Kamis, 29 Maret 2018

Biografi Imam Al-Nawawi Al-Syafi’i



   BIOGRAFI IMAM AL-NAWAWI
a.        Riwayat hidup Imam Al-Nawawi
Bernama lengkap Yahya bin  Syaraf bin Muri bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jum’ah bin Hizam al-Haurani ad-Dimasyqi Al-Syafi’i[1]. Panggilannya adalah Abu Zakaria, karena kebiasaan orang Arab ketika ada orang namanya Yahya dijuluki Abu Zakariya, meniru Yahya Nabi Allah yang ayahnya bernama Zakaria. Demikian pula dipanggil Abu Ya’kub kepada orang yang namanya Yusuf.[2] Gelar beliau adalah Muhyiddin[3]. Namun, ia sendiri tidak suka dengan gelar ini karena sikap tawadlu’ beliau meskipun beliau pantas dengan gelar ini.
Para sejarawan bersepakat bahwa kelahiran Imam Al-Nawawi pada bulan Muharram tahun 631 Hijriyah bertepatan dengan tahun 1233  M. Di Nawa sebuah desa di kecamatan Hauran, Siria.[4] Beliau terkenal dengan panggilan Al-Nawawi yang dinisbatkan kepada kota kelahirannya, yaitu kota Nawa. Ahli sejarah tidak menyebut tentang keluarga Imam Al-Nawawi, dalam catatan mereka kecuali apa yang diceritakan oleh Ibn Al-‘Athar tentang kakeknya yang tinggal di Jaulan di kota Nawa. Selain itu ayahnya terkenal dengan julukan Syaikh, ahli zuhud, wira’i dan waliyullah. Beliau merupakan ahli perniagaan. Beliau meninggal sembilan tahun setelah kewafatan Imam Al-Nawawi dan usia beliau melewati 70 tahun[5]
Beliau berkulit sawo matang, berjenggot tebal, berperawakan tegak, berwibawa, jarang tertawa, tidak bermain-main dan terus bersungguh-sungguh dalam hidupnya.  Sejak kecil Imam Al-Nawawi sudah ada tanda-tanda bimbingan-Nya kepadanya. Hal itu terjadi pada malam dua puluh tujuh Ramadhan, yaitu ketika beliau tidur disamping ayahnya sebagaimana pendapat Syaikh Al-Farid dari riwayatnya Ibnu Al-‘Athar dari orang tua Imam Al-Nawawi tersingkap rahasia Allah dalam bulan Ramadhan berupa peristiwa Lailatur Qadar. Pada saat tengah malam, Imam Al-Nawawi kaget dengan adanya cahaya yang memenuhi rumahnya. Kemudian, Imam Al-Nawawi membangunkan ayahnya dan menanyakan peristiwa tersebut. Beliau berkata “wahai ayah , apakah cahaya yang memenuhi rumah ini?” semua keluarganya ikut bangun. Anehnya, mereka tidak melihat apapun. Dari peritiwa itu ayahnya merasa bahwa kelak anaknya akan menjadi orang besar.[6]
b.       Pendidikannya
Imam Al-Nawawi sejak kecil belajar di kampungnya dengan ulama-ulama setempat, beliau belajar Al-Qur’an dan fikih dengan giat, menggunakan waktunya untuk belajar dan tidak menyia-nyiakannya. Tidak suka bermain-main layaknya anak kecil.
Pernah pada suatu hari Syaikh Yasin bin Yusuf Al-Marakisyi melihat, ada anak-anak kecil yang sebaya memaksanya untuk bermain bersama, tetapi ia lari dan menangis karena mereka memaksanya bermain bersama. Ia puleng menemui ayahnya dan mengatakan bahwa ia ingin berusaha keras mencari ilmu. Kemudian syaikh Yasin bin Yusuf Al-Marākisyī mengatakan, “anak kecil ini diharapkan akan menjadi orang yang paling alim dan paling zuhud pada masanya dan berguna bagi masyarakatnya”.[7]
Al-Nawawi sudah hafal Al-Qura’an pada usia sepuluh tahun di Nawa Al-Nawawi tinggal di Nawa hingga berusia 18 tahun. Kemudian pada tahun 649 H ia memulai pengembaraan mencari ilmu ke Damaskus dengan menghadiri para ulama kota tersebut[8]. Beliau menempat di madrasah Ar-rawahiyyah di dekat Al-Jami’ Al-Umawiy sekitar dua tahun. Dalam waktu empat bulan setengah ia sudah hafal kitab At-Tanbīh kemudian dilanjutkan menghafal kitab Al-Muhadzab. Ia selalu bersama dengan Syaikh Kamaluddin Ishak bin Ahmad Al-Magrabi dan membantu mengajar jamaahnya.[9] Pada tahun 651 H. Al-Nawawi melakukan ibadah haji bersama ayahnya. Ia berangkat pada awal bulan Rajab dan menetap di Madinah selama sebulan setengah.[10] Disebutkan bahwa ia setiap hari menghadiri dua belas gurunya untuk belajar, baik syarh maupun tashīh.  Terhadap kitab Al-Washīth, Al-Muhadzab, Al-Jam‘u bain Ash-Shahīhain, Shahīh Muslīm, Al-Luma‘ li Ibni Al-Janī, Ishtishlāh Al-Manthīq li Ibni As-Sakīt, At-Tashrīf, Ushul Fikih, Al-Luma‘ li Abī Ishāq, Al-Muntakhab karangan Fakhruddin, Asmā’ Ar-Rijāl, Usuliddin. Ia memberi komentar terhadap syarah yang musykīl dan menjelaskan ibārat-nya.[11]
Imam Al-Nawawi mengambil bagian dunia hanya sedikit saja. Seluruh hidupnya hanya untuk ilmu, ibadah, mengarang kitab dan berzuhud. Ia hidup dalam kesederhanaan dan kesucian ditengah tengah kitab-kitab dan madrasa-madrasah ilmu. Kerakusannya terhadap ilmu dan amal saleh membuatnya ia kenyang.[12]
c.        Pengakuan terhadap Imam Al-Nawawi
Ibnu Al-‘Athar yang merupakan murid Imam Al-Nawawi sebagaimana dikutip oleh Syaikh Al-Farid mengatakan, “Imam Al-Nawawi adalah guruku dan dan panutanku yang mempunyai karya-karya yang bermanfaat dan terpuji, ulama yang tiada bandingannya pada masanya, orang yang banyak berpuasa, shalat, zuhud dari dunia, suka akhirat, mempunyai akhlak yang terpuji dan kebaikan yang disukai.[13]
Syaikh Qutbuddin Musa Al-Yunini Al-Hambali mengatakan, “Imam Al-Nawawi adalah ahli hadits, ahli zuhud, wira’i, ulama yang dibanggakan ilmunya, pemilik karya-karya yang bermanfaat, ulama yang tiada duanya di masanya dalam ke-warā-annya, kezuhudan, ibadah dan usaha keras dalam menulis kitab-kitab. Semua itu ia sertai dengan tawadlu’, kesederhanaan pakaian dan makanan, amar ma’ruf nahi munkar.”[14]
Al-Yafi’i mengatakan, Imam Al-Nawawi adalah syaikh Al-Islam, mufti besar, ahli hadits, ulama yang sangat teliti, cerdas, banyak wawasan, memberikan faidah, kepada ulama dan orang awam, pembersih mazhab, pembuat kaidahnya, penyusun metodologinya, ulama’ yang wira’i dan zuhud, mengamalkan ilmunya dan ahli tahqiq utama.[15]
Al-Hafizh Ibnu Katsir mengatakan, “Al-Nawawi adalah seorang ulama besar, ahli zuhud,  wira’i, tidak pernah makan buah-buahan ketika dalam kebunnya ada monopoli, sehari semalam hanya makan satu kali, tidak menikah, sedikit tidurnya, waktunya banyak digunakan untuk ibadah, membaca, dzikir dan menulis kitab.”[16]
Tajudin Al-Subki sebagimana yang dikutip oleh Syaikh Ahmad Al-Farid mengatakan, “Al-Nawawi adalah seorang panutan, menahan hawa nafsu, zuhud, tidak memperdulikan dunia, menjaga agamanya, qana’ah berpaham Ahli Sunnah Wal jama’ah, sabar, tidak menyia-nyiakan waktunya, cakap dalam berbagai cabang ilmu;  fikih, hadits, biografi perawi hadits, bahasa, tasawuf dan lain-lain.”[17]
d.        Guru dan Murid serta karya Imam an-Nawawi
Guru Imam Al-Nawawi baik mulai di kota kelahirannya maupun di Damaskus banyak sekali, diantaranya:[18]
1)       Tajudin Al-Fazari terkenal dengan Al-Farkah
2)       Al-Kamal Al-Ishaq Al-Maghribi
3)       Umar bin As’ad Al-Arbali
4)       Abu Al-Hasan Salam bin Al-Hasan Al-Arbali
5)       Ibrahim bin Umar Al-Wasiti Abu Ishaq
6)       Ibrahim bin Isa Al-Muradi Al Andalusi Al-Syafi’i Abu Ishaq
7)       Ahmad bin Salim Al-Misri Abu Al-‘Abbas
8)       Ahmad bin Abd Al-Daim Al-Maqdisi Abu Al-‘Abbas
9)       Ishaq bin Ahmad bin ‘Uthman Al-Magribi Abu Ibrahim
10)    Ismail bin Abu Al-Yusr Al-Tanuhi Abu Muhammad Taqyuddin
11)    Jamaluddin bin As-Sairafi
12)    Khalid bin Yusuf An-Nablusi Abu Al-Baqa’
13)    Al-Rādi bin Al-Burhan
14)    Sallar bin aAl-Hasan Al-Irbīli Al-Halabi Al-Dimasyqi
15)    Shamaludin bin Abu Umar
16)    Al-Diya’ bin Tamam Al-Hanafi
17)    Abdurrahman bin Ibrahim bin Al-Farkah
18)    Abdurrahman bin Ahmad bin Muhammad bin Al-Qudamat Al-Muqaddisi Al-Hambali
19)    Abdurrahman bin Ismail Ad-Dimasyqi
20)    Abdurrahman bin Salim Al-Anbari Abu Muhammad
21)    Abdurrahman bin Muhammad bin Al-Hasan Al-Badirai Al-Bagdadi
22)    Abdurrahman bin Nuh Al-Muqaddisi Al-Dimasyqi Abu Muhammad Syamsuddin
23)    Abdul Azis bin Muhammad Al-Anshari Abu Muhammad
24)    Abdul Karim bin Abdushamad Al-Haritsani Abu Al-Fadlail
25)    Izzuddin bin Sa’ad Al-Raba’i Al-Irbili
26)    Imāduddin bin Abdul Karim Al-Haritsani
27)    Umar bin As’ad Al-Raba’i Al-Irbili
28)    Umar bin At-Taflisi Al-Syafi’i
29)    Muhammad bin Malik Al-Jayyani Abu Abdullah
30)    Muhammad bin Muhammad Al-Fikri Al-Hafiz
31)    Yahya bin Abu Al-Fath Al-Harani Al-Sairafi
Adapun murid-murid Imam Al-Nawawi banyak sekali seperti yang dikutip oleh Dr. Mohammad Syukri Abdurrahman dkk. Yang mengambil pendapat dari Syaikh Ahmad Ratib Al-Hammush antara lain:[19]
1)       Ahmad bin Ibrahim bin Mas’ab Abu Al-Abbas
2)       Ahmad Al-Darīr Al-Wasiti Abu Al-Abbas
3)       Ahmad bin Farh Al-‘Isybīli Abu Al-Abbas
4)       Ahmad bin Muhammad Al-Ja’fari Abu Al-Abbas
5)       Ismail bin Mu’allim Al-Hanafi Al-Rasyid
6)       Sulaiman Al-Ja’fari Sadr Al-Din
7)       Sulaiman bin Umar Al-Dar’i Jamaluddin
8)       Syihabuddin Al-‘Irbidi
9)       Syihabuddin bin Ja’wan
10)    Abdurrahman bin Muhammad Al-Maqdisi Abu Al-Faraj
11)    ‘Ulauddin bin Al-Aththar
12)    Muhammad bin Ibrahim bin Jama’at (Al-Badr)
13)    Muhammad bin Abu Bakar bin An-Naqib (Al-Syams)
14)    Muhammad Abdul Khaliq Al-Anshari
15)    Muhammad bin Abu Al-Fath Al-Hambali Abu Abdullah
16)    Hibatullah bin Abdurrahim Al-Bari (Al-Sharif)
17)    Yusuf bin Abdurrahman Al-Mizzi Abu Al-Hajjaj
Sejak berusia 25 tahun hingga wafat Imam Al-Nawawi telah memberi kontribusi yang amat besar dalam penulisan, beliau telah menghasilkan enam ratus enam puluh buah kitab sebagaimana di katakan oleh Imam Al-Dzahabi.[20] Diantara karya-karya beliau:[21]
1)       Syarh Muslim yang dinamakan Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim Al-Hajjaj
2)       Riyadh Ash-Shalihīn
3)       Al-Arbaīn An-Nawawiyah
4)       Khulashah Al-Ahkam min Muhimmat As-Sunan wa Qawa’id Al-Islam
5)       Syarh Al-Bukhari (baru sedikit yang ditulis)
6)       Al-Adzkar An-Nawawi
7)       Al-Irsyad
8)       At-Taqrīb
9)       Al-Isyarat ial Bayan Al-Asma’ Al-Mubhamat
10)    Raudhah Ath-Thalibin
11)    Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab (belum sempurna, kemudian disempurnakan oleh Al-Subki dan Al-Muthi’i)
12)    Al-Minhaj
13)    Al-Idhah
14)    At-Tahqiq
15)    Adab Hamalah Al-Qur’an
16)    Bustanu Al-Arifin
17)    Tahdzb Al-Asma’ wa Al-Lughat
18)    Thabaqat Al-Fuqaha’ Tahrir At-Tanbih



[1] Nasir bin Su’ud bin Abdullah Al-Salamah, Al-Hadits wa Al-Atsar allati ‘alaiha Al-Imam Al-Nawawi, Riyadh, Dar al-Atlas, 1999, hlm. 7
[2] Muhammad bin Ahmad bin Abdullah bin Abd Al-Bari Al-Ahdal, Al-Kawākib ad-Durriyat ‘ala Mutammimah al-Ajrumiyyah, ....
[3] Al-Imam Al-Nawawi, Al-Minhal Al-Rāwī Min Taqrīb Al-Nawawi, Muhaqqīq Dr. Musthafā Al-Khān, Dar Al-Malākh, t.t, hlm. 11
[4] Abdullah Mustofa Al-Maraghi, Fath Al-Mubin fi Tabaqat Al-Usuliyyin, Penerjemah Husein Muhammad dengan judul Pakar-pakar Fikih Sepanjang Sejarah, Yogyakarta, LKPSM, 2001, hlm. 209
[5] Al-Daqr Abdul Ghani, Al-Imam Al-Nawawi, Beirut, Dar Al-Qalām, hlm. 21-22
[6] Syaikh al Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, penerjemah Masturi Irham dk., Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2006, hlm.762
[7] Al-Imam An-Nawawi, Al-Minhal Ar-Rāwī... hlm. 11
[8] Nasir bin Su’ud bin Abdullah Al-Salamah, Al-Hadits wa...., hlm. 6
[9] Ibnu Katsir, Thabaqāt Al-Syāfi’yyah, Beirut, Dar Al-Madar Al-Islamī, 2004, hlm. 825
[10] Al-Daqr Abdul Ghani, Al-Imam Al-Nawawi,... hlm. 28
[11] Ibni Qādhi Syuhbah, Thabaqāt Al-Syafi’iyah, Beirut, ‘Ālim Al-Kutub, t.t, ditashih oleh Dr. Al-Khafīdz  Abdul Halim, hlm. 153-154
[12] Syaikh al Farid, 60 Biografi...., hlm. 777
[13] Al-Daqr Abdul Ghani, Al-Imam Al-Nawawi... hlm. 136-137
[14] Al-Dzahabi, Tadzkirah Al-Khufadz, Beirut, Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, Jilid IV, hlm. 1473
[15] Al-Daqr Abdul Ghani, Al-Imam An-Nawawi... hlm. 144
[16] Ibnu Katsir, Thabaqāt Al-Syāfi’yyah, Beirut, Dar Al-Madar Al-Islamī, 2004, hlm. 827
[17] Syaikh al Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, penerjemah Masturi Irham dk., Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2006, hlm.762
[18]Mohammad Sukri Abdurrahman dkk., Kepakaran dan Sumbangan Imam Al-Nawawi dalam Bidang Fikih, hlm. 5-6 http://www.kuis.edu.my. Diunduh tanggal 10 Mei 2016
[19]Mohammad Sukri Abdurrahman dkk., Kepakaran ....hlm. 9-10
[20] Al-Daqr Abdul Ghani, Al-Imam Al-Nawawi... hlm. 144
[21] Syaikh Al Farid, 60 Biografi....., hlm. 775-776

Tidak ada komentar:

Posting Komentar