WASIAT
1. Pengertian Wasiat
Wasiat dari kata وصى وصيا وصية. [1]Wasiat dalam
bahasa diartikan اسم من الإيصاء. [2] Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
wasiat mempunyai dua arti yaitu, pesan terakhir yang disampaikan oleh orang
yang akan meninggal (biasanya berkenaan dengan harta kekayaan, dan lain
sabagainya) dan berarti pusaka, sesuatu (benda) yang bertuah; yang ghaib;
sesuatu yang dapat membuat sesuatu yang ganjil.[3]
Sedangkan wasiat secara istilah ulama memberikan pengertian sebagai berikut:[4]
Ulama H}anafiyyah:
الوصية تمليك مضاف إلى مابعد الموت بطريق التبرع
Artinya: “Wasiat adalah memberikan hak milik
kepada orang lain setelah (‘a>qid) meninggal dunia dengan jalan sukarela.”
Ulama Ma>likiyyah:
الوصية في عرف الفقهاء
عقد يوجب حقا في ثلث مال عاقده يلزم بموته أو يوجب نيابة عند بعده
Artinya: “wasiat
menurut fuqaha adalah suatu akad yang menetapkan kepada si penerima wasiat
untuk menghaki 1/3 harta si pewasiat setelah ia meninggal atau akad yang
menetapkan penggantian hak 1/3 si pewasiat kepada si penerima wasiat.”
Ulama Sya>fi’iyyah:
الوصية تبرع بحق مضاف إلى مابعد الموت سواء أضافه لفظا أولا
Artinya: “wasiat adalah derma
(pemberian) sesuatu hak atau kepemilikan kepada seseorang yang terjadi setelah
kematian baik itu dengan lafadh atau tidak.”
Ulama Hana>bilah:
الوصية الأمر بالتصرف
بعد الموت كأن يوصي شخصا بأن يقوم على أولاده الصغار أويزوج بناته أويفرق ثلث ماله
ونحو ذلك
Artinya: “Wasiat adalah
perintah menggantikan aktifitasnya setelah kematian pewasiat seperti seseorang
berwasiat untuk memelihara anak-anaknya yang masih kecil, atau untuk menikahkan
anak perempuannya atau memisahkan sepertiga hartanya atau yang lainnya.”
Dari beberapa pengertian di atas
dapat dipahami bahwa wasiat adalah suatu perbuatan baik dengan memberikan hak
kepada orang lain dan berlaku setelah pemberi wasiat meninggal dunia. Namun,
definisi di atas terdapat juga beberapa perbedaan seperti ulama Ma>likiyyah lebih
cenderung menekankan tentang jumlah wasiat yakni sepertiga harta, tanpa
mengungkapkan bahwa wasiat adalah perbuatan baik tanpa imbalan (tabarru’). Definisi
ulama Sya>fi’iyyah hampir sama
dengan definisi ulama H}anafiyyah namun
lebih menekankan bahwa berlakunya wasiat setelah wafat si pewasiat. Ulama Hana>bilah
juga tidak mengungkapkan bahwa wasiat adalah perbuatan baik tanpa imbalan, yang
membedakannya dengan transaksi jual beli, sedekah, dan lain-lain.
Dalam penjelasan pasal 49 ayat (c)
UU No. 3 Tahun 2006 Tentang perubahan UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama yang dimaksud wasiat adalah perbuatan seseorang memberikan suatu benda
atau manfaat kepada orang lain atau lembaga/badan hukum yang berlaku setelah
yang memberi tersebut meninggal dunia.[5]
Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 171 huruf f dijelaskan bahwa
wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris
kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal
dunia.[6]
2.
Pensyariatan
Wasiat dan Dasar Hukumnya
Keberadaan wasiat sebagai suatu
proses peralihan harta ternyata telah berlangsung cukup lama. Pada masa-masa
sebelum kedatangan Islam, pelaksanaan wasiat kurang mengedepankan prinsip
kebenaran dan keadilan. Hal ini antara lain terjadi pada masa Romawi.
Selanjutnya, pada masa Arab Jahiliyyah, wasiat diberikan kepada orang lain
dengan tujuan untuk berlomba-lomba menunjukkan kemewahan, sedangkan kerabat
yang ada ditinggalkan dalam keadaan miskin dan membutuhkan. Kondisi ini
kemudian berubah dengan datangnya Islam yang mengarahkan tujuan wasiat kepada
dasar-dasar kebenaran dan keadilan. Oleh karena itu, kepada pemilik harta
diwajibkan untuk berwasiat kepada orang tua dan karib kerabat sebelum dilakukan
pembagian harta warisan.[7]
Adapun dasar hukum wasiat dalam
hukum Islam terdapat dalam al-Qur’an, hadis, dan ijma’.
1.
Al-Qur’an
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا
حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِن تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَاْلأَقْرَبِينَ
بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ[8]
Artinya:
“Diwajibkan atas kamu apabila seseorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda)
mati, jika ia meninggalkan harta yang banyak berwasiat untuk ibu-bapak dan
karib kerabatnya secara ma’ruf. (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang
bertakwa. (QS. Al-Baqarah (2): 180).[9]
Ayat ini mengingatkan seluruh manusia untuk
berwasiat yang merupakan salah satu amal kebajikan sesudah mati pada saat sudah
terlihat tanda-tanda kematian.[10]
Menurut jumhur ulama dan kebanyakan ahli tafsir, ayat wasiat telah dinasakh
dengan ayat warisan. Hal ini dikarenakan ayat tersebut kontradiksi dengan ayat
warisan.
وَالَّذِينَ
يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لأَزْوَاجِهِم مَّتَاعًا إِلَى
الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ
Artinya: “Dan
orang-orang yang akan meninggal dunia di antaramu dan meninggalkan para istri,
hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya (yaitu) diberi nafkah hingga setahun
lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). (QS. Al-Baqarah: 240).[11]
Asba>bun
nuzu>l ayat ini adalah dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa seorang
laki-laki dari Thaif datang ke Madinah bersama anak-istri dan kedua
orangtuanya, yang kemudian meninggal dunia di sana. Hal ini disampaikan kepada
Nabi saw beliau membagikan harta peninggalannya kepada anak-anak dan ibu-bapaknya,
sedang istrinya tidak diberi bagian. Hanya saja mereka yang diberi bagian
diperintahkan untuk memberi belanja kepadanya dari tirkah (peninggalan)
suaminya itu selama satu tahun. Maka turunlah ayat tersebut di atas yang
membenarkan tindakan Rasulullah untuk memberi nafkah selama setahun kepada
istri yang ditinggal mati oleh suaminya.[12]
Hukum tersebut telah dinasakh dengan ayat-ayat tentang waris dan dengan
diwajibkannya iddah wafat selama emat bulan sepuluh hari.[13]
2.
Hadis
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رضى الله عنهما أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه
وسلم قَالَ مَا حَقُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ لَهُ شَىْءٌ ، يُوصِى فِيهِ يَبِيتُ لَيْلَتَيْنِ
، إِلاَّ وَوَصِيَّتُهُ مَكْتُوبَةٌ عِنْدَهُ . (رواه البخارى). [14]
Artinya: “Sesungguhnya
Rasulullah saw bersabda: “tiada hak seorang muslim yang mempunyai sesuatu yang
ingin diwasiatkan bermalam (diperlambat) selama dua malam, kecuali wasiatnya
telah dicatat di sisi-Nya.” (HR. al-Bukhari).[15]
Ibnu Umar berkata: “tidak berlaku bagiku satu
malam pun sejak mendengar Rasulullah mengucapkan hadis ini kecuali wasiatku
selalu berada di sisiku.” Hal tersebut menunjukkan wasiat wajib bagi orang
muslim.[16]
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ وَهَنَّادٌ قَالَا حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ
بْنُ عَيَّاشٍ حَدَّثَنَا شُرَحْبِيلُ بْنُ مُسْلِمٍ الْخَوْلَانِيُّ عَنْ أَبِي أُمَامَةَ
الْبَاهِلِيِّ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ
فِي خُطْبَتِهِ عَامَ حَجَّةِ الْوَدَاعِ إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَعْطَى لِكُلِّ ذِي حَقٍّ
حَقَّهُ فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ (رواه الترمذى)[17]
Artinya: “Ali
ibn Hujr dan Hannad menceritakan kepada kami keduanya berkata: “Ismail ibn ‘Ayyasy
menceritakan kepada kami Syurahbil ibn Muslim al-Khaulani, dari Abu
Umamah berkata: “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda pada khutbah haji wada’:
“sesungguhnya Allah telah memberi kepada yang mempunyai hak akan hak-haknya,
karena itu tidak sah wasiat kepada ahli waris (yang menerima warisan).” (HR.
Tirmidzi).[18]
حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرٍ النَّيْسَابُورِىُّ حَدَّثَنَا يُوسُفُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا
حَجَّاجٌ عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ عَنْ عَطَاءٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم لاَ تَجُوزُ الْوَصِيَّةُ لِوَارِثٍ
إِلاَّ أَنْ يَشَاءَ الْوَرَثَةُ[19]
Artinya: “Abu
Bakar an-Naisaburi menceritakan kepada kami, Yusuf ibn Sa’id meceritakan kepada
kami, Hajjaj menceritakan kepada kami dari Ibnu Juraij, dari Atha’, dari Ibnu
Abbas, dia berkata: “Rasulullah saw bersabda, “Tidak sah wasiat kepada ahli
waris, kecuali apabila ahli waris lain membolehkannya.” (HR. ad-Da>r Qut}ni>)[20]
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحِيمِ حَدَّثَنَا زَكَرِيَّاءُ
بْنُ عَدِىٍّ حَدَّثَنَا مَرْوَانُ عَنْ هَاشِمِ بْنِ هَاشِمٍ عَنْ عَامِرِ بْنِ سَعْدٍ
عَنْ أَبِيهِ رضى الله عنه قَالَ مرضت
فعادني النبي صلى الله عليه وسلم فقلت يارسول الله ادع الله ان لا يردني على عقبي قال
لعل الله يرفعك وينفع بك ناسا قلت اريد ان اوصي وانما لي ابنة قلت اوصي بالنصف قال
النصف كثير قلت فالثلث قال الثلث والثلث كثير او كبير قال فاوصى الناس بالثلث وجاز
ذلك لهم (رواه البخاري)[21]
Artinya:“Aku
menderita sakit kemudian Nabi saw mengunjungiku dan aku katakan: “Wahai
Rasulullah berdoalah tuan kepada Allah semoga Dia tidak menolakku”. Beliau
bersabda: “Semoga Allah meninggikan (derajat)mu, dan manusia lain akan
memperoleh manfaat dari kamu”. Aku bertanya: “Aku ingin mewasiatkan hartaku
separuh, namun aku punya seorang anak perempuan”. Beliau menjawab: “Separuh itu
banyak”. Aku bertanya (lagi): “Sepertiga?” Beliau menjawab: “Sepertiga,
sepertiga adalah banyak atau besar”. Beliau bersabda: “orang-orang berwasiat
sepertiga, dan yang demikian itu boleh bagi mereka. (HR. al-Bukhari)[22]
3.
Ijma’
Adapun ijma’ adalah umat Islam sejak zaman
Rasulullah sampai sekarang banyak yang menjalankan wasiat. Perbuatan yang
demikian itu tidak pernah diingkari oleh siapapun. Ketiadaan ingkar seorang itu
menunjukkan adanya ijma’.[23]
3.
Hukum
Wasiat
Wasiat adalah
suatu tuntutan syari’at untuk dilaksanakan. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
tidak menegaskan status hukum wasiat. Dalam menetapkan hukum wasiat para ulama
berbeda pendapat. Menurut az-Zuhri dan Abu Milaz, bahwa wasiat itu wajib hukumnya
bagi setiap muslim yang akan meninggal dunia dan dia meninggalkan harta, baik
jumlahnya banyak atau sedikit. Sedangkan apabila wasiat yang dilaksanakan
tersebut justru mendatangkan kerugian bagi ahli waris, maka wasiat yang telah
diberikan adalah batal demi hukum atau dalam istilah Islam adalah haram.[24]
Menurut Abu
Daud, Masruq, Thawus, Iyas, Qatadah, dan Ibnu Jabir, bahwa wasiat itu hukumnya
wajib dilaksanakan kepada orang tua dan kerabat-kerabat yang karena satu atau
beberapa sebab tidak mendapatkan warisan.[25]
Menurut jumhur
dan fuqaha Syi’ah Zaidiyah, bahwa berwasiat kepada orang tua dan karib kerabat
tidak termasuk fardhu ‘ain. Mereka berargumentasi bahwa:[26]
(a) Nabi Muhammad tidak pernah menjelaskan hal itu dan biarpun tidak ada wasiat
mengenai harta peninggalannya, (b) Mayoritas sahabat tidak menjalankan wasiat
dan tidak ada yang mengingkarinya (ijma’ sukuti). (c) Wasiat itu
merupakan pemberian yang tidak wajib diserahterimakan selagi orang yang
berwasiat masih hidup. Begitu juga setelah ia meninggal dunia, tidak wajib
melaksanakannya.
Ibnu H}azm mengatakan
bahwa wasiat itu hukumnya fardlu ’ain bagi orang yang akan meninggal dunia
dengan meninggalkan harta pusaka.[27]
Pendapat beliau berdasarkan sabda Nabi Muhammad:
عن نافع عن ابن عمر قال : قال رسول الله
صلى الله عليه وسلم ما حق امرئ مسلم له شيء يوصي فيه يبيت ليلتين إلا ووصيته عنده مكتوبة قال ابن عمر : ما مرت علي ليلة مذ سمعت رسول الله
صلى الله عليه وسلم قال ذلك إلا وعندي وصيتي .
Artinya: “Dari
Nafi’ dari Ibn Umar berkata: “Rasulullah bersabda: “tidak ada suatu kebaikan
yang dimiliki seorang muslim yang memberi pesan dimana dia tertidur selama dua
malam kecuali pesan wasiat tertulis yang disimpan di sampingnya. Ibnu Umar
berkata: “belum lewat satu malam, sejak aku mendengar Rasulullah bersabda
semacam itu, kecuali di sampingku tersimpan wasiatku.”
Menurut Imam al-Syafi’i hukum
berwasiat adalah sunnah karena telah terjadinya nasikh dan mansukh
antara ayat wasiat dengan ayat kewarisan. Ulama Sya>fi’iyyah mengemukakan bahwa hukum wasiat
menurut syar’i ada lima macam, yaitu pertama, wajib apabila wasiat itu
berhubungan dengan penunaian hutang atau pengembalian barang pinjaman dan
segala sesuatu yang berhubungan dengan hak manusia. Kedua, haram apabila
wasiat diberikan kepada seseorang yang suka melakukan mafsadah (kerusakan). Ketiga,
makruh apabila wasiat itu diberikan lebih dari sepertiga harta peninggalan
atau diberikan kepada ahli waris. Keempat, sunnah apabila wasiat itu
telah memenuhi segala persyaratan wasiat yang telah ditentukan dan tidak
termasuk ke dalam wasiat yang wajib, wasiat yang haram, atau wasiat yang
makruh, seperti wasiat kepada selain ahli waris yang layak mendapat wasiat
menurut pertimbangan logika, atau wasiat kepada fakir miskin dan lain-lain. Kelima,
mubah apabila wasiat yang diberikan kepada orang kaya.[28]
4.
Rukun
dan Syarat Sahnya Wasiat
Ibnu Rusyd dan al-Jaziri
mengemukakan bahwa rukun dan syarat sahnya suatu wasiat harus disandarkan
kepada empat hal, yaitu mu>s}i> (orang yang
berwasiat), mu>s}a>
lahu> (orang yang menerima wasiat), mu>s}a> bihi (barang yang
diwasiatkan) dan s}i>gat (redaksi
wasiat).[29]
Pertama, pemberi wasiat
(mu>s}i>). Pemberi wasiat
disyaratkan kepada orang dewasa yang cakap melakukan perbuatan hukum, merdeka
dalam pengertian bebas memilih dan tidak mendapat paksaan. Oleh karena itu,
orang yang dipaksa dan orang yang tidak sehat pikirannya tidak sah wasiatnya.[30]
Kedua, Penerima
wasiat (mu>s}a>
lahu>). Wasiat dapat ditujukan kepada orang
tertentu, baik kepada ahli waris maupun kepada bukan ahli waris. Namun, terjadi
perdebatan ulama apabila yang menerima wasiat adalah ahli waris. Adapun
penjelasannya dijelaskan pada sub bab wasiat kepada ahli waris. Secara umum
orang yang menerima wasiat adalah orang yang ahli tasaruf atau orang
yang memiliki cakap hukum terhadap harta yang telah diwasiatkan. Demikian juga,
wasiat dapat ditujukan kepada yayasan atau lembaga sosial, kegiatan keagamaan,
dan semua bentuk kegiatan yang tidak menentang agama Islam.
Ketiga, Harta atau
barang yang diwasiatkan (mu>s}a> bih). Harta atau
barang yang diwasiatkan disyaratkan sebagai harta yang dapat diserahterimakan
hak pemilikannya dari pemberi wasiat kepada penerima wasiat. Oleh karena itu,
tidak sah mewasiatkan harta atau barang yang belum jelas statusnya. Selain itu,
harta yang diwasiatkan mempunyai nilai yang jelas atau bermanfaat bagi penerima
wasiat, bukan harta atau barang-barang yang diharamkan atau yang akan membawa
kemadharatan bagi penerima wasiat.[31]
Keempat, s}i>gat wasiat. S}i>gat wasiat bisa
menggunakan kata yang jelas atau kinayah, dikarenakan wasiat dapat menggunakan
tulisan tanpa memerlukan jawaban (qabul) secara langsung. Para ulama berbeda
pendapat tentang qabul sebagai syarat sahnya wasiat. Imam Malik
berpendapat bahwa qabul merupakan syarat sah. Hal ini dikarenakan wasiat
dianalogikan dengan hibah. Imam al-Syafi’i berpendapat bahwa qabul bukan
merupakan syarat sahnya wasiat. Sedangkan Imam Abu Hanifah dan kedua muridnya,
Abu Yusuf dan al-Syaibani bahwa qabul itu harus dilakukan, karena wasiat
adalah tindakan ikhtiyariyah, maka qabul menjadi penting adanya.[32]
Pelaksanaan wasiat sangat
diperlukan karena ada kepastian hukum dalam pengalihan harta melalui wasiat.
Pasal 195 Kompilasi Hukum Islam menetapkan perlunya pengaturan tentang wasiat
dan mengatur pelaksanaannya:
a.
Wasiat dilakukan secara lisan
dihadapan dua orang saksi, atau tertulis dihadapan dua orang saksi, atau
dihadapan notaris.
b.
Wasiat hanya diperbolehkan
sebanyak-banyaknya sepertiga dari warisan kecuali apabila semua ahli waris
menyetujui.
c.
Wasiat kepada ahli waris hanya
berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris.
d.
Pernyataan persetujuan pada ayat
(2) dan (3) pasal ini dibuat secara lisan di hadapan dua orang saksi atau
tertulis di hadapan dua orang saksi atau di hadapan notaris.
5.
Batas
Pelaksanaan Wasiat
Wasiat hanya
berlaku dalam batas sepertiga dari harta warisan, manakala terdapat ahli waris,
baik wasiat itu dikeluarkan ketika dalam keadaan sakit ataupun sakit. Adapun
jika melebihi sepertiga harta warisan, menurut kesepakatan seluruh mazhab,
membutuhkan izin dari para ahli waris. Jika semua mengizinkan, wasiat itu
berlaku. Tapi jika mereka menolak, maka batal wasiat. Tetapi jika sebagian dari
mereka mengizinkan, sedang sebagian lainnya tidak, maka kelebihan dari
sepertiga itu dikeluarkan dari harta yang mengizinkan, dan izin seorang ahli
waris baru berlaku jika ia berakal sehat, baligh, dan rasyid.[33]
Mazhab
Hanafiyyah mengatakan bahwa jumlah sepertiga itu dihitung pada saat harta
warisan dibagikan dan setiap penambahan atau kekurangan dari harta peninggalan
si pewaris berpengaruh pada penerimaan ahli waris dan penerima wasiat. Imam
Malik mengatakan hal tersebut dihitung dari sebatas harta yang dapat diketahui
saja. Imam Ahmad Ibn Hanbal dan Imam al-Syafi’i mengatakan bahwa sepertiga
wasiat tersebut dihitung saat meninggalnya orang yang memberi wasiat. Mazhab
Imamiyah mengatakan bahwa hal ini dihitung pada saat pembagian harta warisan
dilaksanakan dari semua harta yang menjadi milik si pewaris.[34]
Ketentuan yang menetapkan bahwa wasiat hanya
dibenarkan maksimal sepertiga harta yang dimiliki si pewaris adalah sejalan
dengan Kompilasi Hukum Islam. Dalam pasal 201 Kompilasi Hukum Islam ditegaskan
bahwa wasiat tidak boleh lebih dari sepertiga harta yang dimiliki dari si
pewaris, apabila wasiat melebihi sepertiga dari harta yang dimiliki itu maka
harus ada persetujuan ahli waris, jika mereka tidak menyetujuinya, maka wasiat
harus dilaksanakan hanya sampai batas sepertiga saja dari seluruh harta warisan
yang ditinggalkan oleh pewaris.
[1]Ahmad
Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, Yogyakarta: Pondok Pesantren
al-Munawwir, t.t, h. 1669.
[3]
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1994, hlm. 1126.
[4]
‘Abdur Rahma>n al-Jazi>ri>, al-Fiqh ‘ala Maza>hib al-Arba’ah, juz
3, Beirut: Da>r Kutub al-‘Ilmiyah, 2003, h. 277.
[5]
Irma Devita Purnamasari, Panduan Lengkap Hukum Praktis Populer: Kiat-kiat
Cerdas, Mudah, dan Bijak Memahami Masalah Hukum Waris, Bandung: Kaifa,
2012, h. 48-49.
[7]
Wahbah az-Zuhailiy, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, Damaskus: Dar
al-Fikr, 2002, juz. 10, h. 7438.
[8]
Alumnus UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedia al-Qur’an & Hadis Pertema,
cet. Ke-2, Jakarta: Niaga Swadaya, 2012, h. 1239
[10]
Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir, Jilid 1, terj. Abdul Hayyie, dkk,
Jakarta: Gema Insani, 2013, h. 368.
[12]
A.A. Dahlan & M. Zaka Alfarisi, Asbabun Nuzul; Latar Belakang Historis
Turunnya Ayat-ayat al-Quran, Bandung: Penerbit Diponegoro, 2000, h. 84.
[13]
Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Wasith Jilid 1(al-Fa>tih}ah}- at-Taubah), terj.
Muhtadi, dkk, Jakarta: Gema Insani, 2012, h. 121.
[14]
Abu Abdillah Muhammmad al-Bukhary, Ṣahīh al-Bukhāry, Juz
2. Semarang: Maktabah al-Munawwir, t.t, h. 124.
[15]
Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abdul Hadi al-Maqdisi, Ensiklopedi
Hadis-hadis Hukum, Jakarta: Darus Sunnah, 2013, h. 1065.
[16]
Syaikh Sulaiman Ahmad Yahya al-Faifi, al-Wajiz fi Fiqh al-Sunnah as-Sayyid
Sabiq, terj. Tirmidzi, Futuhal Arifin, & Farhan Kurniawan, Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 2013, h. 956.
[17] Muhammad ibn ‘Isa ibn Saurah ibn Musa ibn
al-Dluhak al-Tirmidzi Abu ‘Isa, Sunan al-Tirmidzi, h. 491.
[26] Fatchur Rahman, Ilmu Waris,
h. 54 lihat juga Abdullah Siddik, Hukum Waris Islam dan Perkembangannya di
Seluruh Dunia Islam, h. 213.
[27]
Abū Muhammad ‘Ali ibn Ahmad ibn
Sa’id ibn Hazm al-Andalusi, al Muhalla
bi al-Atsar, h. 349, lihat juga Abū Muhammad ‘Ali ibn Ahmad ibn Sa’id ibn Hazm
al-Andalusi, al Muhalla fi Syarh al-Mujalla bi al-Hujaj wa
al-Atsa>r, :Bait al-Afka>r al-Daulah, 2003, h.
1503.
[29]
Muhammad Jawad al-Mughniyah al-Fiqh
‘ala Madzahib al-Khamsah, terj. Afif Muhammad, Jakarta: Basrie Press, 1994,
h. 238.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar