A.
Tinjaun Umum Tentang
Mafqud (Suami yang Hilang)
1.
Pengertian
Mafqud
القاموس
الفقهي - (ج 1 / ص 288)
Mafqud secara etimologi merupakan isim
maf’ul dari madzi faqada-yafqidu-faqdan-fiqdanan-fuqdanan yang memiliki
makna dzallahu, dza’a minhu (hilang).
شرح خليل للخرشي - (ج 13 / ص 303)
الْمَفْقُودُ مِنْ فَقَدَ بِالْفَتْحِ يَفْقِدُ بِالْكَسْرِ فَقْدًا
وَفِقْدَانًا بِالْكَسْرِ وَفُقْدَانًا بِالضَّمِّ يُقَالُ فَقَدَتْ الْمَرْأَةُ
زَوْجَهَا فَهِيَ فَاقِدٌ بِلَا هَاءٍ قَالَهُ النَّوَوِيٍ [2]
Kata mafqud berasal dari madzi
faqada dengan dibaca fathah (‘ain fi’ilnya), yafqidu dengan kasroh.
Dikatakan : seorang perempuan kehilangan suaminya, maka ia disebut faqid
tanpa ha, sebagaimana ungkapan al-Nawawi.
Dan menurut istilah para ahli fiqh,
mafqud didefinisikan sebagai berikut :
1.
Imam Abu al-Qasim Muhammad Ibn
Ahmad Ibn Juzay dari kalangan Malikyah mendefinisikan :
القوانين
الفقهية - (ج 1 / ص 144)
Mafqud adalah orang yang hilang, sehingga terputus
jejaknya dan tidak diketahui kabar beritanya.
2.
Imam Abu Bakar Ibn Hasan al-Kasynawi
yang juga dari kalangan malikiyah mendefinisikan dengan :
المفقود هو الذي غاب عن أهله وفقدوه حتى إنقطع خبره[4]
Mafqud adalah orang yang hilang dari keluarganya, dan
mereka (keluarga) merasa kehilangan orang tersebut hingga terputus kabarnya.
Dalam ensiklopedi Islam mafqud adalah orang yang
keberadaannya terputus, sehingga tidak diketahui apakah masih hidup (sehingga
bisa diharapkan kedatangnya kembali) atau sudah matinya.[5]
Sedangkan oleh para Faradhiyun mafqud diartikan dengan orang yang sudah
lama pergi meninggalkan tempat tinggalnya tidak diketahui kabar beritanya,
tidak diketahui domisilinya dan tidak diketahui hidup dan matinya.[6]
Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa suami mafqud
berarti suami yang hilang dari keluarganya, yang mana ia tidak diketahui kabar
dan keberadaannya secara pasti, serta tidak diketahui apakah dirinya masih
hidup (sehingga bisa diharapkan kembalinya) atau sudah meninggal dunia.
2.
Dasar Hukum
Mafqud
Mengenai seorang yang hilang (mafqud), tidak ada teks al-Qur’an
yang menjelaskan secara jelas, baik terkait siapa itu mafqud, kapan
seorang dikatakan hilang dan bagaimana solusi jika ada seseorang yang hilang,
kaitanya dengan hak-hak dan kewajibanya. Namun demkian ada beberapa hadist yang
menjelaskan mengenai seorang yang hilang (mafqud) tersebut, diantaranya
:
a.
Hadis yang diriwayatkan sahabat Ali
سنن البيهقي الكبرى - (ج 7 / ص 444)
15338 - أخبرنا أبو زكريا
بن أبي إسحاق المزكي نا أبو العباس محمد بن يعقوب أنا الربيع بن سليمان أنا
الشافعي أنا يحيى بن حسان عن أبي عوانة عن منصور بن المعتمر عن المنهال بن عمرو عن
عباد بن عبد الله الأسدي عن علي رضي الله عنه قال : في امرأة المفقود إنها لا
تتزوج[7]
“Mengabarkan kepadaku Abu Zakariya Ibn Ishaq
al-Muzakki, mengabarkan kepadaku Abu al-Abbas Muhammad Ibn Ya’qub, mengabarkan
padaku al-Rabi’ Ibn Sulaiman, mengabarkan padaku al-Syafi’i, mengabarkan padaku
Yahya Ibn Hasan, dari abi Awanah, dari Mansur Ibn Mu’tamir, dari Minhal, dari
Amar, dari Ibdad Ibn Abd Allah al-Asadi, dari Ali RA, beliau berkata: perempuan
(istri) orang yang mafqud, sesungguhnya ia tidak boleh dinikah.”
b.
Hadist yang diriwayatkan Imam al-Bukhari
وَقَالَ
ابْنُ الْمُسَيَّبِ إِذَا فُقِدَ فِي الصَّفِّ عِنْدَ الْقِتَالِ تَرَبَّصُ
امْرَأَتُهُ سَنَةً وَاشْتَرَى ابْنُ مَسْعُودٍ جَارِيَةً وَالْتَمَسَ صَاحِبَهَا
سَنَةً فَلَمْ يَجِدْهُ وَفُقِدَ فَأَخَذَ يُعْطِي الدِّرْهَمَ وَالدِّرْهَمَيْنِ
وَقَالَ اللَّهُمَّ عَنْ فُلَانٍ فَإِنْ أَتَى فُلَانٌ فَلِي وَعَلَيَّ وَقَالَ
هَكَذَا فَافْعَلُوا بِاللُّقَطَةِ وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ نَحْوَهُ وَقَالَ
الزُّهْرِيُّ فِي الْأَسِيرِ يُعْلَمُ مَكَانُهُ لَا تَتَزَوَّجُ امْرَأَتُهُ
وَلَا يُقْسَمُ مَالُهُ فَإِذَا انْقَطَعَ خَبَرُهُ فَسُنَّتُهُ سُنَّةُ
الْمَفْقُودِ.
Ibn Musayyab berkata :”apabila seorang hilang
dalam barisan perang, maka istrinya harus menunggu selama satu tahun.” Ibn
Mas’ud pernah membeli budak perempuan, lalu dia mencari pemiliknya selama satu
tahun, tetapi tidak mendapatkanya dan hilang, maka dia memberi satu dirham dan
dua dirham seraya berkata, “Ya Allah atas nama si fulan. Apabila fulan itu
datang, maka untukku dan menjadi tanggunganku.” Dia berkata, “demikianlah
hendaknya kamu lakukan terhadap barang temuan.’ Ibn Abbas mengatakan sama
sepertinya. Az-Zuhri berkata tentang tawanan yang diketahui tempatnya,
“Istrinya tidak boleh menikah dan hartanya tida boleh dibagi. Apabila beritanya
terputus selama satu tahun, maka diberlakukan sebagimana halnya orang yang
hilang.”[8]
c.
Hadist yang diriwayatkan Imam Malik
dalam kitabnya al-Muwatha’
الموطأ - رواية يحيى الليثي - (ج 2 / ص 575)
حدثني يحيى عن مالك عن يحيى بن سعيد عن سعيد بن المسيب أن عمر بن الخطاب
قال :أيما امرأة فقدت زوجها فلم تدر أين هو فإنها تنتظر أربع سنين ثم تعتد أربعة
أشهر وعشرا ثم تحل قال مالك وان تزوجت بعد انقضاء عدتها فدخل بها زوجها أو لم يدخل
بها فلا سبيل لزوجها الأول إليها قال مالك وذلك الأمر عندنا وان أدركها زوجها قبل
ان تتزوج فهو أحق بها قال مالك وأدركت الناس ينكرون الذي قال بعض الناس على عمر بن
الخطاب انه قال يخير زوجها الأول إذا جاء في صداقها أو في امرأته قال مالك وبلغني
ان عمر بن الخطاب قال في المرأة يطلقها زوجها وهو غائب عنها ثم يراجعها فلا يبلغها
رجعته وقد بلغها طلاقه إياها فتزوجت أنه إن دخل بها زوجها الآخر أو لم يدخل بها
فلا سبيل لزوجها الأول الذي كان طلقها إليها قال مالك وهذا أحب ما سمعت الي في هذا
وفي المفقود.[9]
Menceritakan kepadaku Yahya dari Malik, dari
Yahya Ibn Sa’id, dari Sa’id Ibn Musayyab “sesungguhnya Umar Ibn Khattab berkata
: perempuan manapun yang kehilangan suaminya dan ia tidak mengetahui
keberadaanya, maka hendaknya ia menunggu selama empat tahun, kemudian ia
menjalani iddah selama empat bulan sepuluh jari. Maka ia halal (menikah).
Ketiga hadist di atas menjelaskan mengenai status hukum bagi si mafqud
dan jalan keluar yang diberikan bagi istri atau orang yang ditiggalkan.
Yang menjadi menarik adalah ketiga hadist tersebut memiliki hukum yang berbada,
dimana hadist yang pertama menjelaskan bahwa istri orang yang ditinggalkan tetap
menjadi istrinya (tidak ada batasan waktu tertentu) sampai adanya kejelasan
(mengenai hidup atau matinya si mafqud). Sedangkan hadist yang kedua, memberikan
tenggang waktu atau masa tunggu bagi istri yang ditinggalkan selama satu tahun
untuk kemudian diperbolehkan menikah lagi. Berbeda dengan keduanya, hadist yang
ketiga justru memberikan batasan waktu bagi istri untuk menunggu selama empat
tahun dan menjaladi iddah wafat, baru kemudian istri boleh menikah lagi.
3.
Macam-macam
Mafqud
Ulama mengkategorikan mafqud
kedalam beberapa kategori menurut keadaan dan tempat ketika ia menghilang. Hal tersebut
tentunya akan memberi implikasi yang berbeda terhadap penentuan status serta masa
tunggu bagi istri. Berikut macam-macam mafqud menurut ulama Malikiyah dan
Syafi’iyah :
Menurut ulama malikiyah, mafqud
terbagi menjadi empat keadaan, yaitu : mafqud fi al-ardl Islam (mafqud
di daerah Islam), mafqud di daerah yang terjadi peperangan, mafqud
didaerah peperangan-peperangan sesama muslim, dan yang terakhir mafqud
dalam peperangan-peperangan melawan kaum kafir.[10]
Berikut penjelasan mengenai keadaan-keadaan tersebut :
1.
Imam Ibn Rusyd, mafqud terbagi
menjadi 4, yaitu :
a. Mafqud di daerah Islam, dimana terjadi khilaf pada macam
yang pertama ini.
b. Mafqud di daerah yang sedang terjadi peperangan, maka
status hukumnya seperti tawanan perang. Istrinya tidak boleh dinikahi dan
hartanya tidak boleh dibagi sampai jelas kematianya.
c. Mafqud dalam peperangan antar sesama muslim, maka
statusnya disamakan dengan orang yang mati terbunuh tanpa harus menunggu. Pendapat
lain mengatakan harus ditunggu berdasarkan dekat atau jauhnya tempat terjadinya
peperangan. Dan masa menunggu yang paling lama adalah satu tahun.
d.
Mafqud dalam
peperangan melawan kaum kafir. Dalam hal ini ada empat pendapat. Pertama,
hukumnya sama dengan hukum orang yang ditawan. Kedua, hukumnya sama
dengan hukum orang yang dibunuh sesudah menunggu masa satu tahun, kecuali jika
ia berada disuatu tempat yang sudah jelas, maka disamakan dengan hukum orang
yang hilang dalam peperangan dan kericuhan yang terjadi antar kaum Muslimin. Ketiga,
hukumnya sama dengan hukum orang yang hilang di daerah muslim. Keempat,
hukumnya sama dengan hukum orang yang dibunuh, dalam kaitanya dengan istrinya,
dan sama dengan hukum orang yang hilang di daerah muslim, kaitanya dengan harta
bendanya, yakni harus ditunggu, baru sesudah itu dibagi.[11]
2.
Imam Ibn Juzay[12]
yang juga dari kalangan Malikiyah membagi mafqud kedalam 4 keadaan pula,
yaitu :
a.
Mafqud fi bilad al-muslimin
Apabila istri melaporkan perkaranya pada qodhi,
maka qodhi meminta istri untuk menetapi status perkawinan (isbat
zaujiyah), kemudian qodhi mencari tahu kabar berita suami, lalu qodhi
(melakukan diplomasi) dengan mengirim surat kepada negaranya. Apabila qodhi
mengetahui kabar beritanya, maka ia (suami) tidak dijatuhi status mafqud,
dan selanjutnya qodhi mengirim surat kepada si mafqud untuk ruju’
(kembali kepangkuan si istri) atau menjatuhkan talak. Apabila suami memilih
untuk tetap tidak merujuk atau mentalak, maka qodhi berhak menjatuhkan
talak. Sedangkan apabila qodhi tidak mengetahui kabar berita mafqud, tidak
mengetahui hidup matinya maka, diputus masa tunggu 4 tahun bagi mafqud
merdeka, dan dua tahun bagi hamba sahaya, yang mana perhitungan
waktu masa tunggu tersebut dimulai sejak istri melaporkan perkaranya. Ketika
telah habis masa tersebut, maka istri menjalani iddah wafat. Kemudian
istri boleh menikah lagi, jika menghendaki.
Ketika mafqud datang pada saat masa
tunggu (4 tahun), atau pada saat iddah, atau setelah iddah dan istri belum
menikah lagi, maka istri masih berstatus sebagai istrinya. Dan jika istri telah
menikah lagi degan suami keduanya dan ia sudah sempat digauli oleh suami
keduanya maka mafqud sudah tidak berhak atas istri. Sedangkan bila istri
belum sempat digauli maka ada dua pendapat.
b.
Mafqud fi biladil aduwwi
Mafqud ini hukumnya
seperti tawanan yakni istrinya tidak boleh dinikahi dan hartanya tidak boleh
dibagi sampai tenggang waktu dimana tidak ada sesamanya yang hidup.
c.
Mafqud fi qital ma’al kuffar
Mafqud ini hukumnya
seperti tawanan menurut pendapat yang masyhur.
d.
Mafqud fi al fitan (kekacauan)
Ada dua pendapat terkait Mafqud
fi al fitan, yaitu
a) mafqud duhukumi
seperti orang yang terbunuh atau mati sehingga
istrinya berhak menjali iddah dan hartanya boleh dibagi.
b) diputus
baginya (mafqud) masa tunggu selama satu tahun, baru kemudian istri
menjalani iddah dan dibagi harta-harta peninggalanya.
2.
Menurut Imam Abu Umar Yusuf Ibn
Abdillah al Qurtubiy[13]
dari kalangan malikyah, mafqud terbagi menjadi empat golongan pula,
dimana secara garis besar pendapatnya sama dengan pendapat ulama-ulama kalangan
malikiyah lain. Akan tetapi, Abu Umar lebih memperluas pembahsan pada kategori mafqud
yang pertama, yakni mafqud dalam daerah muslim. Menurutnya, mafqud
ini adalah mafqud yang perkaranya diputus oleh shahabat Umar Ibn
Khattab bahwa istrinya menunggu empat tahun ditambah iddah wafat (setelah
laporanya), yang mana apabila istri menikah lagi setelah menjalani masa
tersebut maka secara otomatis terjadi furqah (perpisahan) antara ia dan
suami pertamanya tanpa harus ia ucapkan atau hakim menjatuhkan padanya.
Perpisan yang terjadi bukanlah talak, karena apabila suami yang hilang tersebut
datang sebelum istri menikah lagi, maka suami tersebut lebih berhak atas
dirinya (istri).
3.
Menurut Imam Abd al-Rahman Syihab
al-Din al-Baghdadiy[14]
di dalam karyanya Irsyad a-Salik, mafqud terbagi menjadi dua, yakni
pertama mafqud yang benar-benar tidak diketahui kabar beritanya (hidup
atau matinya), sehingga istri diperbolehkan mengadukan perkaranya pada hakim,
dan hakim memutus masa tunggu 4 tahun. Jika dalam masa tunggu tersebut suami
yang hilang tersebut datang dan istri belum menikah lagi, maka ia tetap
berstatus suaminya. Sedangkan jika ia datang dan istri telah menikah lagi, maka
hilang status perkawinanya dengan sebab berhubunganya (dukhul) istri
dengan suami kedua, bukan karena akadnya menurut pendapat yang lebih shahih.
Yang kedua mafqud yang masih diketahui tempat keberadaanya, maka hakim
mengirimkan surat pada si mafqud untuk datang, membawa istri ketempanya,
atau menjatuhkan talak pada istri. Jika ia tidak mau melakukan salah satu dari
ketiganya maka hakim memerintah istri untuk menjalani iddah wafat.
Menurut Imam Mawardi dari kalangan
Syafi’iyah, mafqud hanya terbagi kedalam dua keadaan, yaitu: pertama
orang hilang yang masih terhubung kabar beritanya, diketahui hidupnya, maka
pernikahan istrinya mustahil terjadi (tidak diperbolehkan). Kedua orang hilang
yang kabarnya terputus, tidak diketahui apakah masih hidup atau tidak, maka
meski berbeda dalam keadaan keperginya tersebut hukumnya tetap satu, inilah
yang dikehendaki mafqud. Bila terlampau lama perginya, tidak diketahui
kabarnya, maka terkait nasib istrinya ada dua pendapat, yaitu: pertama,
ia menunggu empat tahun dengan putusan hakim, kemudian hakim memutus kematian
si mafqud khusus terkait hak atas istrinya, lalu istri menjalani iddah
wafat. Jika telah habis iddahnya maka ia halal untuk menikah lagi, sebagaimana
pendapat Imam Syafi’i dalam qaul qodim, Imam Malik, Imam Ahmad dan
Auza’i seperti pendapat sahabat Umar Ibn Khattab, Ustman Ibn Affan, Abdullah
Ibn Abbas, Abdullah Ibn Umar. Kedua,
istri tetap menjadi istrinya, ia terikat tali perkawinan sampai kedatangnya
meskipun memakan waktu yang lama, selagi belum diyaki akan kematianya,
sebagaimana pendapat Imam Syafi’I dalam qaul jadid, Imam Abu Hanifah dan
ulama-ulama Irak seperti pendapat sahabat Ali Ibn Abi Thalib.
الحاوى الكبير ـ الماوردى - دار الفكر
- (ج 11 / ص 714)
قَالَ
الْمَاوَرْدِيُّ : وَهَذَا صَحِيحٌ ، وَلِغَيْبَةِ الرَّجُلِ عَنْ زَوْجَتِهِ
حَالَتَانِ : إِحْدَاهُمَا : أَنْ يَكُونَ مُتَّصِلَ الْأَخْبَارِ مَعْلُومَ
الْحَيَاةِ حالات المفقود فَنِكَاحُ زَوْجَتِهِ مُحَالٌ ، وَإِنْ طَالَتْ
غَيْبَتُهُ ، وَسَوَاءٌ تَرَكَ لَهَا مَالًا أَمْ لَا ، وَلَيْسَ لَهَا أَنْ
تَتَزَوَّجَ غَيْرَهُ ، وَهَذَا مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ . وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ : أَنْ
يَكُونَ مُنْقَطِعَ الْأَخْبَارِ مَجْهُولَ الْحَيَاةِ حالات المفقود فَحُكْمُهُ
عَلَى اخْتِلَافِ أَحْوَالِهِ فِي سَفَرِهِ وَاحِدٌ. .
فَأَمَّا
زَوْجَتُهُ إِذَا بَعُدَ عَهْدُهُ ، وَخَفِيَ خَبَرُهُ فَفِيهَا قَوْلَانِ :
أَحَدُهُمَا : أَنَّهَا تَتَرَبَّصُ أَرْبَعَ سِنِينَ بِحُكْمِ حَاكِمٍ امرأة
المفقود ، ثُمَّ بِحُكْمِ مَوْتِهِ فِي حَقِّهَا خَاصَّةً ، ثُمَّ تَعْتَدُّ عِدَّةَ
الْوَفَاةِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا ، فَإِذَا انْقَضَتْ فَقَدْ حَلَّتْ
لِلْأَزْوَاجِ ، وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ ، وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ
عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ ، وَعُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ ، وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ
، وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمْ.
وَالْقَوْلُ
الثَّانِي : أَنَّهَا بَاقِيَةٌ عَلَى الزَّوْجَةِ مَحْبُوسَةٌ عَلَى قُدُومِ
الزَّوْجِ ، وَإِنْ طَالَتْ غَيْبَتُهُ مَا لَمْ يَأْتِهَا يَقِينُ مَوْتِهِ
وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْجَدِيدِ .وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ :
عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ وَمِنَ الْفُقَهَاءِ : أَبُو حَنِيفَةَ
وَالْعِرَاقِيُّونَ[15]
Setelah mengetahui beberapa
kategori mafqud sesuai keadaan pada saat ia belum hilang atau pergi,
dimana tentunya hal tersebut merupakan sasuatu yang seharusnya dijadikan bahan
perimbangan yang sangat besar bagi hakim, selanjutnya ada beberapa pertimbangan
hukum pula yang harus diperhatikan seorang hakim dalam memfonis status bagi mafqud,
yaitu:
1.
Berdasarkan bukti-bukti yang otentik
yang dibenarkan oleh syari’at yang dapat dijadikan untuk menetapkan suatu
ketetapan hukum. Misalnya putusan tersebut berdasarkan persaksian orang yang
adil dan terpercaya. Sesuai kaidah yang berbunyi:
الثا بت با لبينة كا لثابت بالمعاينة
“yang tetap berdasarkan bukti bagaikan yang
tetap berdasarkan kenyataan”[16]
Berdasarkan waktu lamanya suami itu meninggalkan
istri, sebagaimana telah dijelaskan di atas, meskipun dalam konteks sekarang
ini, pertimbangan ini tidak/kurang praktis. Namun demikian, ia mempunyai
refrensi hukum.[17]
B. HUKUM MAFQUD (SUAMI YANG HILANG)
Dalam
persoalan mafqud, Imam Malik dan Imam Syafi’i dalam qaul qadimnya,
keduanya mengawali proses istinbath dengan sumber yang sama yakni qaul
al-shahabah (pendapat sahabat), karena memang seperti telah dijelaskan
sebelumnya, tidak ada dalil al-Qur’an yang menjelaskan mengenai mafqud (orang
hilang) secara langsung. Imam Malik seperti telah disebutkan di atas,
menggunakan pendapat sahabat yang beliau riwayatkan sendiri dari Sa’id Ibn
Musayyab. Dalam memahami pendapat sahabat Umar tersebut, menurut penulis Imam
malik cenderung menggunakan pendekatan lughah (bahasa). Hal tersebut
bisa dilihat dari hukum yang dihasilkan bahwa pendapatnya sama seperti redaksi yang
beliau riwayatkan, yakni memberi batasan tunggu waktu selama empat tahun bagi
istri yang ditinggalkan suaminya setelah laporanya, kemudian istri menjalani
iddah empat bulan sepuluh hari (iddah wafat), baru ia menjadi halal untuk
menikah lagi.
Ketentuan
tersebut, yakni terkait dengan perintah menjalani masa tunggu serta
bilangannya, maupun perintah menjalani iddah menurut penulis merupakan ketentuan
wajib. Hal tersebut dikarenakan redaksi atau nash syara’ yang berbentuk kalimat
informasi (jumlah khabariyah) ketika menunjukan makna perintah maka
berarti kewajiban, yakni menuntut sesuatu yang diperintahkan atau diberitakan
secara tetap atau pasti.[1]
Sedangkan dalam redaksi pendapat sahabat Umar tersebut menggunakan kalam khabar
(jumlah khabariyyah)[2]
yang mana kalimat tersebut tidak hanya bertujuan untuk menyampaikan atau
memberikan informasi tentang perempuan yang ditinggal suaminya (hilang), lebih
dari itu redaksi tersebut menunjukan makna perintah atau amar[3]
agar perempuan (istri) menunggu selama empat tahun serta menjalani iddah empat
bulan sepuluh hari. Berikut redaksinya haditsnya:
أيما امرأة
فقدت زوجها فلم تدر أين هو فإنها تنتظر أربع سنين ثم تعتد أربعة أشهر وعشرا ثم تحل
“perempuan manapun yang kehilangan
suaminya dan ia tidak mengetahui keberadaanya, maka hendaknya ia menunggu
selama empat tahun, kemudian ia menjalani iddah selama empat bulan sepuluh
jari, setelah itu ia menjadi halal.”
Kata أيما امرأة فقدت
زوجها dan فإنها تنتظر
merupakan kalimat yang tersusun dari mubtada’ dan khabar (jumlah
khabariyyah), yang tidak hanya bertujuan memberikan informasi terkait perempuan
yang kehilangan suaminya dan ia menunggunya, lebih dari itu merupakan perintah
bagi perempuan tersebut untuk menunggu dalam waktu yang ditentukan. Sedangkan
kata “أي” sendiri
merupakan isim syarat atau kata syarat, dimana isim syarat merupakan
bagian dari bentuk-bentuk ‘amm.[4]
Sehingga itu berarti mencakup seluruh perempuan yang ditinggal suaminya,
tidak tertentu perempuan tua, muda, atau terbatas jumlah tertentu.
Adapun kaitannya
dengan bilangan, baik bilangan masa tunggu maupun iddah merupakan makna yang
pasti (qath’i)[5],
tidak bisa ditawar, artinya ditambah atau kurangi, karena bilangan termasuk
suatu petunjuk makna yang sudah pasti. Sehingga bisa dipahami bahwa secara
keseluruhan pendapat Umar yang digunakan Imam Malik sebagai hujjah dalam
menghukumi suami yang mafqud menunjukan makna yang jelas dan pasti (qath’i
dilalah).
Kemudian
terkait putusnya perkawinan antara istri dengan suaminya yang mafqud,
yang mana Imam Malik menghukumi putusnya tali perkawinan tersebut dengan talak
tiga (ba’in), menurut penulis beliau justru cenderung menggunakan qiyas,
yang mana beliau mengqiyaskan atau menyamakan istri yang suaminya mafqud
tersebut dengan seorang istri yang ditinggal mati suaminya. Dimana suami keduanya
sama-sama tidak bisa kembali lagi (setelah penantian empat tahun bagi istri
yang suaminya mafqud). Sehingga tidak heran jika beliau Imam Malik tidak
memberikan khiyar kepada suami yang mafqud ketika ia kembali lagi,
sedangkan istri telah menikah lagi, karena memang putusnya tali perkawinan
antara keduanya adalah seperti talak ba’in. Selain karena memang Imam
Malik mengingkari riwayat yang menyatakan adanya khiyar. Serta tidak
heran pula iddahnya sama dengan iddah istri yang ditinggal mati, yakni empat
bulan sepuluh hari. Pendapat Imam Malik tersebut sebagaimana disebutkan
pengikutnya Imam Sahnun dalam al-Mudawwanah al-Kubra, ketika beliau
bertanya pada Imam Abd al-Rahman Ibn al-Qasim selaku murid langsung Imam Malik
terkait suami mafqud yang kembali lagi setelah habis masa empat tahun
dan iddahnya. Berikut kutipan pendapatnya:
قلت:
أرأيت إن قدم زوجها الأول بعد الأربع سنين وبعد الأربعة أشهر والعشر أتردها إليه
في قول مالك ويكون أحق بها؟ قال: نعم، قلت: أفتكون عنده على تطليقتين؟ قال: لا
ولكنها عنده على ثلاث تطليقات عند مالك وإنما تكون عنده على تطليقتين إذا هي رجعت
إليه بعد زوج.[6]
“Aku bertanya: bagaimana pendapatmu
jika suami pertama datang setelah empat tahun dan setelah empat bulan sepuluh
hari. Apakah engkau akan mengembalikannya (istri) padanya (suami pertama yang
mafqud) menurut pendapat Malik, dan suami pertama lebih berhak atas istri? Abd
al-Rahman menjawab: iya. Aku bertanya: apakah istri tertalak dua? Abd al-Rahman
menjawab: tidak, akan tetapi ia (istri) tertalak tiga menurut malik. Istri
tertalak dua jika ia kembali pada suami setelah pernikahan.”
Dari
penjelasan-penjelasan terkait mafqud menurut Imam Malik sebagaimana pemaparan
di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa jika seorang istri ditinggal suaminya dan
ia tidak mengetahui kabar beritanya, hidup ataupun mati (mafqud), maka
ia berhak mengajukan perkaranya pada hakim untuk kemudian hakim memutuskan atau
memerintahkan istri untuk menunggu hingga empat tahun, jika dalam waktu
tersebut suami tidak datang atau tidak diketahui kabar beritanya, maka istri
berhak menjalani iddah empat bulan sepuluh hari, dan jika dalam iddah ia tetap
tidak datang dan tidak diketahui kabar beritanya, ketika habis iddahnya maka
istri boleh menikah lagi dengan orang lain. Dan setelah pernikahannya dengan
orang lain, maka tidak ada pilihan (khiyar) bagi mafqud, meskipun
ia kembali dalam keadaan hidup dan tidak pula mentalak istrinya.
Meskipun Imam
Syafi’i dalam qaul qadimnya sekilas berhujjah dengan sumber yang
sama, namun sejatinya Imam Syafi’i menambahkan riwayat (ziyadah) tersendiri
yang tidak dipakai oleh Imam Malik dalam al-Muwwatha’, atau bahkan diinkari
Imam Malik, sebagimana telah disebutkan sebelumnya serta dalam sub bab pendapat
Imam Syafi’i yang telah penulis kutipkan dari karyanya al-Umm. Selanjutnya
selain berpegang dengan qaul sahabat Umar tersebut yang menurut hemat
penulis sama dengan Imam Malik yakni dengan menggunakan pendekatan lughah
(bahasa), untuk menguatkan argumentasinya, beliau Imam Syafi’i mengqiyaskan
kepergian suami (suami mafqud), dengan suami yang impoten dalam hal
tidak bisanya menggauli istri dan suami yang sulit ekonominya dalam hal
sulitnya memberi nafkah, dimana keduanya sama-sama menimbulkan dlarar
(bahaya). Bahkan kedua faktor (dlarar) tersebut dimiliki mafqud sehingga
tentunya, kebolehan fasakh karena suami hilang lebih diutamakan, sebagaimana
diungkapkan pengikutnya Imam al-Syairazi dalam al-Muhadzdzab. Berikut kutipan
pendapat tersebut:
وهو قوله في
القديم أن لها أن تنفسخ النكاح ثم تتزوج لما روى عمرو بن دينار عن يحيى بن جعدة أن
رجلا ستهوته الجن فغاب عن أمرأته فأتت عمر بن الخطاب رضي الله عنه فأمرها أن تمكث
أربع سنين ثم أمرها أن تعتد ثم تتزوج ولانه إذا جاز الفسخ لتعذر الوطء بالتعنين
وتعذر النفقة بالإعسار فلأن يجوز ههنا وقد تعذر الجميع أولى.[7]
Dari teks
tersebut di atas juga dapat dipahami bahwa putusnya perkawinan antara istri
dengan suaminya yang mafqud merupakan fasakh. Yang perlu
diketahui adalah bahwa fasakh berbeda dengan talak. Adapun
perbedaan-perbedaan diantara keduanya adalah:[8]
1.
Fasakh adalah
pembatalan atau rusaknya akad dari asasnya serta hilangnya kehalalan perkawinan
akibat pembatalan tersebut. Sedangkan talak adalah berakhirnya suatu akad, akan
tetapi kehalalan tidak hilang kecuali bila terjadi talak ba’in kubra (talak
tiga).
2.
Sebab fasakh bisa terjadi
karena adanya berbagai hal atau kondisi yang datang, yang mana hal tersebut
menafikan perkawinan, atau berbagai hal yang bersamaan dengan akad yang mana
hal tersebut menghilangkan tetapnya akad sejak awal. Seperti halnya murtadnya
istri atau istri tidak mau masuk Islam dan sebagainya. Sedangkan talak hanya
bisa terjadi pada akad yang shahih yang telah tetap. Talak merupakan hak
suami, dimana di dalamnya tidak terdapat hal yang bertentangan atau menghalangi
ketetapan perkawinan.
3.
Dampak terjadinya fasakh tidak
mengurangi jumlah talak yang dimiliki suami, sedangkan dampak terjadinya talak
mengurangi jumlah talak. Selain itu, fasakh yang terjadi sebelum adanya
hubungan suami istri tidak berdampak adanya kewajiban membayar mahar, sedangkan
talak yang jatuh sebelum hubungan suami istri berdampak adanya kewajiban
membayar mahar yang disebutkan, atau jika tidak ada mahar yang disebut, maka
istri berhak atas mut’ah.
Berdasarkan
keterangan tersebut, maka menurut madzhab Malikiyah fasakh terjadi pada:[9]
a.
Akad yang tidak sah, seperti
menikahi mahram, menikahi istri orang lain ataupun perempuan yang masih
menjalani masa iddah, atau terjadinya wathi syubhat.
b.
Putusnya perkawinan akibat li’an,
karena hal ini menjadikan keharaman selamanya berdasarkan hadits:
المتلاعنان لا
يجتمعان أبداً
“orang yang saling melaknat tidak boleh
berkumpul (menikah) selamanya”
c.
Putusnya perkawinan yang terjadi
akibat suami menolak masuk Islam setelah istrinya masuk Islam, atau sebaliknya.
Sedangkan talak terjadi pada:
a.
Penggunaan atau pengucapan talak
pada akad yang sah
b.
Putusnya perkawinan dengan khulu’
(gugat cerai dari istri), ilaa’ (sumpah suami tidak akan menggauli istri
selama lebih dari 4 bulan), ataupun ketidak setaraan (kufu’).
c.
Putusnya perkawinan akibat tidak
adanya nafkah, kepergian atau hilangnya suami (mafqud), maupun keburukan
perlakuan suami.
d.
Putusnya perkawinan akibat
kemurtadan salah satu dari suami istri.
Menurut
madzhab Syafi’iyah, putusnya tali perkawinan terdiri dari talak dan fasakh. Talak
ada bermacam-macam, seperti yang biasa dilakukan baik secara terang-terang
maupun sindiran, khulu’, ila’, dzihar, akibat keputusan hakamain. Sedangkan
bentuk fasakh ada tujuh belas yaitu: putusnya tali perkawinan akibat
kesulitan; mahar, nafkah, pakaian, atau tempat tinggal setelah suami diberi
tempo tiga hari, akibat li’an, perpisahan akibat adanya cacat, fasakh
akibat impoten (setelah menunggu satu tahun setelah ketetapan hakim),
perpisahan akibat wathi syubhat, ditawannya salah satu suami istri,
perpisahan akibat masuk Islamnya salah satu istri, atau akibat murtad dan
lain sebagainya.[10]
Adapun
ungkapan Imam Syafi’i sendiri terkait fasakh sebagaimana yang telah
beliau sebutkan dalam al-Umm yaitu:
( قال الشَّافِعِيُّ )
رَحِمَهُ اللَّهُ وَكُلُّ فَسْخٍ كان بين الزَّوْجَيْنِ فَلَا يَقَعُ بِهِ طَلَاقٌ
لَا وَاحِدَةٌ وَلَا ما بَعْدَهَا وَذَلِكَ أَنْ يَكُونَ عَبْدٌ تَحْتَهُ أَمَةٌ
فَتُعْتَقُ فَتَخْتَارُ فِرَاقَهُ أو يَكُونَ عِنِّينًا فَتُخَيَّرَ فَتَخْتَارَ
فِرَاقَهُ أو يَنْكِحَهَا مُحْرِمًا فَيُفْسَخَ نِكَاحُهُ أو نِكَاحُ مُتْعَةٍ
وَلَا يَقَعُ بهذا نَفْسِهِ طَلَاقٌ وَلَا بَعْدَهُ لِأَنَّ هذا فَسْخٌ بِلَا
طَلَاق[11]
“Imam Syafi’i
berkata: setiap fasakh yang terjadi antara suami istri tidak mengakibatkan
jatuhnya talak, baik talak satu atau sesudahnya (dua, tiga). Misalnya: budak
laki-laki yang beristri budak perempuan, kemudian amah tersebut dimerdekakan
dan memilih berpisah dari suaminya. Atau suami impoten, lalu istri diberi
pilihan dan ia memilih untuk berpisah. Atau pernikahan dalam keadaan ihram
sehingga pernikahan tersebut harus difasakh, atau seperti nikah mut’ah
(kontrak), maka semua ini tidak terjadi talak satu atau sesudahnya karena ini
merupakan fasakah tanpa talak.”
Dari pemaparan tersebut dapat disimpulkan
bahwa Imam Syafi’i di dalam qaul qadimnya menghukumi sama seperti
gurunya Imam Malik kaitanya dengan penentuan masa tunggu empat tahun dan iddah,
hanya saja beliau memberikan khiyar (pilihan; antara mengambil istrinya
ataupun mahar) bagi suami mafqud ketika ia datang kembali dan istri
telah menikah dengan orang lain dan sudah sempat digauli, dimana Imam Malik
tidak memberi khiyar. Menurut hemat penulis, Imam Syafi’i menghukumi
adanya khiyar bagi mafqud atas istrinya adalah hal yang wajar,
karena memang beliau sedikit menambahkan redaksi hadits yang justru tidak
diterima Imam Malik selain bahwa beliau mengqiyaskan mafqud dengan
suami impoten dan suami yang kesulitan ekonomi sehingga putusnya perkawinan
merupakan fasakh. Karena jika alasan impoten dan kesulitan ekonomi
hilang (sudah tidak ada dlarar bagi istri), maka hilang pula
alasan yang mendasari adanya fasakh, begitu juga dengan mafqud, jika
karena alasan kemafqudan atau ketiadaanya hilang, artinya bahwa mafqud
telah kembali, maka sudah tidak ada dlarar yang mendasari adanya fasakh
atas dirinya. Selain bahwa tidak sedikit pula riwayat yang menerangkan adanya
perintah khiyar bagi suami yang mafqud ketika ia kembali dan istri
ternyata sudah menikah lagi, sebagaimana riwayat berikut:
وفي رواية يونس
بن يزيد عن بن شهاب الزهري عن سعيد بن المسيب عن عمر رضي الله عنه في امرأة
المفقود قال إن جاء زوجها وقد تزوجت خير بين امرأته وبين صداقها فإن اختار الصداق
كان على زوجها الآخر وإن اختار امرأته اعتدت حتى تحل ثم ترجع إلى زوجها الأول وكان
لها من زوجها الآخر مهرها بما استحل من فرجها قال بن شهاب وقضى بذلك عثمان بعد عمر
رضي الله تعالى عنهما وكان مالك بن أنس ينكر رواية من روى عن عمر في التخيير[12]
“Dalam satu riwayat Yunus Ibn Yazid
dari Ibn Syihab al-Zuhri dari Sa’id Ibn Musayyab dari Umar r.a terkait
perempuan yang suaminya hilang, Umar berkata: ketika suaminya (yang mafqud)
datang padahal ia sudah menikah lagi, maka suami yang mafqud tersebut diberi
pilihan (khiyar) antara (memilih) istrinya dan mahar istri. Jika ia memilih
mahar, maka mahar tersebut wajib bagi suami yang lain. Dan jika ia memilih
istrinya, maka istri beriddah hingga halal, kemudian istri kembali pada suami
yang pertama (mafqud), dan bagi istri mahar dari suami keduanya dengan sebab
meminta kehalalan atas farjinya. Ibn Syihab berkata: Utsman menghukumi dengan
ketentuan tersebut setelah Umar r.a. sedangkan Imam Malik Ibn Anas mengingkari
riwayat rowi yang meriwayatkan adanya takhyir.”
Berbeda dengan
qaul qadimnya, dalam qaul jadidnya beliau Imam Syafi’i mengawali istinbath
terkait kasus mafqud justru dengan menggunakan sumber yang pertama
yakni al-Qur’an. Menurutnya tidak ada khilaf diantara ulama bahwa tidak
ada iddah untuk istri kecuali dari kematian dan talak (dengan berbagai macam
bentuk talak).[13]
Pendapat tersebut karena memang sebagaimana telah penulis singgung di atas,
bahwa tidak ada nash al-Qur’an yang menjelaskan tentang mafqud, baik
terkait siapa itu mafqud maupun bagaimana jalan keluar dan iddahnya.
Syari’at iddah tersebut sebagaimana disebutkan Imam Syafi’i terkait dengan
kematian dan talak yang mana tertuang dalam firman Allah QS. al-Baqarah ayat
234 dan QS. al-Thalaq ayat 1:
وَالَّذِينَ
يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ
أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
Orang-orang yang meninggal dunia di
antara kamu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah istri itu) menangguhkan
dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari.[14]
يَاأَيُّهَا
النَّبِي إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَآءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا
الْعِدَّةَ
“Wahai Nabi, apabila
kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu
mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan
hitunglah waktu iddah itu serta ber takwalah kepada Allah Tuhanmu.”[15]
Menurut beliau Imam Syafi’i, sebagaimana
telah penulis sebutkan dalam bab sebelumnya, bahwa bagi istri yang suaminya mafqud
tidak diperkenankan menjalani iddah selagi belum ada kejelasan dan
keyakinan akan kematianya maupun talaknya. Sehingga sangat bisa dipahami bahwa
tidak ada masa tunggu dan iddah khusus bagi istri. Yang ada hanya iddah wafat
ketika ia tahu ataupun yakin akan kematian suaminya yang mafqud dan
iddah talak ketika ia tahu atau yakin akan jatuhnya talak atas dirinya baik
dengan bukti ataupun saksi. Sebagaimana pendapatnya dalam al-Umm:
قال فَكَانَ
بَيِّنًا في حُكْمِ اللَّهِ عز ذِكْرُهُ أَنَّ الْعِدَّةَ من يَوْمِ يَقَعُ
الطَّلَاقُ وَتَكُونُ الْوَفَاةُ ( قال ) وإذا عَلِمَتْ الْمَرْأَةُ يَقِينَ
وَفَاةِ الزَّوْجِ أو طَلَاقِهِ بِبَيِّنَةٍ تَقُومُ لها على مَوْتِهِ أو
طَلَاقِهِ أو أَيِّ عِلْمٍ صَادِقٍ ثَبَتَ عِنْدَهَا اعْتَدَّتْ من يَوْمِ يَكُونُ
الطَّلَاقُ وَتَكُونُ الْوَفَاةُ وَإِنْ لم تَعْتَدَّ حتى تَمْضِيَ عِدَّةُ
الطَّلَاقِ وَالْوَفَاةِ لم يَكُنْ عليها عِدَّةٌ لِأَنَّ الْعِدَّةَ إنَّمَا هِيَ
مُدَّةٌ تَمُرُّ عليها فإذا مَرَّتْ عليها فَلَيْسَ عليها مَقَامُ مِثْلِهَا[16]
“Imam Syafi’i berkata: firman Allah
‘azza dzikruhu sudah jelas bahwa iddah dimulai dari jatuhnya talak dan
terjdinya wafat. Ia berkata: ketika seorang perempuan yakin akan wafat atau
talaknya suami dengan adanya bukti yang menunjukan talaknya, ataupun dengan
pengetahuan yang benar yang tetap padanya, maka ia mulai menjalani iddah
jatuhnya talak dan terjadinya wafat tersebut. Ketika ia tidak menjalani iddah
hingga masa iddah talak dan wafat telah habis, maka ia tidak perlu beriddah
lagi, karena iddah tersebut telah lewat.”
Kemudian Imam Syafi’i dalam qaul
jadid juga menggunakan sumber yang kedua dalam menghukumi kasus mafqud.
Beliau menggunakan hadits yang diriwayatkan Mughirah Ibn Syu’bah yang menyatakan
bahwa istri seorang suami yang hilang tetap sebagai istrinya sampai datang
kejelasan (akan kabar hidup dan matinya). Berikut kutipan haditsnya:
15342
- أخبرنا أبو الحسن علي بن أحمد بن عبدان أنا أحمد بن عبيد الصفار نا محمد بن
الفضل بن جابر السقطي نا صالح بن مالك نا سوار بن مصعب نا محمد بن شرحبيل الهمداني
عن المغيرة بن شعبة رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم :أمرأة
المفقود امرأته حتى يأتيها البيان وكذلك رواه زكريا بن يحيى الواسطي عن سوار بن
مصعب وسوار ضعيف.[17]
“Mengabarkan padaku Abu Hasan,
yakni Ali Ibn Ahmad Ibn Abdan, mengabarkan padaku Ahmad Ibn Ubaid al-Shafar,
mengabarkan padaku Muhammad In Fadlal Ibn Jabir al-Saqathiy, mengabarkan padaku
Shalih Ibn Malik, mengabarkan padaku Suwar Ibn Mus’an, mengabarkan padaku
Muhammad Ibn Syurahbil al-Hamdani dari Mughirah Ibn Syu’bah R.A, beliau
berkata: Rasulullah SAW bersabda: ‘istri orang yang hilang tetap sebagai
istrinya, sampai ia mendapat berita (tentang kematianya). Seperti hadits dengan
riwayat tersebut, meriwayatkan Zakariya Ibn Yahya al-Wasathiy dari Suar Ibn
Mush’ab. Ia rowi yang dlaif.”
Selain itu, beliau juga berhujjah
dengan pendapat sahabat Ali yang menghukumi tidak diperbolehkannya istri
yang suaminya mafqud menikah kembali selagi belum ada kejelasan terkait
kabar beritanya, hidup atau matinya. Berikut kutipan pendapatnya:
15338 - أخبرنا أبو زكريا
بن أبي إسحاق المزكي نا أبو العباس محمد بن يعقوب أنا الربيع بن سليمان أنا
الشافعي أنا يحيى بن حسان عن أبي عوانة عن منصور بن المعتمر عن المنهال بن عمرو عن
عباد بن عبد الله الأسدي عن علي رضي الله عنه قال: في امرأة المفقود إنها لا تتزوج.[18]
“Mengabarkan padaku Abu Zakariya Ibn Abi Ishaq
al-Muzakki, mengabarkan padaku Abu al-Abbas Muhammad Ibn Ya’qub, mengabarkan
padaku al-Rabi’ Ibn Sulaiman, mengabarkan padaku al-Syafi’i, mengabarkan padaku
Yahya Ibn Hasan dari Uwanah dari Mansur Ibn al-Mu’tamir dari al-Minhal Ibn Amar
dari Ibad Ibn Abdillah al-Asadi dari Ali R.A. beliau berkata: perempuan (suami)
mafqud, sesungguhnya tidak boleh menikah”
Pertimbangan Imam Syafi’i
berikutnya dalam menghukumi mafqud di dalam qaul jadid yakni
dengan menggunakan pendekatan makna (thuruq al-ma’nawiyyah). Dalam hal
ini Imam Syafi’i menggunakan metode istishab. Istishab sendiri seperti
telah dijelaskan sebelumnya, adalah menghukumi sesuatu dengan keadaan seperti
sebelumnya sampai ada dalil atau petunjuk yang menunjukkan perubahan keadaan
tersebut, atau menjadikan hukum sebelumnya tetap menjadi hukum sampai ada dalil
yang menunjukkan adanya perubahan.[19]
Dari definisi tersebut bisa dipahami bahwa ketika belum ada dalil atau petunjuk
(bukti maupun saksi) terkait kejelasan kematian atau talaknya si mafqud,
maka istri masih berstatus istrinya, karena suami yang mafqud tersebut
masih dihukumi hidup dan tidak pula menjatuhkan talak. Pendapat ini sesuai
kaidah asasiyyah ke dua yakni:
القاعدة الثانية اليقين لا يزال
بالشك[20]
“Keyakinan tidak bisa dihilangkan
dengan keraguan"
Maksudnya adalah keyakinan akan hidupnya suami yang memang benar
adanya sejak sebelum menghilang, tidak bisa lantas kemudian dihilangkan dengan
dihukumi matinya suami tersebut, yang mana matinya masih diragukan kebenarannya.
Hal ini memberi pengertian bahwa tenggang waktu yang lama dalam menunggu suami
yang mafqud tersebut tidak bisa dijadikan patokan serta jaminan akan
kematian si mafqud, ataupun malah justru sebaliknya bahwa tenggang waktu
yang pendek dalam menunggu bisa mendatangkan keyakinan akan kematian suami yang
mafqud tersebut, dengan adanya saksi ataupun bukti yang jelas akan
kematiannya. Adapun dasar yang dijadikan pijakan kaidah ini adalah hadits Nabi
saw, yang mana hadits tersebut juga dikutip oleh al-Rabi’ sebagaimana tertuang
dalam al-Umm dalam menguatkan argumentasi Imam Syafi’i dalam qaul jadid
yang mana merupakan salah satu landasan dalam menghukumi mafqud, berikut
kutipan pendapatnya:
( قال الرَّبِيعُ ) لَا
تَتَزَوَّجُ امْرَأَةُ الْمَفْقُودِ حتى يأتى يَقِينُ مَوْتِهِ لِأَنَّ اللَّهَ
قال { وَاَلَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا } فَجَعَلَ على
المتوفي عِدَّةً وَكَذَلِكَ جَعَلَ على الْمُطَلَّقَةِ عِدَّةً لم يُبِحْهَا إلَّا
بِمَوْتٍ أو طَلَاقٍ وَهِيَ مَعْنَى حديث النبي صلى اللَّهُ عليه وسلم إذْ قال
إنَّ الشَّيْطَانَ يَنْقُرُ عِنْدَ عَجُزِ أَحَدِكُمْ حتى يُخَيِّلَ إلَيْهِ
أَنَّهُ قد أَحْدَثَ فَلَا يَنْصَرِفْ أحدكم حتى يَسْمَعَ صَوْتًا أو يَجِدَ
رِيحًا فَأَخْبَرَ أَنَّهُ إذَا كان على يَقِينٍ من الطَّهَارَةِ فَلَا تَزُولُ
الطَّهَارَةُ إلَّا بِيَقِينِ الْحَدَثِ وَكَذَلِكَ هذه الْمَرْأَةُ لها زَوْجٌ
بِيَقِينٍ فَلَا يَزُولُ قَيْدُ نِكَاحِهَا بِالشَّكِّ وَلَا يَزُولُ إلَّا
بِيَقِينٍ وَهَذَا قَوْلُ عَلِيِّ بن أبي طَالِب.[21]
“Al-Rabi’
berkata“perempuan yang kehilangan suami tidak boleh menikah selamanya hingga
datang keyakinan akan kematiannya. Karena Allah SWT berfirman:”orang-.orang
yang meninggal di antaramu dengan meninggalkan istri-istri”. Allah menetapkan
iddah bagi wanita yang ditinggal mati suaminya. Begitu juga menetapkan iddah
bagi wanita yang ditalak, yang mana Allah tidak membolehkan iddah kecuali
karena kematian suaminya atau talak, dan itulah: makna hadits Nabi SAW ketika
beliau bersabda: sesunggungnya syetan mematuk pantat seseorang kalian hingga
terbayang olehnya bahwa ia berhadast. Maka janganlah seseorang dari kalian
berbalik hingga ia mendengan suara atau mencium bau.
Beliau mengabarkan, bahwa apabila sudah dalam
keadaan yakin masih suci, maka keyakinan suci itu tidak bisa dihilangkan
kecuali dengan keyakinan berhadast. Demikian juga keyakinan nikah tidak
dihilangkan kecuali dengan keyakinan mati. Begitu juga wanita memiliki suami
dengan yakin, maka keyakinan pernikahanya tidak hilang karena keraguan, dan
tidak hilang kecuali dengan keyakinan mati atau talak. Demikian juga yang
diriwayatkan dari Ali Ibn Abi Thalib.”
Kemudian ketika sudah diyakini akan
kematian si mafqud, bahkan istri juga sudah menikah kembali dengan orang
lain, dan ternyata suami yang mqfqud tersebut tiba-tiba datang kembali,
maka menurut Imam Syafi’i dalam qaul jadidnya bahwa status perkawinan
antara istri dengan suaminya yang kedua harus difasakh, baik suami kedua
sudah menggauli istri maupun belum. Disini terlihat jelas perbedaan antara qaul
qadim dan qaul jadid Imam Syafi’i, dimana dalam qaul qadimnya
jika istri telah menikah lagi dan sudah digauli oleh suami keduanya, maka suami
mafqud yang diberikan khiyar atau pilihan antara istrinya dan
mahar.
Ketentuan terkait keharusan fasakh
bagi suami kedua sebagaimana pendapatnya dalam al-Umm. Berikut
kutipan pendapatnya:
وَلَوْ حَكَمَ
لها حَاكِمٌ بِأَنْ تَزَوَّجَ فَتَزَوَّجَتْ فُسِخَ نِكَاحُهَا وَإِنْ لم يَدْخُلْ
بها فَلَا مَهْرَ لها وَإِنْ دخل بها فَأَصَابَهَا فَلَهَا مَهْرُ مِثْلِهَا لَا
ما سمي لها وَفُسِخَ النِّكَاح[22]
“Apabila hakim menghukumi terhadap
perempuan (yang suaminya mafqud), untuk menikah, kemudian ia menikah, maka
pernikahnya difasakh. Apabila ia (suami kedua) belum sempat menggaulinya, maka
istri tidak berhak atas maharnya. Dan apabia suami sudah menggaulinya, maka
istri berhak atas mahar mitsil[23],
bukan mahar yang disebutkan pada akad, dan pernikahan difasakh.”
Pendapat Imam Syafi’i ini,
didasarkan pada pendapat sahabat Ali yang kemudian beliau kutip dalam al-Umm,
yang diriwayatkan pula oleh Imam Baihaqi.[24]
أخبرنا يحيى بن حَسَّانَ عن هُشَيْمِ
بن بَشِيرٍ عن سَيَّارٍ أبي الْحَكَمِ عن عَلِيٍّ رضي اللَّهُ تَعَالَى عنه
أَنَّهُ قال في امْرَأَةِ الْمَفْقُودِ إذَا قَدِمَ وقد تَزَوَّجَتْ امْرَأَتُهُ
هِيَ امْرَأَتُهُ إنْ شَاءَ طَلَّقَ وَإِنْ شَاءَ أَمْسَكَ وَلَا تُخَيَّرُ[25]
“Mengabarkan kepadaku Yahya Ibn
Hassan, dari Husyaim Ibn Basyir, dari Sayyar Abi Hakam, dari Ali r.a,
sesungguhnya Ali berkata: terkait perempuan yang suaminya mafqud ketika si
mafqud datang padahal istrinya telah menikah(lagi), maka istri merupakan
istrinya. Bilamana ia menginginkan (melepasnya) maka ia menjatuhkan talak, dan
bilamana ia menginginkan (mempertahankan) maka ia menahanya, ia tidak
diperintah untuk memilih (antara istri dan maharnya).”
Terkait dengan dua pendapat Imam
Syafi’i tersebut yang terkesan sangat bertolak belakang, maka perlu diketahui
bahwa antara qaul qadim dan qaul jadid dalam fiqh Syafi’i secara
fungsional seperti teori nasikh-mansukh dalam penerapan kaidah hukum
Islam meskipun tidak secara mutlak. Artinya dalam penerapannya masih harus
memperhatikan korelasi qaul dengan kemaslahatan umat.[26]
Dari situ sangat jelas terlihat dan
bisa dipahami bahwa Imam Syafi’i menginginkan adanya hukum yang dinamis, yang
bisa menjawab dinamika, problem-problem kehidupan yang semakin hari semakin
berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Sebagaimana kaidah yang sering
kita dengar “Taghayyur al-Ahkam Bitaghayyuri al-Azminah wa al-Amkinah” (perubahan
hukum-hukum berdasarkan perubahan zaman dan kondisi tempat), yang mana Ibn Qoyyim
al-Jauziyyah mengutarakan kaidah tersebut dengan lebih lengkap. Beliau mengatakan:
“تغير
الفتوى واختلافها بحسب تغير الأزمنة والأمكنة والأحوال والنيات والعوائد”[perubahan fatwa dan perbedaannya dibilang
berdasarkan perubahan zaman, tempat, situasi sosial, niat dan adat (tradisi)].[27]
Oleh karenanya, untuk pendapat Imam Syafi’i perlu adanya tarjih baina
al-qaulain dimana tujuan pentarjihan tersebut untuk mengetahui
pendapat mana diantara kedua pendapat tersebut yang lebih kuat dan lebih maslahat
untuk diterapkan pada zaman sekarang.
Kemudian jika diperhatikan,
pendapatnya dalam qaul qadim yang mana beliau berhujjah dengan qaul
sahabat Umar (seperti Imam Malik), bahkan dikatakan oleh Syaikh al-Baji
dalam al-Muntaqa Syarah al-Muwwatha’ bahwa qaul sahabat Umar
terkait kebolehan hakim memberi putusan bagi istri untuk menjalani masa tunggu
tertentu dalam perkara perempuan yang suaminya mafqud tersebut, merupakan
ijma’ sahabat, karena diriwayatkan pula oleh sahabat Utsman dan para tabi’in.[28]
Akan tetapi kenyataanya penulis banyak menjumpai riwayat-riwayat yang berbeda
dari riwayat sahabat Umar tersebut.[29]
Bahkan riwayat sahabat Umar sendiri memiliki riwayat yang berbeda antara
riwayat yang digunakan Imam Malik dan Syafi’i seperti telah dijelaskan. Riwayat
lain yang digunakan Imam Syafi’i yang mengarahkan adanya khiyar yaitu kisah
yang diriwayatkan Abd al-Razzaq dengan sanad sampai kepada orang yang hilang,
ia berkata: “saya memasuki lembah lalu jin menyembunyikan saya (tidak bisa
keluar), maka saya tinggal disana selama empat tahun. Kemudian istriku menemui
sahabat Umar untuk meminta fatwa terhadap masalahnya. Sahabat Umar menyuruhnya
menjalani iddah empat tahun terhitung dari laporannya, kemudian wali suaminya
(mertuanya) dihadirkan lalu ia menceraikan atas nama suaminya. Sahabat Umar
menyuruh wanita menjalani iddah selama empat bulan sepuluh hari. Baru setelah
itu saya datang, sedang ia sudah menikah lagi dengan lainnya. Dalam kasusku
ini: Umar menyuruhku untuk memilih antara tetap mempertahankan rumah tangga
atau mengambil mas kawin yang pernah saya berikan.[30]
Yang perlu diketahui adalah bahwa qaul
sahabat menurut sebagian pengikut Imam Syafi’i hanya digunakan dalam qaul
qadim, tidak dalam qaul jadid. Namun demikian, Abu Zahrah
mengungkapkan bahwa Imam Syafi’i menggunakan qaul sahabat, baik dalam qaul
qadim maupun jadidnya selagi tidak bertentangan dengan al-Sunnah berdasarkan
riwayat Rabi’ Ibn Sulaiman. Anggapan ini sesuai dengan apa yang ditemukan dalam
al-Umm dan al-Risalah.[31]
Pendapat ini pula yang penulis yakini keabsahanya karena memang penulis
menemukan sendiri adanya penggunaan qaul sahabat, baik dalam qaul
qadim maupun jadid seperti kasus mafqudnya suami.
Sedangkan sumber hukum yang beliau
gunakan dalam qaul jadidnya, tidak hanya qaul sahabat sebagaimana
dalam qaul qadimnya. Dalam qaul jadid justru Imam Syafi’i berhujjah
menggunakan al-Qur’an, hadits serta istishab seperti telah penulis
paparkan sebelumnya. Meskipun hadits terkait mafqud yang diriwayatkan
Imam Syafi’i dari Mughirah Ibn Syu’bah seperti telah penulis kutipkan di atas, dalam
riwayatnya terdapat rawi-rawi yang dlaif.
Keterangan terkait hadits yang
diriwaykan Mughirah tersebut sangat jelas, bahwa dalam hadits tersebut terdapat
rawi yang lemah (dlaif) yakni Sawar Ibn Mush’ab. Bahkan Ibnu al-Qathan
dalam kitabnya berkata, “Sawar Ibn Mush’ab termasuk kelompok rawi-rawi yang matruk,
dan dibawahnya ada Shalih Ibn Malik yang majhul, dan dibawahnya lagi ada
Muhammad Ibn al-Fadhl yang keadaanya tidak diketahui. Abdu al-Haq juga menyatakan
bahwa beliau berillat karena Syurahbil rawi matruk.[32]
Selanjutnya, pendapat Imam Syafi’i
dalam qaul jadid juga diikuti oleh sebagian besar pengikut-pengikutnya,
seperti dalam Asna al-Mathalib Syarah Raudl al-Thalib karya Syaikh
Zakariya al-Anshari, Kanz al-Raghibin Syarah Minhaj al-Thalibin atau
lebih populer dengan Syarah al-Mahalli karya Syaikh Jalaludin
al-Mahalli, serta al-Hawi al-Kabir karya Imam al-Mawardi, dimana
mayoritas berargumen bahwa jika qadli atau hakim memutuskan perkara
dengan berpegang pada qaul qadim, yakni menghukumi mati suami dan
putusnya perkawinan setelah masa tunggu, maka putusan tersebut dibatalkan
menurut pendapat yang lebih shahih.
Selain itu, jika pertentangan
antara qaul sahabat Umar dan Ali ditelaah dengan pendekatan metode ta’arudh
al-adilah, dimana kedua dalil tersebut memiliki tingkatan kekuatan yang sama,
yakni sama-sama qaul sahabat, maka dengan mudah bisa diketahui bahwa qaul
sahabat Ali dalam kasus ini lebih rajih (unggul), meskipun dari sisi
matan atau redaksi serta sanadnya sama, akan tetapi qaul sahabat
Ali tersebut didukung dengan dalil lain yakni hadits dari Mughirah Ibn Syu’bah.
Yang penting untuk dipahami dan dimengerti adalah bahwa ucapan atau pendapat
salah satu sahabat bukanlah hujjah bagi sahabat lain karena
masing-masing adalah ahli ijtihad. Karena jika qaul sahabat merupakan
hujjah bagi sahabat lain, tentu tidak ada khilaf diantara mereka.
Adanya khilaf dalam fatwa atau pendapat sahabat merupakan pandangan
ijtihad yang dilakukan para tabi’in serta mujtahid-mujtahid setelahnya.[33]
Pernyataan ini memberikan pemahaman seperti telah penulis ungkapkan sebelumnya bahwa
terkait dengan penerapan qaul qadim dan qaul jadid, harus
diperhatikan korelasi qaul dengan maslahah umat. Mana yang lebih maslahah
untuk umat, itulah yang diterapkan.
Dari uraian-uraian di atas, penulis
menyimpulkan bahwa meskipun sejatinya ketiga pendapat tersebut, yakni pendapat
Imam Malik dan kedua pendapat Imam Syafi’i sama-sama kuat karena seperti
diketahui, ketiganya memiliki dasar pengambilan serta pertimbangan hukum yang
matang selain bahwa menurut hemat penulis ketiganya memiliki tujuan yang sama yakni
sebagaimana tujuan pokok syari’at Islam yaitu “menolak mafsadah menarik maslahah”,[34]
hal ini sebagaimana diungkapkan pula oleh Abu Zahrah yang menyatakan: “menarik
kemaslahatan dan menolak bahaya merupakan maksud atau tujuan-tujuan setiap
mahluk. Dan kemaslahatan makluk terwujud dengan terwujudnya tujuan-tujuan
tersebut.”[35]
Atau kaidah yang sejalan yakni karena tujuan menghilakan dlarar (bahaya
atau kerusakan) sebagimana kaidah “الضرر
يزال”.[36]
Namun demikian, menurut penulis dengan menerapkan pendapat Imam Syafi’i dalam qaul
jadid tersebut, selain karena alasan lebih unggul dari sisi kehujjahannya,
juga penulis memandang akan lebih mudah mewujudkan kemaslahatan yang lebih
besar pada masa sekarang ini dengan menerapkan qaul jadid, jika
dibandingkan dengan menggunakan pendapat lain terkait dengan solusi atau jalan
keluar terbaik dalam menyikapi problem mafqudnya suami.
Pertimbangan penulis akan hal ini
adalah bahwa meskipun pendapat Imam Syafi’i dalam qaul jadid tersebut
sekilas terkesan mengabaikan nilai-nilai dasar syari’at Islam yakni kemaslahatan,
yang dalam hal ini mengacu pada kemaslahatan istri, dengan
tidak memberi kepastian akan batas waktu tertentu bagi istri yang suaminya mafqud
sehingga istri bisa mengalami kesengsaraan yang lama selagi belum ada kabar
berita terkait hidup ataupun matinya suami mafqud tersebut, tetapi menurut
hemat penulis justru sebaliknya jika diterapkan zaman sekarang maka dengan
berdasar akan kejelasan kabar maupun keberadaan suami yang bisa dengan cepat
dan mudah didapat dengan memanfaatkan kemajuan teknologi, sehingga akan lebih
cepat pula menikah kembali dan menghilangkan kesengsaraan akibat ditinggal
suami ataupun mengambil keputusan-keputusan lain terkait hubungan keperdataan
suami baik dengan dirinya maupun orang-orang sekitar. Hal ini karena kita
ketahui bersama bahwa zaman sekarang adalah zaman modern, perkembangan zaman
begitu pesat seiring perkembangan kemajuan teknologi, sehingga kalau hanya
sekedar untuk mengetahui tempat tinggal, kabar maupun berita seseorang bukanlah
hal yang sulit dan tidak perlu memakan waktu yang lama hingga empat tahun.
Kita harus sadar bahwa zaman
sekarang ini adalah zaman informasi, dimana semua orang meninggalkan jejak
digital. Informasi tentang seseorang bisa dengan mudah didapat melalui
teknologi seperti Google, Facebook, Tumblr, LinkedIn, dan situs media sosial
lainya yang tidak terhitung banyaknya, siapapun yang kita cari pasti memiliki
informasi. Salah satu contoh mencari dengan daring. Bahkan ada aplikasi bernama
nee’ yakni mesin pencari asing yang dapat mengetahui status perkawinan.[37]
Selain itu dalam mencari sesorang juga bisa digunakan media-media masa seperti televisi,
radio, surat kabar dan media-media lain.
Adapun maslahah sendiri,
jika dilihat dari diterima atapun ditolaknya maslahah sebagaimana
dipaparkan oleh mayoritas ulama terbagi menjadi tiga, yaitu:
1.
Maslahah mu’tabarah, yakni maslahah
yang bersifat haqiqi yang meliputi lima jaminan dasar (maqasid
al-syari’ah): perlindungan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan dan harta
atau hak-hak milik.[38]
Istilah lain yang digunakan Wahbah Zuhaili adalah al-munasib al-mu’tabar.[39]
2.
Maslahah mulghah, yakni maslahah
yang dibatalkan atau ditolak syara’. Seperti halnya menetapkan hukum-hukum
tidak berpegang pada syara’.[40]
3.
Maslahah mursalah atau istishlah
dalam istilah yang digunakan Imam Ghazali, yakni sifat (maslahah)
yang tidak diketahui akan pembatalan atau penerapannya, baik dengan nash
maupun ijma’. Artinya tidak ada hukum syari’at yang menyetujui atau
menentangnya.[41]
Atau istilah lain yang digunakan Abu Zahrah adalah maslahah yang sesuai
dengan tujuan-tujuan syari’at Islam dan tidak ditopang oleh sumber dalil
khusus, baik yang bersifat melegitimasi atau membatalkannya.[42]
Dari situ bisa disimpulan bahwa maslahah yang menjadi acuan
penulis dalam kaitanya dengan persoalan mafqud adalah al-maslahah
al-mu’tabarah mengingat adanya maslahah terkait dengan perlindungan
jiwa istri dan anak-anaknya yang mana mereka mendapati dlarar yang besar
atas kepergian suami.
Kemudian bila mana pendapat Imam Syafi’i dalam qaul jadidnya
dipandang bersifat spekulatif karena keyakinan akan meninggalnya suami didasarkan pada bukti, saksi atau pengetahuan
yang didapat dari kemajuan teknologi, maka sejatinya pendapat Imam Syafi’i
dalam qaul qadim maupun Imam Malik juga bersifat spekulatif, karena
meskipun sebelumnya melakukan penelitian atau pencarian akan kabar mafqud, namun
landasan utamanya adalah putusan sahabat Umar yang menekankan pada tenggang
waktu empat tahun sebagai asumsi kematiannya. Padahal waktu yang lama tersebut
juga tidak memberikan jaminan akan kenyataan kematian suami. Dan di sisi lain,
dalam waktu yang terlampau lama tersebut bergantung nasib istri serta
anak-anaknya.
Oleh karena berbagai pertimbangan tersebut,
penulis lebih cenderung setuju dengan pendapat Imam Syafi’i dalam qaul jadid
karena tingkat kesalah-dugaan atau spekulasi bisa sangat diminimalisir
dengan kemajuan terknologi. Selain bahwa hakim dalam memutuskan perkara mafqud
juga harus memperhatikan kondisi pada saat suami tersebut hilang, seperti
telah dipaparkan dalam bab II terkait macam-macam mafqud beserta
ketentuan terkait. Adapun jika kenyataan berkata lain, maka harus disadari
bahwa hakim dalam memutuskan suatu perkara tentunya telah mencurahkan segala
kemampuan agar putusan yang diambil bersifat adil dan memberi maslahat.
[1] Abd al-Wahhab Khallaf, op. cit.,
hlm. 286.
[2]
Jumlah khabariyah adalah kalimat yang tersusun dari mubtada’ dan khabar
yang menunjukan makna berita atau informasi.
[3]
Makna amr adalah lafadz yang menunjukan adanya perintah untuk
mengerjakan sesuatu, dari orang yang lebih tinggi terhadap yang lebih rendah
derajatnya. Lihat Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh Islamiy, Juz 1, Damaskus:
Dar al-Fikr, t.t, hlm. 219.
[4] ‘Amm
adalah lafadz yang menunjukan arti umum, yang mencakup atau menghabiskan
semua satuanya, tanpa membatasi jumlah satuan tersebut. Lihat Wahbah Zuhaili, Ushul
Fiqh Islamiy, juz 1, Damaskus: Dar al-Fikr, t.t, hlm. 243 dan 248.
[5]
Nash qath’i adalah lafadz atau nash yang menunjukan makna yang pemahaman
akan makna tersebut sudah tertentu, tidak memungkinkan adanya ta’wil serta
tidak ada peluang menunjukan makna lain selain nash tersebut. Lihat Abd al-Wahhab Khallaf, Ilmu Usul
Fiqh, hlm. 35.
[6]
Imam Sahnun, al-Mudawwanah al-Kubra, Juz 2, Kitab Digital Maktabah
Syamilah, hlm. 29.
[7] Ibrahim al-Syairazi, al-Muhadzab,
Juz 2, Kitab Digital Maktabah Syamilah, hlm. 146.
[8] Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa
Adilatuh, Juz 9, Kitab
Digital Maktabah Syamilah, hlm. 327.
[9] Ibid,
hlm. 330.
[10] Abd al-Rahman al-Juzairi, al-Fiqh ‘Ala
al-Madzahib al-Arba’ah, Juz 4, Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, hlm 375.
[11] Muhammad Ibn Idris al-Syafi’i, al-Umm,
Juz 5, Kitab Digital Maktabah Syamilah, hlm 185.
[12] Imam al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqi
al-Kubra, Juz 7, Kitab Digital Maktabah Syamilah, hlm. 446.
[13] Muhammad Ibn Idris al-Syafi’i, op.
cit., hlm 239.
[14] Yayasan Penyelenggara
Penterjemah/Petafsir al-Qur’an, al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta:
Intermasa, 1992, hlm. 57.
[15] Ibid.
hlm 945.
[16] Muhammad Ibn Idris al-Syafi’i, op. cit.,
juz 5, hlm. 216.
[17] Ahmad Ibn Husain Ibn Ali al-Baihaqi, Sunan
al-Baihaqi al-Kubra, Juz 7, Kitab Digital Maktabah Syamilah, hlm. 445.
[18] Ibid, hlm.
444.
[19] Abd al-Wahhab Khallaf, op. cit,
hlm. 121.
[20]
Imam Jalaludin al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nadlair, juz 1, Kitab Digital
Maktabah Syamilahhlm, hlm. 50.
[21] Muhammad Ibn Idris al-Syafi’i, op.
cit, juz 7, hlm 236.
[22] Ibid,
juz 5, hlm 240.
[23]
Mahar mitsil adalah mahar yang besarnya dipertimbangkan atas dasar
kelayakan yang umum di mana mempelai wanita tersebut tinggal. Lihat Ahmad
Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, hlm. 88.
[24]
Lihat Sunan al-Baihaqi al-Kubra, juz 7, Kitab Digital Maktabah
Syamilah, hlm. 444.
[25] Muhammad Ibn Idris al-Syafi’i, op. cit,
juz 5, hlm. 241.
[26] Lajnah
Ta’lif Wan Nasyr (LTN) NU Jawa Timur, AHKAMUL FUQAHA (Solusi Problematika Aktual
Hukum Islam), Surabaya: Diantama, 2004, hlm. xiii
[27]
Ibn Qoyyim al-Jauziyyah, I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-Alamin, juz 3, Kairo:
Maktabah al-Kuliyyah al-Azhariyyah, 1968, hlm. 2.
[28] Syaikh
al-Baji, al-Muntaqa Syarah al-Muwwatha’, juz 3, Kitab Digital Maktabah
Syamilah, hlm 296.
[29]
Lihat Sunan al-Baihaqi al-Kubra, disitu banyak riwayat terkait kasus mafqud,
setidaknya ada sekitar 15 riwayat yang terbagi dalam tiga bab, juz 7, hlm.
444-447.
[30]
Muhammad Ibn Ismail al-Syan’ani, Subul al-Salam Syarah Bulugh al-Maram, Jilid
3, terj. Ali Nur Medan dkk, Jakarta: Darus Sunah Pres, cet. 8, hlm. 136.
[31]
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Dar al-Fikr al-‘Arabi, hlm. 215
[32]
Abd al-Qadir Syaibah al-Hamd, Syarah Bulugh al-Maram, jilid 8, terj.
Izzudin Karimi dkk, Jakarta: Darul Haq, cet. 1, 2012, hlm. 61.
[33] Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh
al-Islami, juz 2, Damaskus: Dar al-Fikr, 1986, hlm. 851.
[34]
Syarmin Syukur, Sumber-Sumber Hukum Islam, Surabaya: al-Ikhlas, 1993,
hlm. 179.
[35]
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.t, hlm. 369.
[36]
Syaikh Jalal al-Din Abd al-Rahman al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nadlair,
juz 1, Kitab Digital Maktabah Syamilah, hlm. 83.
[37] Http://id.wikihow.com/Menemukan-Seseorang,
diakses rabu 7 Juni 2017.
[38]
Muhammad Abu Zahrah, op. cit., hlm. 278.
[39] Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh
al-Islami, Juz 2, Damaskus: Dar al-Fikr, 1986, hlm. 752.
[40] Ibid,
hlm. 753.
[41] Ibid,
hlm. 754.
[42]
Muhammad Abu Zahrah, op. cit., hlm. 279.
[1] Sa’diy Abu Habib, al-Qomus al-Fiqhiy,
Kitab Digital Maktabah Syamilah, Juz 1, hlm. 228
[2] Muhammad al-Kharassiy, Syarakh Khalil Li
al-Kharassiy, Kitab Digital Maktabah Syamilah, Juz 13, hlm 302.
[3]
Ibn Juzay, al-Qawanin al-Fiqhiyah,
Kitab Digital Maktabah Syamilah, Juz 1, hlm 144.
[4] Abu Bakar Ibn Hasan al Kasynawi, Ashalul
Madarik Syarh Irsyad Al Salik, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1995, Jilid
1, hlm. 407
[5] Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah At-Tuwaijiri,
Ensiklopedi Islam Al-Kamil, Jakarta: Darus Sunnah Press, 2013, Hlm 1007
[6]
Fatchurrahman, Ilmu Waris, Bandung: al-Ma’arif, 1981, hlm. 504
[7]
Imam al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqi al-Kubra,
Kitab Digital Maktabah Syamilah, Juz 7, hlm. 444.
[8] Ibn Hajar al-Asqalani, Fathul Bari Syarakh
Shahih Bukhari, Jakarta : Pustaka Azzam, 2014. Hlm 290-291.
[9] Anas Ibn Malik, al-Muwatha’, Kitab
Digital Maktabah Syamilah, Juz 2, hlm. 575
[10] Ibn Rusyd, Bidayah al mujtahid wa nihayah al
muqtasid, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1996, Jilid 4, hlm 306.
[11] Ibid, hlm. 306-307.
[12] Ibn Juzay, al-Qawanin al-Fiqhiyyah, Kitab
Digital Maktabah Syamilah, juz 1, hlm 144-145.
[13] Abu Umar Yusuf Ibn Abdillah al Qurtubiy, al-Kafi
Fi Fiqhi Ahli al-Madinah, Kitab Digital Maktabah Syamilah, Juz 2, hlm
567-568
[14]
Abd al-Rahman Syihab al-Din al-Baghdadiy, Irsyad
a-Salik, Kitab Digital Maktabah Syamilah, Juz 1, hlm. 118
[15]
Imam al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, Kitab
Digital Maktabah Syamilah, Juz 11, hlm. 714
[16] Fatchurrahman, Ilmu Waris, Bandung:
al-Ma’arif, 1981, hlm. 504.
[17] Ahmad Rofiq, op. Cit, hlm. 231.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar