Sabtu, 07 April 2018

Sejarah Kodifikasi Ulum al-Hadits dari Masa Nabi sampai tabi'in




ULUMUL HADITS
A.    Sejarah Ulumul Hadits
Para ulama memberikan istilah –istilah yang berbeda-beda terhadap ilmu yang berkaitan ilmu hadis. Diantara istilah yang digunakan ialah ulum al-hadits, ulum ushul al-hadits, ilmu mushtalah al-hadits. Kesemuanya pada dasarnya mengandung pengertian tentang masalah pokok yang dibahas dalam ilmu itu. Sedangkan menurut Hasbi as-Shiddieqy pada masa mutaqaddimin dinamakan dengan ulum al-Hadits dan pada masa mutaakhirin terkenal dengan ilmu mushtallah. Karena pentingnya hadits tersebut dalam ajaran Islam, kajian-kajian haditspun semakin lama semakin meningkat. Jika ditelusuri dalam sejarah sebetulnya upaya penjagaan atas hadits sudah dimulai sejak masa sahabat dimana setiap sahabat yang menerima hadis dilakukan dengan selektif. Hal ini untuk menjaga keautentikan hadits itu sendiri. Bersamaan dengan penyalinan dan pengkodifikasian hadits timbullah upaya untuk mengkajinya dalam ilmu khusus yang kemudian dikenal dengan Ulumul Hadits. Kajian-kajian terhadap hadits pun tidak pernah surut dilakukan bahkancenderug semakin meningkat seiring perkembangan zaman.[1]
Al-Qur’an adalah sumber pertama syariat Islam dan hadis adalah sumber kedua. al-Sunnah merupakan penjelas Alquran, pemerinci hukum-hukumnya, dan mengeluarkan furū’ cabang dari ushūl pokoknya. Alquran adalah petunjuk bagi umat Islam. Petunjuk-petunjuk Al-Qur’an merupakan dasar-dasar pokok yang bersifat ijmali. Hanya hokum faraidh yang dijelaskan secara tafshīli (detail). Di samping itu, Al-Qur’an yang ijmāli serta ayat-ayatnya yang mutasyābih memerlukan penjelasan.
Pada waktu Rasul Allah masih hidup, para sahabat yang menemukan suatu permasalahan atau menginginkan suatu penjelasan mengenai suatu ayat, langsung bertanya kepada Rasul. Rasul menjelaskannya baik melalui perkataan, perbuatan atau taqrir. Setelah Rasul wafat, para sahabat berpegang kepada penjelasan Rasul. Penjelasan ini kemudian dikenal dengan nama hadis. Abdul Majid Khon menyatakan bahwa “fungsi hadis terhadap Alquran secara umum adalah untuk menjelaskan (li al-bayān) makna kandungan Alquran yang sangat dalam dan global.[2]Perkembangan situasi politik dan pertarungan kepentingan antar golongan sangat tajam setelah Rasul wafat. Masing-masing golongan berupaya membuat argumentasi untuk memperkuat posisinya dengan menyatakan suatu hadis yang disandarkan kepada Rasul dan sebenarnya tidak demikian. Bahkan ada yang dengan sengaja membuat hadis palsu.
Para ulama berusaha untuk memelihara kemurnian hadis Nabi saw. dari pemalsuan. Mereka berusaha keras berinisiatif menyeleksi secara ketat riwayat-riwayat yang dikaitkan dengan Rasul. Mereka berusaha menjaga keagungan ajaran agama supaya tidak bercampur baur dengan kepentingan pribadi dan golongan yang dapat merusak keyakinan dan sendi-sendi kehidupan kaum muslimin.Para ulama menetapkan berbagai syarat yang ketat dalam menyeleksi seluruh riwayat yang dikaitkan dengan Nabi saw. Syarat-syarat itu kemudian menjadi kaedah dan aturan yang digunakan dalam menerima sebuah riwayat. Aturan-aturan tersebut kemudian menjadi satu disiplin ilmu tersendiri yang disebut dengan ‘Ulūm al-Hadīs yang tertulis dalam berbagai buku karangan para ulama. Sampai sekarang, ‘Ulūm al-Hadīs menjadi pegangan pokok untuk menetapkan derajat kualitas suatu hadis yang dapat dijadikan dasar penetapan suatu hukum syar’i.
B.    Perkembangan Ulumul Hadits Masa Rasulullah SAW
Sejumlah data sejarah menunjukan bahwa pada periode Nabi saw telah ditulis beberapa dokumen hadis. Bahkan, berseberangan dengan pendapat yang dominan, sebenarnya dokumentasi hadis yang bersifat resmi, namun belum bersifat publik, pada dasarnya telah dimulai sejak periode Nabi saw. Banyak sumber yang menjelaskan tentang adanya dokumen-dokumen hadisyang dibuat secara resmi berdasarkan intruksi dan inisiatif Nabi saw, khususnya dalam kapasitas beliau sebagai kepala negara atau pemimpin masyarakat. Selain itu pada saat yang sama juga ditulis beberapa dokumen hadis oleh sahabat-sahabat tertentu atas inisiatif mereka sendiri.[3]
Benih-benih ilmu hadis telah tumbuh sejak zaman Rasulullah saw. sejalan dengan diwurudkannya hadis-hadis kepada para sahabatnya. Hal ini dapat dilihat misalnya bagaimana para sahabat dapat melihat adanya kedustaan yang disampaikan oleh seseorang yang mengatasnamakan Rasul saw. Rasul juga telah menetapkan beberapa aturan, bagaimana seharusnya hadis itu diterima dan disampaikan kepada yang lainnya, seperti juga Rasul menyampaikan hadis-hadis tertentu kepada orang-orang tertentu, dengan cara-cara yang tertentu pula.[4]
Sesuai dengan perkembangan hadis, ilmu hadis selalu mengiringinya sejak masa Rasulullah saw. sekalipun belum dinyatakan sebagai ilmu secara eksplisit. Pada masa Nabi masih hidup di tengah-tengah sahabat, hadis tidak ada persoalan karena jika menghadapi suatu masalah atau skeptis dalam suatu masalah, mereka langsung bertemu dengan beliau untuk mengecek kebenarannya. Pemalsuan hadis pun tidak pernah terjadi menurut pendapat ulama ahli hadis.[5]Sekalipun pada masa Nabi tidak dinyatakan adanya ilmu hadis, tetapi para peneliti hadis memperhatikan adanya dasar-dasar dalam Alquran dan hadis Rasulullah saw. Misalnya anjuran pemeriksaan berita yang datang dan perlunya persaksian yang adil. Firman Allah dalam QS. Al-Hujurat (49): 6:
يآَ اَيُّهَا الَّذِينَ اٰمَنُوْٓا اِنْ جَٓاءَ كُمْ فَاسِقٌ بِنَبَاٍ فَتَبَيَّنُوٓا اَنْ تُصِيْبُوا قَوْمًا بِجَهَا لَۃٍ فَتُصْبِحُوا عَلٰي مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.[15]

Demikan pula dalam QS. Al-Baqarah (2): 282:

وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيْدَيْنِ مِنْ رِجَا لِكُمْ ۚ   ۚ  فَاِنْ لَمْ يَكُوْ نَارَ جُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَاَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَٓاءِ اَنْ تَضِلَّ اِحْدٰ هُمَا الاُخْرٰي ۗ ...

Terjemahnya:

Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya.[16]



QS. Ath-Thalaq (65): 2

.وَ اَشْهِدُوا ذَوَیْ عَدْلٍ مِنْكُمْ....
Terjemahnya:

“…dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu…”[17]

Ayat-ayat di atas menunjukkan pemberitaan dan persaksian orang fasik tidak diterima. Muslim mengatakan, sekalipun pemberitaan dan persaksian tidak sama pengertiannya, tetapi dalam beberapa hal mempunyai arti yang sama. Jika berita yang dibawa orang fasik tidak diterima oleh ahli ilmu demikian juga persaksiannya juga ditolak oleh mereka. Ayat-ayat di atas berarti perintah memeriksa, meneliti, dan mengkaji berita yang dating dibawa seorang fasik yang tidak adil. Tidak semua berita yang dibawa seseorang dapat diterima sebelum diperiksa siapa pembawanya dan apa isi berita tersebut. Jika pembawanya orang jujur, adil dan dapat dipercaya diterima, tetapi sebaliknya jika pembawa berita itu orang fasik, tidak objektif, pembohong dan lain-lain, maka tidak diterima karena akan menimpakan musibah terhadap orang lain yang menyebabkan penyesalan dan merugikan.[6]
Ada empat cara yang ditempuh oleh para sahabat untuk mendapatkan hadits Nabi Saw, yaitu:[7]
1.     Mendatangi majelis-majelis taklim yang diadakan Rasul Saw. Rasulullah Saw selalu menyediakan waktu-waktu khusus untuk mengajarkan ajaran-ajaraan islam kepada para sahabat.
2.     Kadang-kadang Rasul Saw sendiri menghadapi beberapa peristiwa tertentu, kemudian beliau menjelaskan hukumnya kepada para sahabat.  Apabila para sahabat yang hadir menyaksikan peristiwa tersebut banyak, maka berita tersebut akan segera tersebar luas. Namun, apabila yang hadir itu sedikit, maka Rasulullah Saw memerintahkan mereka yang hadir untuk memberitahukannya kepada sahabat yang tidak hadir.
3.     Kadang-kadang terjadi sejumlah peristiwa yang dialami para sahabat, kemudian mereka menanyakan hukumnya kepada Rasulullah Saw dan Rasulullah Saw memberikan fatwa atau penjelasan hukum tentang peristiwa tersebut.
4.     Terkadang para sahabat menyaksikan Rasulullah melakukan perbuatan, dan sering kali berkaitan dengan tata cara pelaksanaan ibadah.  Kemudian para sahabat yang melihatnya langsung menyampaikannya kepada yang lainnya atu generasi sesudahnya.



A.    Perkembangan Ulumul Hadits Masa Sahabat
Setelah Rasulullah meninggal, kondisi sahabat sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadis karena konsentrasi mereka kepada Alquran yang baru dikodifikasikan pada masa Abu Bakar tahap awal dan masa Utsman tahap kedua. Masa ini terkenal dengan masa taqlil ar-riwayah (pembatasan periwayatan), para sahabat tidak meriwayatkan hadis kecuali tidak disertai dengan saksi dan bersumpah bahwa hadis yang ia riwayatkan benar-benar dari Rasulullah saw. Pada masa awal Islam belum diperlukan sanad dalam periwayatan hadis karena orangnya masih jujur-jujur, saling mempercayai satu dengan yang lain. Tetapi setelah terjadinya konflik fisik (fitnah) antar relit politik yakni antar pendukung Ali dan Mu’awiyah dan umat berpecah menjadi beberapa sekte; Syi’ah, Khawarij, dan Jumhur Muslimin. Setelah itu mulailah terjadi pemalsuan hadis (hadis mawdhu’) dari masing-masing sekte dalam rangka mencari dukungan politik dari massa yang lebih luas.[8]
Melihat kondisi seperti hal di atas, para ulama bangkit membendung hadis dari pemalsuan dengan berbagai cara, di antaranya rihlah checking kebenaran hadis dan mempersyaratkan kepada siapa saja yang mengaku mendapat hadis harus disertai dengan sanad. Sebagaimana ungkapan ulama hadis ketika dihadapkan suatu periwayatan: “Sebutkan kepada kami para-para pembawa beritamu”. Ibnu al-Mubarak berkata: “Isnad/sanad bagan dari agama, jikalau tidak ada isnad sungguh sembarang orang akan berkata apa yang dikehendaki”
Cara sahabat-sahabat Nabi saw. meriwayatkan hadits ada dua:[9]
1.     Adakalanya dengan lafal asli, yakni menurut lafal yang mereka terima dari Nabi itu.
2.     Adakalanya dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya bukan lafalnya, karena lafalnya yang asli lagi dari Nabi.
Memang mereka meriwayatkan hadits adakalanya dengan maknanya saja. Yang penting dari hadits adalah isi, bahasa, dan lafal boleh disusun dengan kata-kata lain, asal isinya telah ada dan sama.Berbeda dengan meriwayatkan Al-Qur’an, yakni harus dengan lafal dan maknanya yang asli dan sedikit pun tidak boleh diadakan perubahan dalam riwayat itu. Susunan lafal Al-Qur’an merupakan mu’jizat dari Allh tidak boleh diganti lafal-lafalnya walaupun dengan sinonimnya. Walaupun sama isinya, tetapi lain susunannya, tidak dibolehkan.
B.    Perkembangan Ulumul Hadits Masa Tabi’in
Pada masa tabi’in, ulama yang pertama kali menetapkan dasar-dasar ilmu hadis ialah Ibn Syihab az-Zuhri (51-124 H). Ini diperlukan, sehubungan dengan keahliannya dalam bidang hadis dan kedudukan dirinya sebagai pengumpul hadis, atas perintah resmi dari khalifah Umar bin Abd al-Azis. Dari sini ilmu hadis mulai terlihat wujudnya meskipun dalam bentuk kaidah-kaidah yang simpel dan sederhana. Di samping itu, Imam Al-Syafii menulis kitab al-Risalah yang mengulas kriteria hadis yang dapat dijadikan hujjah. Kitab al-Risalah merupakan kitab ‘Ulum al-Hadis yang pertama.


[1]. Alfatih Suryadilaga, Ulumul Hadits, (Yogyakarta:  Teras,2010), hlm. 1-6
[2]. Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah, 2008), hlm. 16
[3]. Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin Hadis Dan Historigrafi Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm.107
[4]. Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), hlm. 87
[5]. Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah, 2008), hlm. 78
[6].  Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah, 2008), hlm. 79
[7].  Ahmad Izzan, Ulumul Hadits, (Bandung: Bandung, 2011), hal. 41
[8]. Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah, 2008), hlm.80
[9]. Ahmad Izzan, Ulumul Hadits, (Bandung: Bandung, 2011), hal. 39

Tidak ada komentar:

Posting Komentar