Biografi Imam Syafi’i
1.
Biografi
Imam Syafi’i
Imam Syafi’i bernama asli Muhammad bin Idris
bin Abbas bin Ustman bin Syafi’i bin Sa’ib bin ‘Ubaid bin Abu Yazid bin Hasyim
bin al-Harits bin ‘Abdul Manaf. [1]
Beliau dilahirkan di kota Gaza, Palestina pada tahun 150 H (767 M). Ayahnya
bernama Idris, dan ibunya bernama Fatimah binti Abdillah al-Mahdh. Beliau masih
merupakan keturunan bangsawan Quraisy dan saudara jauh Rasulullah yang bertemu
pada Abdul Manaf (kakek ketiga Rasulullah), dan dari ibunya Fatimah merupakan
cicit Ali bin Abi Thalib r.a.[2]
Ketika Imam as-Syafi’i masih dalam
kandungan, kedua orang tuanya meninggalkan Makkah menuju Palestina demi
memperjuangkan dan mencukupi kebutuhan keluarga. Setibanya di Gaza, ayahnya
jatuh sakit dan berpulang ke rahmatullah, kemudian beliau diasuh dan
dibesarkan oleh ibunya yang dalam kondisi memprihatinkan dan serba kekurangan.[3]
Pada
usia 2 tahun, Imam As-Syafi’i bersama ibunya kembali ke Makkah. Setidaknya ada
sejumlah alasan yang menjadi latar belakang sang Ibu untuk memilih kembali ke
Makkah. Pertama, disana masih banyak keluarga besar dari pihaknya
sendiri dan keluarga dari pihak suaminya sehingga Muhammad bin Idris kecil
dapat merasakan kehangatan kasih sayang dari keluarga besarnya. Kedua,
yakni menjadi tujuan utama sang Ibu yaitu kota suci Makkah merupakan pusat
pengetahuan dan kemuliaan pada masanya, dimana Masjidil Haram dipenuhi
ahli-ahli hukum Islam, ahli-ahli qira’ah, ahli Hadits, dan ahli tafsir. Ketiga,
di sekeliling kota Makkah masih banyak terdapat pedesaan dimana tata krama dan
kesopanan masih terjaga dengan baik, yang amat berguna bagi terasahnya kepekaan
sosial, kecerdasan, moral, dan mental.
Beberapa hal tadi yang menjadi pertimbangan sang Ibu untuk meninggalkan
Palestina dan kembali ke Makkah.[4]
2. Pendidikan
Imam Syafi’i
Kecerdasan
Imam as-Syafi’i dalam mempelajari ilmu pengetahuan sudah terlihat ketika masih
kecil. Beliau telah menghafal al-Qur’an dan beberapa hadits pada usia tujuh
tahun. Beliau juga sangat tekun mempelajari kaidah-kaidah dan nahwu bahasa
arab. Saat berusia sembilan tahun beliau telah menghafal seluruh ayat Al-Qur’an
dengan lancar. Setahun kemudia yaitu pada usia sepuluh tahun, beliau sudah
hafal dan mengerti kitab Al-Muwatha’ karya Imam Maliki.[5]
Kecerdasannya inilah yang membuat dirinya dalam usia sangat muda (15 tahun)
telah duduk di kursi mufti kota Makkah. Namun demikian Imam Syafi’i belum
merasa puas menuntut ilmu karena semakin dalam beliau menekuni suatu ilmu,
beliau merasa semakin banyak yang belum mengerti, sehingga tidak heran jika
jumlah gurunya sangat banyak sebagaimana jumlah muridnya.[6]
Imam Syafi’i belajar kepada ulama-ulama Makkah, baik pada ulama-ulama
fiqih, maupun ulama-ulama hadis, sehingga beliau terkenal dalam bidang fiqih
dan memperoleh kedudukan yang tinggi dalam bidang tersebut. Gurunya Muslim Ibn
Khalid Al-Zanji, menganjurkan kepada Imam Syafi’i untuk menjadi seorang Mufti
di Makkah. Akan tetapi, sekalipun beliau telah memperoleh kedudukan yang tinggi
itu, beliau terus mencari dan menjaga ilmu yang dimilikinya.[7]
Di Makkah Muhammad bin Idris
berguru kepada Sufyan bin Uyainah dan kepada Muslim bin Khalid. Setelah itu
pergi ke Madinah untuk berguru kepada Imam Malik. Sebelum pergi ke Madinah
beliau telah membaca dan hafal kitab al-Muwatha karya Imam Malik. Beliau
membawa surat dari wali Makkah ditujukan kepada wali Madinah agar mudah bertemu
dengan Imam Malik. Pada waktu itu Muhammad bin Idris berusia 20 tahun, dan
berguru kepada Imam Malik selama 7 tahun.[8]
Imam Syafi’i juga mempelajari
fiqh Imam Abu Hanifah dari Muhammad bin Hasan Asyaibani (murid Imam Abu
Hanifah) selama 2 tahun. Setelah itu Imam Syafi’i kembali ke Makkah, dan
bermukim disana selama 7 tahun. Pada musim haji beliau bertemu dengan
ulama-ulama yang pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Dengan demikian
fiqh Imam Syafi’i menyebar diseluruh wilayah Islam.
Pada tahun 195 H, beliau kembali ke
Baghdad dan berziarah ke makam Abu Hanifah. Pada saat itu beliau berusia 45
tahun. Di Baghdad beliau memberikan pelajaran kepada murid-muridnya. Diantara
muridnya yang sangat terkenal ialah Ahmad Ibn Hanbal. Setelah 2 tahun di
Baghdad Imam Syafi’i kembali ke
Madinah, dan pada tahun 199 H beliau ke Mesir dan menetap di Mesir. Di Mesir
beliau memberi pelajaran fatwa-fatwanya, yang kemudian terkenal dengan qaul
jadid. Sedangkan fatwa-fatwa beliau ketika di Baghdad dikenal dengan qaul
qadim.[9]
Diantara
hal-hal yang secara serius mendapat perhatian Imam Syafi’i adalah tentang
metode pemahaman AlQur’an dan Sunnah atau yang sering disebut dengan istinbath
(ushul fiqh). Meskipun para imam mujtahid sebelumnya dalam berijtihad terikat
dengan kaidah-kaidahnya, namun belum ada kaidah-kaidah yang tersusun dalam
sebuah buku sebagai satu disiplin ilmu
yang dapat dipedomani oleh para peminat hukum Islam. Dalam kondisi yang demikianlah
Imam Syafi’i menyusun sebuah buku ushul fiqih. Idenya ini juga didukung oleh
seorang ahli hadis bernama Abdurrahman bin Mahdi (W. 198 H) di Baghdad agar
Imam Syafi’i menyusun metodologi istinbath.[10]
Imam
Syafi’i wafat di Mesir, tepatnya pada hari Jum’at tanggal 30 Rajab 204H,
setelah menyebarkan dan manfaat kepada banyak orang. Kitab-kitab beliau hingga
saat ini masih banyak dibaca orang, dan makam beliau di Mesir samapai detik ini
masih diziarahi orang.[11]
Imam Syafi’i wafat pada usia 54 tahun dengan menghasilkan kurang lebih 113 buah
kitab yang merambah banyak disiplin ilmu, diantaranya mengenai fiqh, tafsir,
sastra (adab), sejarah, dan ushul fiqh.[12]
3.
Karya-karya
Imam Syafi’i
Diantara
kitab-kitab hasil karangan Imam Syafi’i adalah:
a.
Kitab ar-Risalah.
Kitab ar-Risalah merupakan kitab Ushul
Fiqh yang pertama kali dikarang oleh beliau. Oleh karenanya Imam Syafi’i
dikenal sebagai peletak ilmu ushul fiqh. Di dalamnya diterangkan
pokok-pokok pikiran Imam Syafi’i dalam menetapkan hukum.[13]
Kitab Ar-Risalah merupakan kitab yang sempurna dalam ilmu ushul fiqh.
Sebelumnya tidak ada karya, bentuk, metode, dan liputan pembahasannya
sebagaimana karya Imam Syafi’i ini. Imam Suyuthi (w. 911H) berkata:
“Sudah merupakan ijma’ bahwa Imam Syafi’i
adalah orang yang menulis tentang ushul fiqh. Beliaulah yang pertama kali
membicarakannya dan kemudian menyusunnya dalam suatu karya tulis tersendiri”.
Imam Malik dalam al-Muwattha’hanya menyinggung sebagian kaidah-kaidahnya. Juga
yang lainnya yang hidup satu kurun dengannya, seperti Abu Yusuf dan Muhammad
Al-Hasan.[14]
b.
Kitab al-Umm
Kitab al-Umm yang berarti induk
adalah sebuah kitab Syafi’i yang sebagian besar isinya adalah kumpulan sejumlah
kitab-kitab kecil lain yang disusunnya sejak sebelum menetap di Mesir. Sesampainya
di Mesir beliau menghimpun semua kitab-kitab kecil lalu diringkas dalam sebuah
karya yang utuh, dan meminta kepada muridnya yaitu ar-Rabi’bin Sulaiman
al-Muradi untuk menuliskan nya.[15]
Kitab ini berisi masalah-masalah fiqh yang dibahas berdasarkan pokok-pokok
pikiran beliau yang terdapat dalam ar-Risalah.[16]
Al-Umm memuat pendapat As-Syafi’i dalam berbagai masalah fiqh. Dalam kitab
ini juga memuat pendapat As-Syafi’i yang dikenal dengan sebutan al-qaul
al-qadim dan al-qaul al-jadid.[17]
[1] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami
wa Adillatuhu, (Damaskus: Dar al-fikr,1985), cet. Ke-2, jlm. 32 dikutip
oleh Muchlis M Hanafi dkk., Biografi Lima Imam .........,Jil.3, hlm. 4
[5] Dedi
Supriyadi, Perbandingan Madzhab dengan Pendekatan Baru, (Bandung:
Pustaka Setia, 2008), hlm. 109
[7] Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam Studi
tentang Qaul Qadim dan Qaul Jadid, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2002), hlm 28
[11] Abdul Aziz Dahlan, et.al, Ensiklopedia Hukum
Islam, (Jakarta: PT Ikhtiar Baru VanHoeve, 1997), hlm. 1680
[14] Muhammad Ibn Hasan al-Hajwy, Al-Fikr al-Sunnah fi
Tarikh al-Fikr al-Islamy, (Madinah: Maktabah al-Ilmiah, Jilid I, 1396),
hlm. 163 dikutip oleh Abuddin Nata, Masail al-Fiqhiyah, (Jakarta:
Prenadamedia Group, cet.4, 2014),hlm. 15
Tidak ada komentar:
Posting Komentar