1. Pengertian shīghat
akad
Shīghat akad adalah ijab dan qabūl.
Ijab secara umum
diartikan sebagai apa yang muncul pertama kali dari salah satu pelaku akad, sedangkan
qabūl adalah apa yang muncul berikutnya dari pelaku akad kedua
sebagai tanggapan atas ijab.[1] Dalam konteks pernikahan, ijab difahami
sebagai ucapan wali atau yang mewakili untuk menikahkan perempuan (mempelai
perempuan) yang berada di bawah perwaliannya,[2]
baik berupa kata-kata, tulisan, atau isyarat yang mengungkapkan adanya
keinginan terjadinya akad. Sedangkan qabūl adalah pernyataan yang datang
dari pihak kedua baik berupa kata-kata, tulisan, atau isyarat yang
mengungkapkan persetujuan dan ridhanya.
Ijab tak harus
muncul dari pihak perempuan, jika pihak laki-laki mengucapkan pertama kepada
wali perempuan; “aku nikahi putrimu atau nikahkan aku dengan putrimu bernama
Fulanah”. Wali menjawab:”iya, aku nikahkan kamu dengan putriku, atau aku
terima”. Maka ucapan pertama dinamakan ijab dan ucapan kedua adalah
kabul. Dengan kata lain,
ijab adalah bentuk ungkapan baik yang memberikan arti akad atau transaksi,
dengan catatan jatuh pada urutan pertama. Sedangkan kabul adal bentuk ungkapan
untuk menjawab yang jatuh pada pihak kedua dari pihak mana saja. [3]
2. Syarat shīghat
Ulama telah bersepakat dalam
menjadikan shīghat akad (ijab dan qabūl) sebagai rukun dalam perkawinan.[4] Para ulama fiqih secara garis besar
mensyaratkan tiga hal dalam melakukan ijab qabūl:
a.
Jalā` al-ma’na, yaitu tujuan yanag terkandung dalam pernyataan itu jelas, sehingga dapat
dipahami jenis akad yang dimaksud;
b.
Tawāfuq,
yaitu adanya kesesuaian antara ijab dan qabūl; dan
c.
Jazm al-irādatain, yaitu antara ijab dan qabūl menunjukkan
kehendak para pihak secara pasti, tidak ragu, dan tidak terpaksa;[5]
Dan secara
spesifik, dalam buku Al-usrah wa ahkāmuhā fi at-tasyrī’ al-Islāmy, para
ulama memberikan beberapa persyaratan yang dijadikan patokan untuk menentukan
keabsahan sebuah akad nikah. Syarat-syarat yang dimaksud adalah sebagai
berikut:[6]
a.
Shīghat akad berbentuk kata
kerja (fi’il)
b.
Menggunakan lafal yang jelas maknanya
Bisa menggunakan lafal yang jelas (shorīh) yang
menunjukkan makna pernikahan secara hakiki, seperti nikāh, tazwīj, dan
akar kata dari keduanya. Bisa juga menggunakan lafal kiasan (majāz) yang
maksudnya ditunjukkan oleh indikator kondisi, misalnya kata hibah (pemberian),
shadaqoh, pemilikan, dan hadiah; kata-kata ini tidak membuat sahnya akad nikah
kecuali disertai indikasi yang memberi makna pernikahan, seperti diucapkan di
majelis akad nikah.
Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat tidak sah akad nikah
kecuali dengan menggunakan lafal nikāh atau zawāj atau akar kata
dari keduanya. Alasannya, karena kedua lafal inilah yang datang langsung dari Asy-Syāri’
yang digunakan untuk menunjuk akad nikah yang agung ini.
Hanafiyah memperbolehkan penggunaan kata, semisal hibah.
Karena lafal hibah yang diartikan ‘pernikahan’ juga terdapat dalam al-Quran,
yaitu Qs. Al-Ahzāb: 50.
.....وَٱمۡرَأَةٗ
مُّؤۡمِنَةً إِن وَهَبَتۡ نَفۡسَهَا لِلنَّبِيِّ إِنۡ أَرَادَ ٱلنَّبِيُّ أَن
يَسۡتَنكِحَهَا خَالِصَةٗ لَّكَ مِن دُونِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَۗ.... ٥٠
....dan perempuan mukmin yang
menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai
pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin. (Qs. Al-Ahzāb: 50).
Menurut Malikiyah, secara khusus shīghat akad
nikah mempunyai tiga bentuk, yaitu lafal nikāh, tazwīj, dan hibah.
Tetapi lafal hibah wajib dibarengi penyebutan mahar (maskawin) tertentu.
c. Materi
dari ijab qabūl tidak boleh berbeda, seperti nama si perempuan
dengan lengkap dan bentuk mahar yang disebutkan.
d. Ijab dan qabūl harus
diucapkan secara bersambungan
Maksudnya, ijab dan qabūl diucapkan dalam
majelis yang sama (ittihād al-majlis) untuk mencapai keterpautan antara
keduanya.
Maksud ketersambungan di sini bukanlah kabul segera
diucapkan setelah ijab, tetapi tidak ada pemisah antara keduanya yang
menunjukkan adanya keberpalingan.
e.
Tidak meralat ijab sebelum kabul
Karena jika pihak ijab meralat sebelum qabul-nya pihak
lain, berarti ia membuang ijab. Jika datang kabul setelah itu, berarti ia
datang tanpa ijab.
f.
Ijab dan qabūl tidak boleh dengan menggunakan ungkapan
yang bersifat membatasi masa berlangsungnya perkawinan, karena perkawinan itu
ditujukan untuk selama hidup.[7]
Berkenaan dengan ittihād
al-majlis, Abdurrahman Al Jaziri mengatakan bahwa keempat ulama madzhab
sepakat akan keharusannya.[8]
Dengan demikian, apabila ijab dan qabūl tidak bersatu antara
majelis yang mengucapkan ijab dengan majelis yang mengucapkan qabūlnya,
akad nikah dianggap tidak sah.
Dalam keterangan
yang lain, Wahbah Zuhaili juga memberikan penjelasannya mengenai ittihād
al-majlis dalam akad pernikahan ini. Ia mengatakan bahwa akad harus
dilakukan dalam satu majelis, jika kedua belah pihak hadir. Jika ijab dan kabul
tersebut dilakukan dalam majelis yang berbeda maka akad belum terlaksana. Jika
seorang mempelai perempuan berkata; “aku nikahkan dirimu dengan diriku,” atau
seorang wali berkata; “aku nikahkan dirimu dengan putriku,” lantas pihak
mempelai laki-laki berdiri sebelum mengucapkan kata kabul, atau menyibukkan
diri dengan melakukan perbuatan yang menunjukkan berpaling dari majelis, lantas
setelah itu baru mengatakan, “aku terima”, maka akad tersebut tidak sah menurut
Hanafiyah. Ini menunjukkan bahwa sekedar berdiri saja dapat dianggap
membubarkan majelis. Demikian juga berlaku jika pihak pertama meninggalkan
majelis setelah mengucapkan kalimat ijab, lantas pihak kedua mengucapkan kabul
di dalam majelis di saat pihak pertama tidak ada atau setelah kembalinya, maka
yang demikian itu juga tidak sah.
Menurut Hanafiyah,
majelis dianggap bubar dengan hanya berjalan dua langkah, tidurnya salah satu
pihak ataupun keduanya dengan idlthijā’ (tidur berbaring) bukan duduk.
Akan tetapi hanafiyah tidak mensyaratkan untuk menyegerakan pengucapan kabul
setelah ijab. Akad nikkah tetap sah sekalipun majelis akad dilangsungkan dalam
waktu yang lama.
Patokan utama yang
disebut satu majelis adalah menurut adat-istiadat. Tindakan apapun yang oleh
adat dianggap berpaling dari akad, atau pemisah antara kalimat ijab dan kabul,
dapat menubah status majelis akad.
Sedangkan menurut
Jumhur disyaratkan untuk menyegerakan kalimat qobul, sekiranya tidak ada jeda
waktu yang lama. Para ulama’ Syafi’iyah mengatakan; “disyaratkan agar jeda
waktu antaraa ijab dan kabul tidak lama, jika lama dianggap telah merusak akad.
Parameternya adalah waktu yang mengidikasikan keengganan pihak kedua untuk
mengucapkan kabul. Maka dari itu, syafi’iyah memaafkan jeda yang sebentar
karena dianggap tidak termasuk keengganan.
Perkataan lain yang
diucapkan diantara ijab dan qabul juga dianggap dapat merusak akad, sekalipu
diucapkan sebentar dan kedua pihak masih berada dalam majelis akad yang sama.
Karena hal itu dianggap berpaling dari pengucapan kabul. Adapun ketika dalam
kondisi salah satu pihak tidak bisa hadir dalam majelis akad, dan dilakukan
dengan perantara tulisan atau utusan, maka para ulama Hanafiyah berkata:
“majelis akad adalah majelis pembcaan tulisan atau mendengar perkataan seorang
utusan yang harus sama dengan perkataan orang yang mengutusnya. Membaca tulisan
dan mendengarkan perkataan utusan sama halnya dengan mendengar orang yang
menulis dan orang yang mengutus.
Jika tulisan tersebut tidak dibacakan atau perkataan
utusan tidak didengarkan maka akad nikah tidak sah. Itu karena dalam ijab dan
kabul disyaratkan adanya persaksian. Jika perempuan membaca tulisan tersebut
atau mendengar perkataan utusan di depan para saksi, kemudian dia berdiri dari
majelis untuk menunaikan kepentingan yang lain, atau sibuk berbicara
setelahnya, maka tidak sah.[9]
[1] Abdul Karim Zaidan, al-Madkhal li Dirāsah asy-Syarī’ah
al-Islāmiyah, Beirut: Mu`assasah ar-Risālah, Cet. Ke-14, 1418 H/1996 M,
hlm. 242.
[2] Wahbah
Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Damaskus: Dār Al-Fikr, Cet
Ke-2, Juz VII, 1405 H/1985 M, hlm. 37. Abdurrahman al-Jaziry, al-Fiqh ‘ala
Madzāhib al-Arba’ah, Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, Juz IV, Cet. Ke-2,
1424 H/2003 M, hlm. 16.
[3]
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Al-Usrah Wa
Ahkāmuhā Fi At-Tasyrī’ Al-Islāmy, terj.
Abdul Majid Khon, Jakarta: Amzah, Cet. Ke-2, 2011, hlm. 59-60.
[4]
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami . . . . . ., Juz VII, hlm. 36. Abdurrahman
al-Jaziry, al-Fiqh ‘ala Madzāhib al-Arba’ah, Juz IV, hlm. 16.
[6] Abdul Aziz
Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Al-Usrah Wa Ahkāmuhā Fi
At-Tasyrī’ Al-Islāmy, terj. Abdul
Majid Khon, hlm. 60-80.
[9] Wahbah
Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Terj. Abdul Hayyie
al-Kattani, dkk. Depok: Gema Insani, Jilid IX, 2007 M, hlm. 56-57.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar