1.
Biografi dan
Pendidikan Imam Malik
Imam Malik memiliki nama lengkap Abu Abdillah Malik Ibn Anas Ibn Malik Ibn
Abi Amir Ibn Amr Ibn Harist Ibn Ghaiman Ibn Kutail Ibn Amr Ibn Harist al-Asbahi.
Beliau dilahirkan di Madinah pada tahun 93 H/712 M dan wafat tahun 179 H/796 M
tepatnya pada usia 86 tahun.[1]
Beliau hidup pada zaman pemerintahan daulah Abbasiyah, zaman dimana ilmu
pengetahuan mulai berkembang dengan pesat. Pada masa itu pula pengaruh ilmu
pengetahuan Arab, Parsi dan Hindi tumbuh dengan suburnya dikalangan masyarakat.[2]
Imam Malik lahir dan tumbuh di Madinah, kota dengan
sumber ilmu yang berlimpah lewat kehadiran ulama-ulama besarnya. Bahkan kakek
dan ayahnya termasuk kelompok ulama hadist terpandang dikota tersebut.[3] Oleh
karena itu, sejak kecil beliau tidak berniat meninggalkan Madinah untuk mencari
ilmu karena beliau merasa Madinah merupakan sumber ilmu. Keluarganya merupakan
ulama ahli hadis, sehingga Imam Malik pun menekuni hadist dan menimba ilmu pada
ayah dan paman-pamannya.
Sejak masa kecil, Malik dikenal sebagai pribadi yang
gemar menuntut ilmu. Kehidupan ilmiahnya dimulai dengan menghafal al-Qur’an,
kemudian menghafal Hadis Rasulullah SAW. Dalam catatan sejarah Ahmad Syarbashi
(ahli sejarah madzhab-madzhab fikih Mesir), suatu ketika Malik menghadiri
pelajaran hadis pada seorang tokoh hadis yang bernama Ibn Syihab al-Zuhri
(51-124H), dengan hanya mendengar bacaan hadis gurunya itu, ia mampu menghafal
29 dari 30 hadis yang dibacakan. Hampir seluruh ahli hadis dan fikih di Madinah
didatangi Malik untuk menimba ilmu.[4] Tercatat
Imam Malik pernah berguru pada ulama-ulama terkenal pada masa itu seperti: Abd al-Rahman Ibn Hurmuz, Nafi’ Maulana Ibn ‘Umar, serta Ibn Syihab al-Zuhri dan masih banyak ulama lain. Sedangkan murid-murid Imam Malik diantaranya
adalah Abu Muhammad Abdullah Ibn wahab, Asbah Ibn farj, Imam Syafi’i, Muhammad
Ibn Ibrahim dan lain-lain.[5]
2.
Karya-karya dan
Pokok Pemikiran Imam Malik
Banyak yang
tidak mengetahui bahwa sebenarnya Imam Malik memiliki karya yang banyak,
tercatat diantara karya-karya beliau adalah: Kitab 'Aqdiyah, Nujum, Hisab
Madar al-Zaman, Manazil al-Qamar, Tafsir li Gharib al-Qur’an, Manasik, Ahkam
al-Qur’an, tafsir al-Qur’an, al-Mudawanah al-Kubra, Risalah ibn Matruf Gassan,
Risalah ila al-Lais, Risalah ila ibn Wahb, dan al-Muwwatha’. Namun
demikian, karya yang sampai kepada kita hanya dua yakni, al-Muwatta' dan
al-Mudawwanah al-Kubra.[6]
Al-Muwwatha’ merupakan
kitab hadist sekaligus fikih dimana didalam kitab tersebut, Imam Malik menghimpun
hadist-hadist dalam tema-tema fiqh yang beliau bahas seperti praktek atau
amalan penduduk Madinah, pendapat tabi'in yang beliau temui, serta pendapat
sahabat serta tabi'in yang tidak sempat ditemuinya.[7]
Sedangkan kitab al-Mudawwanah al-Kubra sejatinya merupakan catatan
seorang murid beliau yang bernama Abd al-Salam Ibn Sa’id al-Tanukhi yang lebih
dikenal dengan nama Sahnun (wafat pada tahun 240 H), kitab ini kemudian diteliti
oleh Abdu al-Rahman Ibnu al-Qasim (128-191 H). Sehingga tidak jarang
orang-orang menganggap Ibnu Qasim sebagai pemilik dan penulis al-Mudawwanah.[8]
Adapun pokok-pokok pemikiran Imam Malik, khusunya dalam membentuk madzhabnya hanya diketahui dari kesimpulan para murid atau pengikutnya berdasarkan karya-karyanya dibidang fikih maupun di bidang hadist, seperti dari kitab al-Muwaṭṭa’ dan al-Mudawwanah al-Kubra. Sebelum melakukan ijtihad, Imam Malik lebih dulu meneliti apa yang tertera dalam al-Qur’an, sunnah, amalan penduduk Madinah, dan fatwa sahabat. Setelah hukum suatu maslah tidak ditemukan dalam sumber-sumber tersebut, barulah beliau melakukan ijtihad dengan qiyas, istiḥsan, istiḥlah (al-maslaḥah al-mursalah), dan sadd al-dzari’ah (mencari inti masalah dan dampak suatu perbuatan).[9]
Adapun pokok-pokok pemikiran Imam Malik, khusunya dalam membentuk madzhabnya hanya diketahui dari kesimpulan para murid atau pengikutnya berdasarkan karya-karyanya dibidang fikih maupun di bidang hadist, seperti dari kitab al-Muwaṭṭa’ dan al-Mudawwanah al-Kubra. Sebelum melakukan ijtihad, Imam Malik lebih dulu meneliti apa yang tertera dalam al-Qur’an, sunnah, amalan penduduk Madinah, dan fatwa sahabat. Setelah hukum suatu maslah tidak ditemukan dalam sumber-sumber tersebut, barulah beliau melakukan ijtihad dengan qiyas, istiḥsan, istiḥlah (al-maslaḥah al-mursalah), dan sadd al-dzari’ah (mencari inti masalah dan dampak suatu perbuatan).[9]
[1]
Abdul Mujib, Kawasan
dan Wawasan Studi Islam, Bandung: Kencana, 2007, hlm. 184.
[2]
Ahmad al-Syurbasi, Sejarah dan Biografi
Empat Imam Madzhab, Penerjemah: Sabil Huda, H.A. Ahmadi, Jakarta: Amzah,
2008, hlm. 72.
[3]
Tim Ilmiah Purnasiswa,
Sejarah Tasyri’ Islam, Lirboyo: Forum Pengembangan Intelektual, 2006, hlm. 260.
[4]
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam,
cet. 1, Jakarta: Ichtiyar Baru Van Hoeve, 1996, hlm. 1092.
[5]
Hasan Al-Jamal, Biografi
10 Imam Besar, Jakarta: Pustaka al-Kaustar, 2003, hlm. 37.
[6]
M. Alfatih Suryadilaga (ed), Studi Kitab
Hadis, Yogyakarta: Teras, 2003, hlm. 6.
[7] Abdul Aziz Dahlan, op. Cit,
hlm. 1093.
[8] Tariq Suwaidan, Biografi Imam Malik: Kisah
Perjalanan dan Pelajaran Hidup Sang Imam Madinah, Jakarta: Zaman, 2012,
hlm.270.
[9]
Abdul Aziz Dahlan, op.Cit., hlm. 1093.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar