Rabu, 11 April 2018

Hukum Fasakh Karena Cacat dalam Pernikahan


Hukum Fasakh karena Cacat dalam Pernikahan

1.      Pengertian Fasakh Nikah
Batalnya perkawinan atau putusnya perkawinan disebut juga dengan fasakh. Pengertian secara etimologi kata "fasakh" berasal dari bahasa Arab فسخ sinonim dengan lafadz فسد berarti rusak.[1] Adapun fasakh secara terminologi ada beberapa pendapat menurut kalangan ulama’, diantaranya menurut Imam Syafi’i, bahwa fasakh adalah semua pemutusan ikatan suami istri yang tidak disertai oleh thalak, baik thalak satu, dua, ataupun tiga.[2]
Fuqa>ha’ dari kalangan H}anafiyyah tidak membedakan antara cerai dengan thalak dan cerai dengan fasakh. Mereka berkata: Semua perceraian yang datang dari pihak suami dan tidak ada tanda-tanda datang dari perempuan, maka perceraian dinamakan talak, dan semua perceraian yang asalnya dari pihak istri dinamakan fasakh.[3]
Sedangkan menurut Sayyid Sa>biq dijelaskan
فسخ العقد: نقضه، وحل الرابطة التي تربط بين الزوجين
Artinya: Fasakh adalah membatalkannya dan melepaskan ikatan pertalian antara suami-isteri.[4]

Menurut pendapat yang lain mengenai pengertian fasakh adalah rusak atau putusnya hubungan pernikahan melalui pengadilan karena adanya tuntutan hak yang tidak terpenuhi setelah akad berlangsung, hal ini bisa terjadi karena adanya penyakit yang muncul setelah akad, sehingga menyebabkan tidak terciptanya tujuan utama dari perkawinan.[5]

2.      Penyebab Fasakh Nikah
Dalam pernikahan bisa terjadi beberapa faktor yang bisa menyebabkan putusnya ikatan suami isteri. Sehingga dengan alasan tersebut, hubungan suami isteri berakhir, baik ada kemungkinan untuk dilanjutkan maupun tidak. Adapaun diantara faktor penyebabnya adalah:
1.      Fasakh  karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi ketika akad nikah.
a.      Setelah akad nikah ternyata diketahui bahwa istrinya adalah saudara kandung atau saudara sesusuan pihak suami.
b.      Suami istri masih kecil, kemudian setelah dewasa ia berhak meneruskan ikatan pernikahannya atau mengakhirinya. Cara seperti ini disebut khiya>r  baligh, jika yang dipilih mengakhiri ikatan suami istri, maka hal ini disebut fasakh balig.
2.      Fasakh karena hal-hal yang datang setelah akad.
a.      Jika seorang suami murtad atau keluar dari agama Islam dan tidak mau kembali sama sekali, maka akadnya batal (fasakh) karena kemurtadan yang terjadi belakangan.
b.      Jika suami yang tadinya kafir masuk Islam, tetapi istri masih tetap dalam kekafirannya, yaitu tetap menjadi musyrik, maka akadnya batal (fasakh). Lain halnya kalau istrinya ahli kitab. Maka akadnya tetap sah sepertisemula. Sebab perkawinannya dengan ahli kitab dari semula dipandang sah.
c.      Karena ada bala>’ (penyakit belang kulit)
d.      Karena penyakit kusta
e.      Karena ada penyakit menular, seperti sipilis, TBC dan lain sebagainya.
f.       Karena ada daging tumbuh pada kemaluan perempuan yang menghambat maksud perkawinan (bersetubuh).[6]

3.      Dasar Hukum Fasakh Nikah Karena Cacat
Adapun dasar hukum yang bisa dijadikan pijakan tentang fasakh nikah karena cacat yaitu beberapa hadits diantaranya adalah:
وَعَنْ زَيْدِ بْنِ كَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ: «تَزَوَّجَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - الْعَالِيَةَ مِنْ بَنِي غِفَارٍ، فَلَمَّا دَخَلَتْ عَلَيْهِ وَوَضَعَتْ ثِيَابَهَا، رَأَى بِكَشْحِهَا بَيَاضًا، فَقَالَ النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: الْبَسِي ثِيَابَك، وَالْحَقِي بِأَهْلِك، وَأَمَرَ لَهَا بِالصَّدَاقِ» رَوَاهُ الْحَاكِمُ[7]
Artinya: Dari Zaid bin Ka’ab bin Ujrah dari ayahnya ra, ia berkata: Rasulullah SAW kawin dengan Aisyah seorang perempuan Bani G}ifa>r dan setelah ia masuk pada beliau ia meletakkan pakaiannya, beliau melihat penyakit kudis antara pusar dan pinggangnya, maka beliau bersabda: pakailah kainmu dan pulanglah keahlimu dan beliau menyuruh memberikan mas kawinnya. (HR: akim)

وَعَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ: أَيُّمَا رَجُلٍ تَزَوَّجَ امْرَأَةً فَدَخَلَ بِهَا فَوَجَدَهَا بَرْصَاءَ، أَوْ مَجْنُونَةً، أَوْ مَجْذُومَةً فَلَهَا الصَّدَاقُ بِمَسِيسِهِ إيَّاهَا، وَهُوَ لَهُ عَلَى مَنْ غَرَّهُ مِنْهَا أَخْرَجَهُ سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ، وَمَالِكٌ، وَابْنُ أَبِي شَيْبَةَ. وَرِجَالُهُ ثِقَاتٌ.[8]
Artinya: Dari Sa’id bin Musayyab bahwa Umar bin Khatta>b r.a berkata. Bilamana seorang laki-laki menikahi seorang perempuan, lalu dari diri perempuan itu terdapat penyakit barash, gila, kusta, atau bulak, lalu disetubuhinya perempuan itu, maka hak baginya menikahi dengan sempurna (mahar sempurna). Dan yang demikian itu hak bagi suaminya utang atas walinya.” Hadits diriwayatkan oleh Sa’id bin Mans}u>r, Ma>lik, dan Ibnu Abi Syaibah. Dan perawinya terpercaya
وَقَالَ: - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «فِرَّ مِنْ الْمَجْذُومِ فِرَارَك مِنْ الْأَسَدِ»  رواه البخاري[9]
Artinya:“Larilah kamu dari penyakit kusta, sebagaimana kamu lari daripada singa” (HR. al-Bukhari).

Beberapa hadits di atas merupakan dasar adanya hak khiya>r untuk memilih meneruskan atau mengakhiri perkawinan dengan cara fasakh maupun talak, dengan alasan karena cacat tersebut menghalangi tujuan utama dari perkawinan. Maka, yang demikian itu salah satu pihak pasangan suami isteri diperbolehkannya mengajukan khiya>r dengan cara talak atau fasakh.
Pembatalan perkawinan juga mempunyai dasar hukum yang tegas di Indonesia yang diatur dalam pasal 22 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, bahwa: ”Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”.
Selain pasal 22 UU Nomor 1 tahun 1974 di atas, juga diatur dalam pasal 24 disebutkan bahwa: Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 1ayat (2) dan pasal 4 undang-undang ini.[10]
Ketentuan normatif tentang pembatalan perkawinan yang terdapat dalam undang-undang perkawinan ditemukan celah atau kesenjangan antara apa yang das sollen (yang ideal) dengan apa yang das sein (yang senyatanya).[11] Adapun mengenai tata cara pengajuan pembatalan perkawinan yaitu terdapat juga dalam Kompilasi Hukum Islam BAB XI tentang pembatalan perkawinan yaitu dalam pasal 74:

1.      Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal suami atau isteri atau perkawinan dilangsungkan.
2.      Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan Pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.[12]
      Pernyataan di atas menunjukkan kuatnya dasar hukum pembatalan perkawinan dalam undang-undang perkawinan yang berlaku di Indonesia, yaitu Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan dalam KHI pasal 74.

4.      Macam-macam Cacat
Seperti yang telah penulis kemukakan di awal, bahwa di antara penyebab pembatalan nikah setelah akad adalah adanya cacat atau penyakit yang di derita oleh salah satu pasangan suami isteri. Dengan alasan bahwa penyakit yang di deritanya itu menjadikan sebab penghalang dari tujuan utama pernikahan. Seperti yang dijelaskan oleh Ali asballah dalam kitab al Furqatu Baina al Zaujaini yaitu:
العيب نقص بدني او عقلي في احد الزوجين يمنع من تحصيل مقاصد الزواج والتمتع بالحياة الزوجية
Artinya: Aib adalah kurangnya anggota badan atau akal pada salah satu pasangan suami istri yang bias menghalangi tujuan pernikahan dan memperoleh kesenangan dalam kehidupan rumah tangga.[13]

Para ulama fiqih membedakan diantara penyakit yang bisa menyebabkan diperbolehkannya memfasakh nikah, yaitu:
a.    Penyakit atau cacat yang khusus diderita oleh laki-laki.
                            1.        Jabb/pengebirian, yaitu yaitu memotong alat kelamin (penis) dan kedua   testisnya. Menurut mayoritas ulama, cacat fisik akibat pemotongan kedua organ reproduksi ini bernilai sama dengan hanya memotong penis saja.
                            2.        ‘Unnah/impotensi, yaitu penyakit yang menyebabkan seorang laki-laki yang menyandangnya tidak mampu melaksanakan tugas seksualnya, dalam keadaan seperti itu, menurut pendapat seluruh mazhab istri dapat membatalkan perkawinan.[14]
                            3.        Khus}a’, yaitu menurut mayoritas ulama memotong, meremukan atau mencabut kedua testis, tanpa memotong penis. Sementara itu mazhab Maliki berpendapat bahwa khusha’ adalah memotong penis tanpa memotong testis.
b.   Penyakit atau cacat yang secara khusus diderita oleh wanita
1.   Ratq, yaitu tersumbatnya liang senggama sehingga tidak dapat difungsikan untuk melakukan hubungan intim, gangguan organ seksual jenis ini bisa jadi disebabkan oleh sempitnya lubang vagina atau banyaknya tumpukan daging pada daerah ini.
2.   Qarn, yaitu adanya sesuatu yang menonjol dan menyumbat liang vagina sehingga menghalangi aktifitas hubungan intim. Benda menonjol ini bisa jadi berbentuk daging ataupun tulang.
3.   Afal, yaitu munculnya busa dalam vagina yang terjadi ketika melakukan hubungan seksual.
4.   Ifd}>a’, yaitu tercampurnya liang senggama dengan saluran kencing, atau tercampurnya liang senggama dengan saluran anus.
c.    Penyakit atau cacat yang diderita laki-laki dan wanita
1.   Gila, bahwa dengan adanya aib ini Maliki, Syafi’i, dan ambali sepakat suami boleh memfasakh akad pernikahan karena penyakit gila yang diderita istrinya, demikian pula sebaliknya.[15]
2.   Penyakit Lepra (juz|am) yaitu cacat yang terjadi akibat penyebaran bercak hitam pada sekujur tubuh. Penyakit ini merusak resam dan organ tubuh. Besar kemungkinan penyakit ini berakhir dengan kerapuhan organ tubuh sehingga organ-organ tubuh ini terlepas dan diiringi dengan pembusukan.
3.   Penyakit Kusta (baras}), yaitu munculnya bercak putih pada permukaan kulit dan merusak resam tubuh, bercak-bercak putih semakin lama semakin lebar. Seringkali pada bercak putih ini juga ditumbuhi bulu-bulu putih atau bisa jadi bercak yang ditimbulkannya berwarna hitam.
4.   Didalam kitab Fath}ul Mu’i>n disebutkan bahwasannya penyakit bakhar (mulut berbau busuk) dan S}unan (keringat berbau busuk) bisa menjadi alasan khiya>r fasakh.[16]

5.    Akibat Hukum fasakh Nikah
Fasakh yang semula dapat membatalkan akad, maka akan timbul beberapa ketentuan hukum, misalnya: tidak ada kewajiban mahar, haram kawin untuk selama-lamanya, bila fasakh itu terjadi dengan mahram. Namun dalam fasakh karena adanya aib seperti pendapat Imam al-Syirāzi harus diselesaikan dengan keputusan hakim.[17] Disini juga, perceraian tidak dihubungkan dengan masa iddah. Akan tetapi, pada fasakh karena sebab yang datang setelah akad, maka jika itu dari isteri sebelum ditentukan mahar, maka mahar itu gugur seluruhnya. Akan tetapi, jika fasakh itu dari suami yang telah melakukan hubungan badan maka ia wajib membayar mahar mis|il.[18] Jika yang dimaksud fasakh itu disamakan dengan talak, maka masa iddahnya berlaku seperti iddah talak.[19] Disamping itu, baik bentuk fasakh yang pertama atau kedua, menyebabkan hubungan keduanya berpisah. Ketentuan hukum yang lain ialah bahwa perceraian dengan jalan fasakh tidak mengurangi jumlah ţalak. Dan bekas isteri tidak boleh dirujuk oleh bekas suaminya. Jika dari pihak suami ingin mengambil isterinya itu kembali, maka yang dilakukan oleh keduanya adalah memperbaharui dengan akad nikah lagi.[20]


[1] Munawwir, Kamus Al Munawwwir Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997, cet II, h. 1054.
[2] Imam Syafi’i, Ringkasan Kitab al-Umm, Jakarta: Pustaka Azzam, 2007, cet.III, jilid 2, h. 481.
[3] Al Hamdani, Risalah Nikah, Jakarta: Pustaka Amani, 2002, h. 272.
[4] Sayyid Sabiq, Fiqih as-Sunnah, juz II, Beirut, Darul Kitab al Aroby, th 1997, h. 314.
[5] Beni Ahmad Saebani,  Fikih Munakahat,  Bandung: Pustaka Setia, 2001, h. 105.
[6] M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), h.198-199
[7] Al-San’ani, Subulussalam, juz III, Darul Kutub Alamiya, Beirut Libnan, h. 260
[8] Al-San’ani, Subulussalam, juz III,…h. 260
[9] Al-Asqalani, Fathul Bari, juz II, Darul Kutub alamiyah, Beirut Libnan, h. 173.
[10] Undang-Undang Perkawinan (UU.No.1 Th.1974, PP.No.9 Th.1975, PP.No.10 Th.1983, PP.No.45 Th.1990), Cet II, Bandung : Citra Umbara, 2012.
[11] Ali Imron, Pemberlakuan Asas Berlaku Surut dalam Perkara Pembatalan Perkawinan di Undang-undang Perkawinan, Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum QISTIE Vol. 9 No. 1 Mei 2016.
[12] Lihat KHI pasal 74
[13] Ali Hasballah, al Furqatu Bain al- Zaujaini, Beirut: Darul Fikr, 1968, cet. I, h. 120.
[14]M. Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, alih bahasa Masykur AB. dkk, Jakarta: PT. Lantera Barsitama, 2004, h. 351.
[15] M. Jawad Mughniyah, , Fiqih Lima Mazhab,… h. 355.
[16]  Ali As’ad, Terjemahan Fathul Mu’in, Jogjakarta: Menara Kudus, 1979,  Jilid 3, h. 77.
[17]  Al-Syirāzi, Muhażab, Juz II, , Beirut Libnan: Dārul Kutub al-Alamiyah , h. 48
[18] Mahar mitsl adalah mahar yang menjadi ukuran keluarga mempelai wanita yang dijadikan standar dalam akad nikah tak dikemukakan maharnya, atau dalam kasus lainnya.
[19] Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995, cet.
[20]Abdullah Siddik, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Tintamas, 1968, h. 87.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar