk berlomba-lomba menunjukkan kemewahan, sedangkan kerabat yang ada ditinggalkan dalam keadaan miskin dan membutuhkan. Kondisi ini kemudian berubah dengan datangnya Islam yang mengarahkan tujuan wasiat kepada dasar-dasar kebenaran dan keadilan. Oleh karena itu, kepada pemilik harta diwajibkan untuk berwasiat kepada orang tua dan karib kerabat sebelum dilakukan pembagian harta warisan.[7]
Adapun dasar hukum wasiat dalam hukum Islam terdapat dalam al-Qur’an, hadis, dan ijma’.
1.      Al-Qur’an
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِن تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَاْلأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ[8]
Artinya: “Diwajibkan atas kamu apabila seseorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) mati, jika ia meninggalkan harta yang banyak berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf. (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. (QS. Al-Baqarah (2): 180).[9]

Ayat ini mengingatkan seluruh manusia untuk berwasiat yang merupakan salah satu amal kebajikan sesudah mati pada saat sudah terlihat tanda-tanda kematian.[10] Menurut jumhur ulama dan kebanyakan ahli tafsir, ayat wasiat telah dinasakh dengan ayat warisan. Hal ini dikarenakan ayat tersebut kontradiksi dengan ayat warisan.

وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لأَزْوَاجِهِم مَّتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ
Artinya: “Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antaramu dan meninggalkan para istri, hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). (QS. Al-Baqarah: 240).[11]

Asba>bun nuzu>l ayat ini adalah dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa seorang laki-laki dari Thaif datang ke Madinah bersama anak-istri dan kedua orangtuanya, yang kemudian meninggal dunia di sana. Hal ini disampaikan kepada Nabi saw beliau membagikan harta peninggalannya kepada anak-anak dan ibu-bapaknya, sedang istrinya tidak diberi bagian. Hanya saja mereka yang diberi bagian diperintahkan untuk memberi belanja kepadanya dari tirkah (peninggalan) suaminya itu selama satu tahun. Maka turunlah ayat tersebut di atas yang membenarkan tindakan Rasulullah untuk memberi nafkah selama setahun kepada istri yang ditinggal mati oleh suaminya.[12] Hukum tersebut telah dinasakh dengan ayat-ayat tentang waris dan dengan diwajibkannya iddah wafat selama emat bulan sepuluh hari.[13]

2.      Hadis 
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رضى الله عنهما أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ مَا حَقُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ لَهُ شَىْءٌ ، يُوصِى فِيهِ يَبِيتُ لَيْلَتَيْنِ ، إِلاَّ وَوَصِيَّتُهُ مَكْتُوبَةٌ عِنْدَهُ . (رواه البخارى). [14]

Artinya: “Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: “tiada hak seorang muslim yang mempunyai sesuatu yang ingin diwasiatkan bermalam (diperlambat) selama dua malam, kecuali wasiatnya telah dicatat di sisi-Nya.” (HR. al-Bukhari).[15]

Ibnu Umar berkata: “tidak berlaku bagiku satu malam pun sejak mendengar Rasulullah mengucapkan hadis ini kecuali wasiatku selalu berada di sisiku.” Hal tersebut menunjukkan wasiat wajib bagi orang muslim.[16]
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ وَهَنَّادٌ قَالَا حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ عَيَّاشٍ حَدَّثَنَا شُرَحْبِيلُ بْنُ مُسْلِمٍ الْخَوْلَانِيُّ عَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي خُطْبَتِهِ عَامَ حَجَّةِ الْوَدَاعِ إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَعْطَى لِكُلِّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ (رواه الترمذى)[17]
Artinya: “Ali ibn Hujr dan Hannad menceritakan kepada kami keduanya berkata: “Ismail ibn ‘Ayyasy menceritakan kepada kami Syurahbil ibn Muslim al-Khaulani, dari Abu Umamah berkata: “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda pada khutbah haji wada’: “sesungguhnya Allah telah memberi kepada yang mempunyai hak akan hak-haknya, karena itu tidak sah wasiat kepada ahli waris (yang menerima warisan).” (HR. Tirmidzi).[18]

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ النَّيْسَابُورِىُّ حَدَّثَنَا يُوسُفُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا حَجَّاجٌ عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ عَنْ عَطَاءٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم لاَ تَجُوزُ الْوَصِيَّةُ لِوَارِثٍ إِلاَّ أَنْ يَشَاءَ الْوَرَثَةُ[19]

Artinya: “Abu Bakar an-Naisaburi menceritakan kepada kami, Yusuf ibn Sa’id meceritakan kepada kami, Hajjaj menceritakan kepada kami dari Ibnu Juraij, dari Atha’, dari Ibnu Abbas, dia berkata: “Rasulullah saw bersabda, “Tidak sah wasiat kepada ahli waris, kecuali apabila ahli waris lain membolehkannya.” (HR. ad-Da>r Qut}ni>)[20]

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحِيمِ حَدَّثَنَا زَكَرِيَّاءُ بْنُ عَدِىٍّ حَدَّثَنَا مَرْوَانُ عَنْ هَاشِمِ بْنِ هَاشِمٍ عَنْ عَامِرِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ أَبِيهِ رضى الله عنه قَالَ مرضت فعادني النبي صلى الله عليه وسلم فقلت يارسول الله ادع الله ان لا يردني على عقبي قال لعل الله يرفعك وينفع بك ناسا قلت اريد ان اوصي وانما لي ابنة قلت اوصي بالنصف قال النصف كثير قلت فالثلث قال الثلث والثلث كثير او كبير قال فاوصى الناس بالثلث وجاز ذلك لهم (رواه البخاري)[21]

Artinya:“Aku menderita sakit kemudian Nabi saw mengunjungiku dan aku katakan: “Wahai Rasulullah berdoalah tuan kepada Allah semoga Dia tidak menolakku”. Beliau bersabda: “Semoga Allah meninggikan (derajat)mu, dan manusia lain akan memperoleh manfaat dari kamu”. Aku bertanya: “Aku ingin mewasiatkan hartaku separuh, namun aku punya seorang anak perempuan”. Beliau menjawab: “Separuh itu banyak”. Aku bertanya (lagi): “Sepertiga?” Beliau menjawab: “Sepertiga, sepertiga adalah banyak atau besar”. Beliau bersabda: “orang-orang berwasiat sepertiga, dan yang demikian itu boleh bagi mereka. (HR. al-Bukhari)[22]
3.      Ijma’
Adapun ijma’ adalah umat Islam sejak zaman Rasulullah sampai sekarang banyak yang menjalankan wasiat. Perbuatan yang demikian itu tidak pernah diingkari oleh siapapun. Ketiadaan ingkar seorang itu menunjukkan adanya ijma’.[23]

3.      Hukum Wasiat
Wasiat adalah suatu tuntutan syari’at untuk dilaksanakan. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia tidak menegaskan status hukum wasiat. Dalam menetapkan hukum wasiat para ulama berbeda pendapat. Menurut az-Zuhri dan Abu Milaz, bahwa wasiat itu wajib hukumnya bagi setiap muslim yang akan meninggal dunia dan dia meninggalkan harta, baik jumlahnya banyak atau sedikit. Sedangkan apabila wasiat yang dilaksanakan tersebut justru mendatangkan kerugian bagi ahli waris, maka wasiat yang telah diberikan adalah batal demi hukum atau dalam istilah Islam adalah haram.[24]
Menurut Abu Daud, Masruq, Thawus, Iyas, Qatadah, dan Ibnu Jabir, bahwa wasiat itu hukumnya wajib dilaksanakan kepada orang tua dan kerabat-kerabat yang karena satu atau beberapa sebab tidak mendapatkan warisan.[25]
Menurut jumhur dan fuqaha Syi’ah Zaidiyah, bahwa berwasiat kepada orang tua dan karib kerabat tidak termasuk fardhu ‘ain. Mereka berargumentasi bahwa:[26] (a) Nabi Muhammad tidak pernah menjelaskan hal itu dan biarpun tidak ada wasiat mengenai harta peninggalannya, (b) Mayoritas sahabat tidak menjalankan wasiat dan tidak ada yang mengingkarinya (ijma’ sukuti). (c) Wasiat itu merupakan pemberian yang tidak wajib diserahterimakan selagi orang yang berwasiat masih hidup. Begitu juga setelah ia meninggal dunia, tidak wajib melaksanakannya.
Ibnu H}azm mengatakan bahwa wasiat itu hukumnya fardlu ’ain bagi orang yang akan meninggal dunia dengan meninggalkan harta pusaka.[27] Pendapat beliau berdasarkan sabda Nabi Muhammad:

عن نافع عن ابن عمر قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ما حق امرئ مسلم له شيء يوصي فيه يبيت ليلتين إلا ووصيته عنده مكتوبة  قال ابن عمر : ما مرت علي ليلة مذ سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم قال ذلك إلا وعندي وصيتي .

Artinya: “Dari Nafi’ dari Ibn Umar berkata: “Rasulullah bersabda: “tidak ada suatu kebaikan yang dimiliki seorang muslim yang memberi pesan dimana dia tertidur selama dua malam kecuali pesan wasiat tertulis yang disimpan di sampingnya. Ibnu Umar berkata: “belum lewat satu malam, sejak aku mendengar Rasulullah bersabda semacam itu, kecuali di sampingku tersimpan wasiatku.”

 Menurut Imam al-Syafi’i hukum berwasiat adalah sunnah karena telah terjadinya nasikh dan mansukh antara ayat wasiat dengan ayat kewarisan. Ulama Sya>fi’iyyah mengemukakan bahwa hukum wasiat menurut syar’i ada lima macam, yaitu pertama, wajib apabila wasiat itu berhubungan dengan penunaian hutang atau pengembalian barang pinjaman dan segala sesuatu yang berhubungan dengan hak manusia. Kedua, haram apabila wasiat diberikan kepada seseorang yang suka melakukan mafsadah (kerusakan). Ketiga, makruh apabila wasiat itu diberikan lebih dari sepertiga harta peninggalan atau diberikan kepada ahli waris. Keempat, sunnah apabila wasiat itu telah memenuhi segala persyaratan wasiat yang telah ditentukan dan tidak termasuk ke dalam wasiat yang wajib, wasiat yang haram, atau wasiat yang makruh, seperti wasiat kepada selain ahli waris yang layak mendapat wasiat menurut pertimbangan logika, atau wasiat kepada fakir miskin dan lain-lain. Kelima, mubah apabila wasiat yang diberikan kepada orang kaya.[28]

4.      Rukun dan Syarat Sahnya Wasiat
Ibnu Rusyd dan al-Jaziri mengemukakan bahwa rukun dan syarat sahnya suatu wasiat harus disandarkan kepada empat hal, yaitu mu>s}i> (orang yang berwasiat), mu>s}a> lahu> (orang yang menerima wasiat), mu>s}a> bihi (barang yang diwasiatkan) dan s}i>gat (redaksi wasiat).[29]
Pertama, pemberi wasiat (mu>s}i>). Pemberi wasiat disyaratkan kepada orang dewasa yang cakap melakukan perbuatan hukum, merdeka dalam pengertian bebas memilih dan tidak mendapat paksaan. Oleh karena itu, orang yang dipaksa dan orang yang tidak sehat pikirannya tidak sah wasiatnya.[30]
Kedua, Penerima wasiat (mu>s}a> lahu>). Wasiat dapat ditujukan kepada orang tertentu, baik kepada ahli waris maupun kepada bukan ahli waris. Namun, terjadi perdebatan ulama apabila yang menerima wasiat adalah ahli waris. Adapun penjelasannya dijelaskan pada sub bab wasiat kepada ahli waris. Secara umum orang yang menerima wasiat adalah orang yang ahli tasaruf atau orang yang memiliki cakap hukum terhadap harta yang telah diwasiatkan. Demikian juga, wasiat dapat ditujukan kepada yayasan atau lembaga sosial, kegiatan keagamaan, dan semua bentuk kegiatan yang tidak menentang agama Islam.
Ketiga, Harta atau barang yang diwasiatkan (mu>s}a> bih). Harta atau barang yang diwasiatkan disyaratkan sebagai harta yang dapat diserahterimakan hak pemilikannya dari pemberi wasiat kepada penerima wasiat. Oleh karena itu, tidak sah mewasiatkan harta atau barang yang belum jelas statusnya. Selain itu, harta yang diwasiatkan mempunyai nilai yang jelas atau bermanfaat bagi penerima wasiat, bukan harta atau barang-barang yang diharamkan atau yang akan membawa kemadharatan bagi penerima wasiat.[31]
Keempat, s}i>gat wasiat. S}i>gat wasiat bisa menggunakan kata yang jelas atau kinayah, dikarenakan wasiat dapat menggunakan tulisan tanpa memerlukan jawaban (qabul) secara langsung. Para ulama berbeda pendapat tentang qabul sebagai syarat sahnya wasiat. Imam Malik berpendapat bahwa qabul merupakan syarat sah. Hal ini dikarenakan wasiat dianalogikan dengan hibah. Imam al-Syafi’i berpendapat bahwa qabul bukan merupakan syarat sahnya wasiat. Sedangkan Imam Abu Hanifah dan kedua muridnya, Abu Yusuf dan al-Syaibani bahwa qabul itu harus dilakukan, karena wasiat adalah tindakan ikhtiyariyah, maka qabul menjadi penting adanya.[32]
Pelaksanaan wasiat sangat diperlukan karena ada kepastian hukum dalam pengalihan harta melalui wasiat. Pasal 195 Kompilasi Hukum Islam menetapkan perlunya pengaturan tentang wasiat dan mengatur pelaksanaannya:
a.       Wasiat dilakukan secara lisan dihadapan dua orang saksi, atau tertulis dihadapan dua orang saksi, atau dihadapan notaris.
b.      Wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujui.
c.       Wasiat kepada ahli waris hanya berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris.
d.      Pernyataan persetujuan pada ayat (2) dan (3) pasal ini dibuat secara lisan di hadapan dua orang saksi atau tertulis di hadapan dua orang saksi atau di hadapan notaris.

5.      Batas Pelaksanaan Wasiat
Wasiat hanya berlaku dalam batas sepertiga dari harta warisan, manakala terdapat ahli waris, baik wasiat itu dikeluarkan ketika dalam keadaan sakit ataupun sakit. Adapun jika melebihi sepertiga harta warisan, menurut kesepakatan seluruh mazhab, membutuhkan izin dari para ahli waris. Jika semua mengizinkan, wasiat itu berlaku. Tapi jika mereka menolak, maka batal wasiat. Tetapi jika sebagian dari mereka mengizinkan, sedang sebagian lainnya tidak, maka kelebihan dari sepertiga itu dikeluarkan dari harta yang mengizinkan, dan izin seorang ahli waris baru berlaku jika ia berakal sehat, baligh, dan rasyid.[33]
Mazhab Hanafiyyah mengatakan bahwa jumlah sepertiga itu dihitung pada saat harta warisan dibagikan dan setiap penambahan atau kekurangan dari harta peninggalan si pewaris berpengaruh pada penerimaan ahli waris dan penerima wasiat. Imam Malik mengatakan hal tersebut dihitung dari sebatas harta yang dapat diketahui saja. Imam Ahmad Ibn Hanbal dan Imam al-Syafi’i mengatakan bahwa sepertiga wasiat tersebut dihitung saat meninggalnya orang yang memberi wasiat. Mazhab Imamiyah mengatakan bahwa hal ini dihitung pada saat pembagian harta warisan dilaksanakan dari semua harta yang menjadi milik si pewaris.[34] 
Ketentuan yang menetapkan bahwa wasiat hanya dibenarkan maksimal sepertiga harta yang dimiliki si pewaris adalah sejalan dengan Kompilasi Hukum Islam. Dalam pasal 201 Kompilasi Hukum Islam ditegaskan bahwa wasiat tidak boleh lebih dari sepertiga harta yang dimiliki dari si pewaris, apabila wasiat melebihi sepertiga dari harta yang dimiliki itu maka harus ada persetujuan ahli waris, jika mereka tidak menyetujuinya, maka wasiat harus dilaksanakan hanya sampai batas sepertiga saja dari seluruh harta warisan yang ditinggalkan oleh pewaris.


[1]Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, Yogyakarta: Pondok Pesantren al-Munawwir, t.t, h. 1669.
[2] [n.n], Al-Munjid fi al-Lughah, Beirut: Dar al-Masyriq Sarl Publishers, 1986, h. 904.
[3] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1994, hlm. 1126.
[4] ‘Abdur Rahma>n al-Jazi>ri>, al-Fiqh ‘ala Maza>hib al-Arba’ah, juz 3, Beirut: Da>r Kutub al-‘Ilmiyah, 2003, h. 277.
[5] Irma Devita Purnamasari, Panduan Lengkap Hukum Praktis Populer: Kiat-kiat Cerdas, Mudah, dan Bijak Memahami Masalah Hukum Waris, Bandung: Kaifa, 2012, h. 48-49.
[6] Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 354.
[7] Wahbah az-Zuhailiy, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, Damaskus: Dar al-Fikr, 2002, juz. 10, h. 7438.
[8] Alumnus UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedia al-Qur’an & Hadis Pertema, cet. Ke-2, Jakarta: Niaga Swadaya, 2012, h. 1239
[9] Penyusun al-Quran Bahriyah, al-Qur’an dan Terjemah Ma’nanya dalam Bahasa Indonesia, h. 28.
[10] Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir, Jilid 1, terj. Abdul Hayyie, dkk, Jakarta: Gema Insani, 2013, h. 368.
[11] Penyusun al-Quran Bahriyah, al-Qur’an dan Terjemah Ma’nanya…, h. 40.
[12] A.A. Dahlan & M. Zaka Alfarisi, Asbabun Nuzul; Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat al-Quran, Bandung: Penerbit Diponegoro, 2000, h. 84.
[13] Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Wasith Jilid 1(al-Fa>tih}ah}- at-Taubah), terj. Muhtadi, dkk, Jakarta: Gema Insani, 2012, h. 121.
[14] Abu Abdillah Muhammmad al-Bukhary, ahīh al-Bukhāry, Juz 2. Semarang: Maktabah al-Munawwir, t.t, h. 124.
[15] Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abdul Hadi al-Maqdisi, Ensiklopedi Hadis-hadis Hukum, Jakarta: Darus Sunnah, 2013, h. 1065.
[16] Syaikh Sulaiman Ahmad Yahya al-Faifi, al-Wajiz fi Fiqh al-Sunnah as-Sayyid Sabiq, terj. Tirmidzi, Futuhal Arifin, & Farhan Kurniawan, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2013, h. 956.
[17] Muhammad ibn ‘Isa ibn Saurah ibn Musa ibn al-Dluhak al-Tirmidzi Abu ‘Isa, Sunan al-Tirmidzi, h. 491.
[18] Fatchur Rahman, Ilmu Waris, h. 56.
[19] Ali ibn Umar ad-Daraquthni, Sunan ad-Daraquthni, h. 974.
[20] Al-Imam al-Hafiz Ali bin Umar ad-Daraquthni, Sunan ad-Daraquthni, h. 263.
[21] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, juz 3, Beirut: Dar al-Fikr, 1981, h. 187.
[22] Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 357.
[23] Fatchur Rahman, Ilmu Waris, h. 51.
[24] Syaikh Sulaiman Ahmad Yahya al-Faifi, al-Wajiz fi Fiqh al-Sunnah as-Sayyid Sabiq…, h. 956.
[25] Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2014, h. 108.
[26] Fatchur Rahman, Ilmu Waris, h. 54 lihat juga Abdullah Siddik, Hukum Waris Islam dan Perkembangannya di Seluruh Dunia Islam, h. 213.
[27] Abū Muhammad Ali ibn Ahmad ibn Said ibn Hazm al-Andalusi, al Muhalla bi al-Atsar, h. 349, lihat juga Abū Muhammad Ali ibn Ahmad ibn Said ibn Hazm al-Andalusi, al Muhalla fi Syarh al-Mujalla bi al-Hujaj wa al-Atsa>r, :Bait al-Afka>r al-Daulah, 2003, h. 1503.
[28]Abdur Rahma>n al-Jazi>ri>, al-Fiqh ‘ala Maza>hib al-Arba’ah, juz 3, h. 326-327.
[29] Muhammad Jawad al-Mughniyah al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Khamsah, terj. Afif Muhammad, Jakarta: Basrie Press, 1994, h. 238.
[30] Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, h. 142.
[31] Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 142.
[32] Fatchur Rahman, Ilmu Waris, h. 57.
[33] Muhammad Jawad al-Mughniyah, al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Khamsah…, h. 247.
[34] Muhammad Jawad al-Mughniyah, al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Khamsah…., h. 247.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar