BIOGRAFI IMAM AL-NAWAWI
a.
Riwayat hidup Imam Al-Nawawi
Bernama lengkap Yahya
bin Syaraf bin Muri bin Hasan bin Husain
bin Muhammad bin Jum’ah bin Hizam al-Haurani ad-Dimasyqi Al-Syafi’i[1].
Panggilannya adalah Abu Zakaria, karena kebiasaan orang Arab ketika ada orang
namanya Yahya dijuluki Abu Zakariya, meniru Yahya Nabi Allah yang ayahnya
bernama Zakaria. Demikian pula dipanggil Abu Ya’kub kepada orang yang namanya
Yusuf.[2]
Gelar beliau adalah Muhyiddin[3].
Namun, ia sendiri tidak suka dengan gelar ini karena sikap tawadlu’ beliau
meskipun beliau pantas dengan gelar ini.
Para sejarawan bersepakat
bahwa kelahiran Imam Al-Nawawi pada bulan Muharram tahun 631 Hijriyah
bertepatan dengan tahun 1233 M. Di Nawa
sebuah desa di kecamatan Hauran, Siria.[4]
Beliau terkenal dengan panggilan Al-Nawawi yang dinisbatkan kepada kota
kelahirannya, yaitu kota Nawa. Ahli sejarah tidak menyebut tentang keluarga
Imam Al-Nawawi, dalam catatan mereka kecuali apa yang diceritakan oleh Ibn Al-‘Athar
tentang kakeknya yang tinggal di Jaulan di kota Nawa. Selain itu ayahnya
terkenal dengan julukan Syaikh, ahli zuhud, wira’i dan waliyullah. Beliau
merupakan ahli perniagaan. Beliau meninggal sembilan tahun setelah kewafatan
Imam Al-Nawawi dan usia beliau melewati 70 tahun[5]
Beliau berkulit sawo matang,
berjenggot tebal, berperawakan tegak, berwibawa, jarang tertawa, tidak
bermain-main dan terus bersungguh-sungguh dalam hidupnya. Sejak kecil Imam Al-Nawawi sudah ada
tanda-tanda bimbingan-Nya kepadanya. Hal itu terjadi pada malam dua puluh tujuh
Ramadhan, yaitu ketika beliau tidur disamping ayahnya sebagaimana pendapat
Syaikh Al-Farid dari riwayatnya Ibnu Al-‘Athar dari orang tua Imam Al-Nawawi
tersingkap rahasia Allah dalam bulan Ramadhan berupa peristiwa Lailatur Qadar.
Pada saat tengah malam, Imam Al-Nawawi kaget dengan adanya cahaya yang memenuhi
rumahnya. Kemudian, Imam Al-Nawawi membangunkan ayahnya dan menanyakan
peristiwa tersebut. Beliau berkata “wahai ayah , apakah cahaya yang memenuhi
rumah ini?” semua keluarganya ikut bangun. Anehnya, mereka tidak melihat
apapun. Dari peritiwa itu ayahnya merasa bahwa kelak anaknya akan menjadi orang
besar.[6]
b. Pendidikannya
Imam Al-Nawawi sejak kecil belajar di kampungnya
dengan ulama-ulama setempat, beliau belajar Al-Qur’an dan fikih dengan giat,
menggunakan waktunya untuk belajar dan tidak menyia-nyiakannya. Tidak suka
bermain-main layaknya anak kecil.
Pernah pada suatu hari Syaikh Yasin bin Yusuf Al-Marakisyi
melihat, ada anak-anak kecil yang sebaya memaksanya untuk bermain bersama,
tetapi ia lari dan menangis karena mereka memaksanya bermain bersama. Ia puleng menemui ayahnya
dan mengatakan bahwa ia ingin berusaha keras mencari ilmu. Kemudian syaikh Yasin
bin Yusuf Al-Marākisyī mengatakan, “anak kecil ini diharapkan akan menjadi
orang yang paling alim dan paling zuhud pada masanya dan berguna bagi
masyarakatnya”.[7]
Al-Nawawi sudah hafal
Al-Qura’an pada usia sepuluh tahun di Nawa Al-Nawawi
tinggal di Nawa hingga berusia 18 tahun. Kemudian pada tahun 649 H ia memulai pengembaraan mencari ilmu ke
Damaskus dengan menghadiri para
ulama kota tersebut[8].
Beliau menempat di madrasah Ar-rawahiyyah
di dekat Al-Jami’ Al-Umawiy sekitar
dua tahun. Dalam waktu empat bulan setengah ia sudah hafal kitab At-Tanbīh
kemudian dilanjutkan menghafal kitab Al-Muhadzab. Ia selalu bersama dengan
Syaikh Kamaluddin Ishak bin Ahmad Al-Magrabi dan membantu mengajar jamaahnya.[9] Pada
tahun 651 H. Al-Nawawi melakukan ibadah haji bersama ayahnya. Ia berangkat pada
awal bulan Rajab dan menetap di Madinah selama sebulan setengah.[10]
Disebutkan bahwa ia setiap hari
menghadiri dua belas gurunya untuk belajar, baik syarh maupun tashīh. Terhadap kitab Al-Washīth, Al-Muhadzab,
Al-Jam‘u bain Ash-Shahīhain, Shahīh Muslīm, Al-Luma‘ li Ibni Al-Janī,
Ishtishlāh Al-Manthīq li Ibni As-Sakīt, At-Tashrīf, Ushul Fikih, Al-Luma‘ li
Abī Ishāq, Al-Muntakhab karangan Fakhruddin, Asmā’ Ar-Rijāl, Usuliddin.
Ia memberi komentar terhadap syarah yang musykīl dan menjelaskan ibārat-nya.[11]
Imam Al-Nawawi mengambil bagian dunia hanya sedikit
saja. Seluruh hidupnya hanya untuk ilmu, ibadah, mengarang kitab dan berzuhud.
Ia hidup dalam kesederhanaan dan kesucian ditengah tengah kitab-kitab dan
madrasa-madrasah ilmu. Kerakusannya terhadap ilmu dan amal saleh membuatnya ia
kenyang.[12]
c.
Pengakuan terhadap Imam Al-Nawawi
Ibnu Al-‘Athar
yang merupakan murid Imam Al-Nawawi sebagaimana dikutip oleh Syaikh Al-Farid
mengatakan, “Imam Al-Nawawi adalah guruku dan dan panutanku yang mempunyai
karya-karya yang bermanfaat dan terpuji, ulama yang tiada bandingannya pada
masanya, orang yang banyak berpuasa, shalat, zuhud dari dunia, suka akhirat,
mempunyai akhlak yang terpuji dan kebaikan yang disukai.[13]
Syaikh
Qutbuddin Musa Al-Yunini Al-Hambali mengatakan, “Imam Al-Nawawi adalah ahli
hadits, ahli zuhud, wira’i, ulama yang dibanggakan ilmunya, pemilik karya-karya
yang bermanfaat, ulama yang tiada duanya di masanya dalam ke-warā-annya,
kezuhudan, ibadah dan usaha keras dalam menulis kitab-kitab. Semua itu ia sertai
dengan tawadlu’, kesederhanaan pakaian dan makanan, amar ma’ruf nahi munkar.”[14]
Al-Yafi’i mengatakan, Imam Al-Nawawi adalah syaikh Al-Islam, mufti besar,
ahli hadits, ulama yang sangat teliti, cerdas, banyak wawasan, memberikan
faidah, kepada ulama dan orang awam, pembersih mazhab, pembuat kaidahnya,
penyusun metodologinya, ulama’ yang wira’i dan zuhud, mengamalkan ilmunya dan
ahli tahqiq utama.[15]
Al-Hafizh Ibnu Katsir mengatakan, “Al-Nawawi adalah seorang ulama besar,
ahli zuhud, wira’i, tidak pernah makan
buah-buahan ketika dalam kebunnya ada monopoli, sehari semalam hanya makan satu
kali, tidak menikah, sedikit tidurnya, waktunya banyak digunakan untuk ibadah,
membaca, dzikir dan menulis kitab.”[16]
Tajudin Al-Subki sebagimana yang dikutip oleh Syaikh Ahmad Al-Farid
mengatakan, “Al-Nawawi adalah seorang panutan, menahan hawa nafsu, zuhud, tidak
memperdulikan dunia, menjaga agamanya, qana’ah berpaham Ahli Sunnah Wal
jama’ah, sabar, tidak menyia-nyiakan waktunya, cakap dalam berbagai cabang ilmu;
fikih, hadits, biografi perawi hadits,
bahasa, tasawuf dan lain-lain.”[17]
d.
Guru
dan Murid serta karya Imam an-Nawawi
Guru Imam Al-Nawawi baik mulai di kota kelahirannya
maupun di Damaskus banyak sekali, diantaranya:[18]
1)
Tajudin
Al-Fazari terkenal dengan Al-Farkah
2)
Al-Kamal
Al-Ishaq Al-Maghribi
3)
Umar
bin As’ad Al-Arbali
4)
Abu
Al-Hasan Salam bin Al-Hasan Al-Arbali
5)
Ibrahim
bin Umar Al-Wasiti Abu Ishaq
6)
Ibrahim
bin Isa Al-Muradi Al Andalusi Al-Syafi’i Abu Ishaq
7)
Ahmad
bin Salim Al-Misri Abu Al-‘Abbas
8)
Ahmad
bin Abd Al-Daim Al-Maqdisi Abu Al-‘Abbas
9)
Ishaq
bin Ahmad bin ‘Uthman Al-Magribi Abu Ibrahim
10)
Ismail
bin Abu Al-Yusr Al-Tanuhi Abu Muhammad Taqyuddin
11)
Jamaluddin
bin As-Sairafi
12)
Khalid
bin Yusuf An-Nablusi Abu Al-Baqa’
13)
Al-Rādi
bin Al-Burhan
14)
Sallar
bin aAl-Hasan Al-Irbīli Al-Halabi Al-Dimasyqi
15)
Shamaludin
bin Abu Umar
16)
Al-Diya’
bin Tamam Al-Hanafi
17)
Abdurrahman
bin Ibrahim bin Al-Farkah
18)
Abdurrahman
bin Ahmad bin Muhammad bin Al-Qudamat Al-Muqaddisi Al-Hambali
19)
Abdurrahman
bin Ismail Ad-Dimasyqi
20)
Abdurrahman
bin Salim Al-Anbari Abu Muhammad
21)
Abdurrahman
bin Muhammad bin Al-Hasan Al-Badirai Al-Bagdadi
22)
Abdurrahman
bin Nuh Al-Muqaddisi Al-Dimasyqi Abu Muhammad Syamsuddin
23)
Abdul
Azis bin Muhammad Al-Anshari Abu Muhammad
24)
Abdul
Karim bin Abdushamad Al-Haritsani Abu Al-Fadlail
25)
Izzuddin
bin Sa’ad Al-Raba’i Al-Irbili
26)
Imāduddin
bin Abdul Karim Al-Haritsani
27)
Umar
bin As’ad Al-Raba’i Al-Irbili
28)
Umar
bin At-Taflisi Al-Syafi’i
29)
Muhammad
bin Malik Al-Jayyani Abu Abdullah
30)
Muhammad
bin Muhammad Al-Fikri Al-Hafiz
31)
Yahya
bin Abu Al-Fath Al-Harani Al-Sairafi
Adapun murid-murid Imam Al-Nawawi banyak sekali
seperti yang dikutip oleh Dr. Mohammad Syukri Abdurrahman dkk. Yang mengambil
pendapat dari Syaikh Ahmad Ratib Al-Hammush antara lain:[19]
1)
Ahmad
bin Ibrahim bin Mas’ab Abu Al-Abbas
2)
Ahmad
Al-Darīr Al-Wasiti Abu Al-Abbas
3)
Ahmad
bin Farh Al-‘Isybīli Abu Al-Abbas
4)
Ahmad
bin Muhammad Al-Ja’fari Abu Al-Abbas
5)
Ismail
bin Mu’allim Al-Hanafi Al-Rasyid
6)
Sulaiman
Al-Ja’fari Sadr Al-Din
7)
Sulaiman
bin Umar Al-Dar’i Jamaluddin
8)
Syihabuddin
Al-‘Irbidi
9)
Syihabuddin
bin Ja’wan
10)
Abdurrahman
bin Muhammad Al-Maqdisi Abu Al-Faraj
11)
‘Ulauddin
bin Al-Aththar
12)
Muhammad
bin Ibrahim bin Jama’at (Al-Badr)
13)
Muhammad
bin Abu Bakar bin An-Naqib (Al-Syams)
14)
Muhammad
Abdul Khaliq Al-Anshari
15)
Muhammad
bin Abu Al-Fath Al-Hambali Abu Abdullah
16)
Hibatullah
bin Abdurrahim Al-Bari (Al-Sharif)
17)
Yusuf
bin Abdurrahman Al-Mizzi Abu Al-Hajjaj
Sejak
berusia 25 tahun hingga wafat Imam Al-Nawawi telah memberi kontribusi yang amat
besar dalam penulisan, beliau telah menghasilkan enam ratus enam puluh buah
kitab sebagaimana di katakan oleh Imam Al-Dzahabi.[20] Diantara karya-karya beliau:[21]
1) Syarh Muslim yang dinamakan Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim
Al-Hajjaj
2) Riyadh Ash-Shalihīn
3) Al-Arbaīn An-Nawawiyah
4) Khulashah Al-Ahkam min
Muhimmat As-Sunan wa Qawa’id Al-Islam
5) Syarh Al-Bukhari (baru sedikit yang ditulis)
6) Al-Adzkar An-Nawawi
7) Al-Irsyad
8) At-Taqrīb
9) Al-Isyarat ial Bayan
Al-Asma’ Al-Mubhamat
10) Raudhah Ath-Thalibin
11) Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab (belum sempurna, kemudian disempurnakan oleh Al-Subki
dan Al-Muthi’i)
12) Al-Minhaj
13) Al-Idhah
14) At-Tahqiq
15) Adab Hamalah Al-Qur’an
16) Bustanu Al-Arifin
17) Tahdzb Al-Asma’ wa Al-Lughat
18) Thabaqat Al-Fuqaha’ Tahrir At-Tanbih
[1] Nasir bin Su’ud bin
Abdullah Al-Salamah, Al-Hadits wa Al-Atsar allati ‘alaiha Al-Imam Al-Nawawi,
Riyadh, Dar al-Atlas, 1999, hlm. 7
[2] Muhammad bin Ahmad
bin Abdullah bin Abd Al-Bari Al-Ahdal, Al-Kawākib ad-Durriyat ‘ala
Mutammimah al-Ajrumiyyah, ....
[3] Al-Imam Al-Nawawi, Al-Minhal
Al-Rāwī Min Taqrīb Al-Nawawi, Muhaqqīq Dr. Musthafā Al-Khān, Dar Al-Malākh,
t.t, hlm. 11
[4] Abdullah Mustofa
Al-Maraghi, Fath Al-Mubin fi Tabaqat Al-Usuliyyin, Penerjemah Husein
Muhammad dengan judul Pakar-pakar Fikih Sepanjang Sejarah, Yogyakarta,
LKPSM, 2001, hlm. 209
[6] Syaikh al Farid, 60
Biografi Ulama Salaf, penerjemah Masturi Irham dk., Jakarta, Pustaka
Al-Kautsar, 2006, hlm.762
[11] Ibni Qādhi Syuhbah, Thabaqāt
Al-Syafi’iyah, Beirut, ‘Ālim Al-Kutub, t.t, ditashih oleh Dr.
Al-Khafīdz Abdul Halim, hlm. 153-154
[17] Syaikh al Farid, 60
Biografi Ulama Salaf, penerjemah Masturi Irham dk., Jakarta, Pustaka
Al-Kautsar, 2006, hlm.762
[18]Mohammad Sukri Abdurrahman dkk., Kepakaran
dan Sumbangan Imam Al-Nawawi dalam Bidang Fikih, hlm. 5-6 http://www.kuis.edu.my.
Diunduh tanggal 10 Mei 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar