IMAM SAHNUN
1.
Biografi Imam
Sahnun
Imam Sahun dikenal juga dengan Abu
Sa’id Sahnun. Adapun nama lengkapnya adalah Abdussalam Ibn Sa’id Ibn Habib
al-Tanukhi al-Arabi. Beliau bertempat tinggal di maghribi (Maroko). Beliau
berasal dari Syam, tepatnya dari Humush. Imam Sahnun lahir pada tahun160 H
(776/777 M.). Ayah beliau, Sa’id, adalah seorang tentara dari Syam dan beliau
bukanlah seorang yang kaya, namun Sahnun muda sangat menikmati hidupnya dan
pembelajarannya pada para ulama’ di kotanya yang sederhana tersebut.[1]Abu
Sa’id datang bersama rombongan pasukan Humush. Julukan yang diberikan pada
beliau adalah panggilan umumnya yakni “Sahnun”. Julukan tersebut diambil dari
nama seekor burung yang cerdas dan berakal tajam. Hal ini disebabkan pemikiran
Imam Sahnun yang terkenal sangat tajam dalam berbagai masalah.[2]
Imam Sahnun orang yang sangat terpercaya, jujur, wara’, tegas dalam
kebenaran dan zuhud. Abu Bakar al-Maliki berkata, “Kendati demikian, ia tetap
lembut hati, mudah berlinang air mata, khusyu’, tawaddu’, tidak banyak
pura-pura namun sangat keras terhadap ahli bid’ah”. Asyhab pernah ditanya
seseorang, “Siapa orang yang datang kepada kalian dari Maghrib?”. Beliau
menjawab, “Sahnun”. Bukannya Asad Ibn Furad?” tanya seorang itu lagi. Ia
menjawab, “Sahnun, demi Allah, ia lebih ahli fikih sembilan puluh sembilan tingkat
dari Asad Ibn Furat”.[3]
Asad Ibn Furad adalah salah seorang murid Imam Malik yang memiliki banyak bakat
potensi. Selain seorang faqih ia juga ahli menunggang kuda. Beliaulah yang
menjadi pimpinan pasukan muslim dalam menakhlukan Sisilia, dimana beliau gugur
sebagai syuhada’.[4]
Sahnun pernah menjadi hakim setelah sebelumnya dipaksa menjabat.
Padahal tadinya ia menolak jabatan itu di tahun 234 Hijriah. Ketika itu usianya
74 Tahun. Jabatan hakim diembannya sampai ia meninggal di tahun 240 Hijriah,
atau hanya selama enam tahun. Dalam mengemban tugasnya sebagai hakim, beliau
tidak pernah mengambil gajinya, juga tidak mau berhubungan dengan sultan.[5]
Imam Sahnun
Abdul Salam Ibn Sa’id at-Tanukhi meninggal pada hari senin tahun 240 H. dalam
usia 80 tahun.[6]
2.
Pendidikan Imam
Sahnun
Imam Sahnun
belajar fiqih kepada ulama’ Mesir dan Madinah hingga menjadi ahli fiqih dan
tokoh terkenal pada zamannya. Beliau menulis kitab al-Mudawwanah dalam
madzhab yang menjadi sandaran madzhab Maliki.[7]Pengembaraannya
dalam mendulang ilmu tentang fiqh Imam malik berawal dari surat rekomendasi
gurunya yakni al-Buhlul Ibn Rasyid kepada Ali Ibn Ziyad untuk mengajari murid
kesayangannya yakni Sahnun di tunisia. Tanpa mengurangi rasa hormat Ali Ibn
Ziyad kepada al-Buhlul, Ali datang untuk mengajari Sahnun muda tentang apa yang
beliau pelajari dari Imam Malik. Proses pembelajaran ini yang membuat Sahnun
muda semakin haus akan fiqh Imam Malik. Pada tahun 178 H., Sahnun muda
mengembara ke mesir untuk mendalaminya dengan belajar kepada murid-murid
terkemuka Imam Malik, seperti Ibnu Al-Qasim, Ibn Wahab dan Ashab. Pada saat itu
Sahnun muda telah membawa beberapa bagian dari kitab al-Muwaththa’ yang
telah dipelajarinya dari Anas Ibn Furat.[8]
Sebenarnya
beliau sangat ingin belajar langsung kepada Imam Malik sebelum sang Imam
Meninggal, namun ketika itu beliau belum memiliki cukup biaya untuk mengembara.
Oleh sebab itu beliau hanya bisa belajar dan mendengar dari Ibnu al-Qasim,
murid Imam Malik. Jawaban-jawaban Imam Malik terhadap masalah-masalah yang ada
dibenak Sahnun, bisa didengar dan didapat dari Ibnu Al-Qasim.[9]
Imam Sahnun
pernah berkata, “Aku tengah berada ditempat Ibnu Al-Qasim dan jawaban-jawaban
Imam Malik terhadap berbagai masalah selalu ditanyakan kepadanya”. Kemudian
Sahnun ditanya, “Mengapa kamu tidak mendengar langsung dari Imam Malik?” Imam
Sahnun menjawab “Aku tidak memiliki banyak uang”. Pada kesempatan lain beliau
menuturkan “itu karena kemiskinanku. Jika bukan karena kemiskinan, maka aku
bisa belajar dari Malik”. Selain dari Ibnu Qasim, beliau juga belajar kepada
Ibnu Wahab, Asyhab, Abdullah Ibn Abdul Hakam dan murid-murid Imam Malik lainnya.[10]
Setelah
berbekal ilmu dari negeri Mesir dan kota-kota lainnya, ia kembali ke Maghrib.
Disana, kepemimpinan ilmu diserahkan kepadanya. Pendapat-pendapatnya dijadikan
sandaran. Imam Sahnun pun menulis kitab Al-Mudawwanah dan ia memiliki
sejumlah murid dan sahabat yang tidak dimiliki murid-murid Imam Malik lainnya.[11]
Sebagai guru
utamanya dalam mempelajari fiqh Imam Malik Abu Abdullah, Abdurrahman Ibnu
al-Qasim (meninggal di Mesir pada than 191 H.) adalah seorang yang belajar ilmu
fiqh dari Imam Malik selama 20 tahun. Dan dari al-Laits Ibn Sa’ad seorang ahli
ilmu fiqh mesir (meninggal pada tahun 175 H.). Yahya Ibn Yahya menganggapnya
sebagai seorang yang paling alim tentang ilmu Imam Malik dikalangan sahabatnya
dan orang yang paling amanah terhadap ilmu Imam Malik. Beliau telah meneliti
dan mentashih kitab al-Mudawwanah yaitu kitab terbesar dalam madzhab
Malik. Imam Sahnun al-Maghribi mempelajari kitab ini dan kemudian menyusun
ulang berdasarkan susunan fiqh Abu Abdullah.[12]
Abdurrahman
Ibnu al-Qasim adalah murid Imam Malik yang paling hebat dan terkenal. Kedudukan
Abdurrahman Ibnu al-Qasim dalam madzhab Malik seperti kedudukan Muhammad Ibn
al-Hasan dalam madzhab Hanafi, karena keduanya adalah rawi dan pengusung
madzhab guru-gurunya. Ibnu Qasim menjadi hujah dan fondasi utama madzhab
Maliki. Banyak orang yang meriwayatkan darinya dan kepadanya segala masalah dan
fatwa Imam Malik dirujuk.[13]
3.
Karangan Imam
Sahnun
Kitab al-Mudawwanah adalah
buku yang ditulis oleh Imam Sahnun dan diperiksa serta diteliti oleh Ibnu
al-Qasim. Sehingga tidak jarang orang-orang menganggap Ibnu Qasim sebagai
pemilik dan penulis al-Mudawwanah.[14]Brockelmann,
dalam bukunya Arabic Literature, mengatakan bahwa Asad Ibn Furat dan Ibn
Qasim memiliki tugas untuk menyebarkan madzhab Maliki di daerah barat. Namun,
hal itu benar-benar terjadi berkat jasa Imam Sahnun karena telah mengarang
kitab al-Mudawwanah, yang mana kitab tersebut berpondasikan kitab karangan
Imam Malik yakni al-Muwaththa’. Sebelum era 1300-an, kitab ini sangat
sulit dijumpai. Namun sejak tahun 1324 M. edisi pertama kitab ini telah
diterbitkan di cairo dengan cetakan sebanyak empat volume. Dan edisi kedua pada
tahun 1905 M. Sebelumnya kitab ini mulai beredar pada era 400-an dan kesemuanya
disalin dengan tulisan tangan.[15]
Kisah lain tentang
kitab al-Mudawwanah diceritakan dalam sebuah kitab karangan Imam
adz-Dzahabi yang menyebutkan bahwa asal muasal kitab al-Mudawwanah
karangan Imam Sahnun adalah pertanyaan-pertanyaan yang ditanyakan oleh Asad Ibn
Furat kepada Ibnu Qasim. Ketika Imam Sahnun pergi membawanya, beliau
mentashihkan pengetahuannya akan kitab tersebut kepada narasumber utamanya yakni
Ibnu Qasim. Ibnu Qasim lalu membetulkan kesalahan yang ada didalamnya, juga
menggugurkannya. Kemudian Imam Sahnun menyusun kembali dan memberinya bab-bab.
Beliau juga menyatukan dasar-dasar untuk jawaban yang ditanyakan dan beberapa
diantara dasar-dasar tersebut adalah atsar-atsar yang diriwayatkannya sendiri.[16]
[1]E.J.Brill’s,
First Encyclopedy Of Islam, (Laiden: Photomechanical reprint Vol VII
1987), hlm. 64
[2]Tariq
Suwaidan, Biografi Imam Malik: Kisah Perjalanan dan Pelajaran Hidup Sang
Imam Madinah, (Jakarta: Zaman 2012), hlm.287
[3]Tariq
Suwaidan, Biografi Imam Malik: ….,hlm.288
[4]Tariq
Suwaidan, Biografi Imam Malik: …., hlm. 283
[5]Tariq
Suwaidan, Biografi Imam Malik: …., hlm. 288
[6]Adz-Dzahabi,
As-Siyar A’lam An-Nubala’, Terj. Fathurrahman dan Abdul Somad (Jakarta:
Pustaka Azzam Jil 3 2008), hlm 17, lihat juga E.J.Brill’s, First Encyclopedy
Of Islam…., hlm. 65
[7]Wahbah Zuhaili, Fiqh
Al-Islam Wa Adillatuhu, (Beirut: Dar Al-Fikr, Juz. 1), hlm. 34
[8]E.J.Brill’s,
First Encyclopedy Of Islam….,
hlm. 64
[9]Tariq
Suwaidan, Biografi Imam Malik: ….,hlm.287
[10]Tariq
Suwaidan, Biografi Imam Malik: ….,hlm.287
[11]Tariq
Suwaidan, Biografi Imam Malik: ….,hlm.287-288
[12]Wahbah Zuhaili, Fiqh
Al-Islam Wa Adillatuhu, (Beirut: Dar Al-Fikr, Juz. 1), hlm. 32
[13]Tariq
Suwaidan, Biografi Imam Malik: ….,hlm. 270-271
[14]Tariq
Suwaidan, Biografi Imam Malik: ….,hlm. 268-270
[15]E.J.Brill’s,
First Encyclopedy Of Islam …., hlm. 65
[16]Adz-Dzahabi,
As-Siyar A’lam An-Nubala’, Terj. …., hlm. 17
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus