IMAM
HANAFI
1. Biografi Imam Hanafi
Imam Hanafi bernama asli Abu Hanifah
al-Nu’man bin Tsabit, lahir di Irak pada tahun 80 H/699 M pada masa
pemerintahan Bani Umayyah, yaitu pada masa Abdul Malik bin Marwan.[1] Beliau diberi julukan Abu Hanifah, karena
beliau seorang yang rajin melakukan ibadah kepada Allah dan sungguh-sungguh
mengerjakan kewajibannya dalam agama, karena “Hani@f” dalam bahasa Arab artinya
cenderung atau condong kepada agama yang benar.[2]
Dalam riwayat lain juga disebutkan bahwa beliau terkenal dengan sebutan Abu
Hanifah, bukan karena mempunyai putra bernama Hanifah, akan tetapi asal nama
itu dari Abu al-Millah al-Hanifah, diambil dari ayat “Fattabi’u Millata Ibra@hi@ma Hani@fa@ ”.[3]
(Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus. Ali Imran ayat 95).
Imam
Hanafi bukan orang Arab, tetapi keturunan orang Persia yang menetap di Kufah.
Ayahnya dilahirkan pada masa Khalifah Ali. Kakeknya dan ayahnya didoakan oleh
Imam Ali agar mendapatkan keturunan yang diberkahi Allah SWT. Pada waktu kecil
beliau menghafal Al-Qurán seperti yang dilakukan anak-anak pada masa itu,
kemudian berguru kepada Imam Ashim salah seorang Imam Qiro@’ah Sab’ah.
Keluarganya adalah keluarga pedagang, oleh karena itu tidaklah mengherankan
apabila al-Nu’man pun kemudian menjadi pedagang.[4]
2. Pendidikan Imam Hanafi
Seorang guru yang mendorong Imam
Hanafi untuk terjun mempelajari ilmu adalah Sya’bi, seorang ulama fiqih dan
hadis. Ia melihat dalam diri pemuda Nu’man bin Tsabit tanda-tanda kecerdasan
yang luar biasa, sehingga ia menasihatinya agar serius menuntut ilmu
pengetahuan.[5]
Imam Hanafi meriwayatkan sendiri tentang perpindahannya dari dunia perdagangan
ke dunia ilmu, antara lain ia mengatakan, “Suatu hari saya berjalan di depan
Sya’bi yang sedang duduk lalu ia memanggil saya. “Kemana kamu akan pergi?” saya
berkata, “Saya akan pergi ke pasar.” “Bukan ke pasar yang saya maksud, tetapi
kepada ulama siapa kamu belajar?” “Saya jarang sekali pergi ke ulama.” Ia
berkata, “Jangan kamu sia-siakan umurmu. Belajarlah ilmu dari para ulama,
karena sungguh saya melihat dalam dirimu kecerdasan yang luar biasa.” Lalu Imam
Hanafi mengatakan, “Ternyata kata-kata Sya’bi tersebut menyentuh hatu saya.
Maka, saya pun tidak mondar-mandir lagi ke pasar, dan sejak itu saya mulai
belajar ilmu dari para ulama.”[6]
Imam
Hanafi mulai mendatangi berbagai halaqah para ulama dan belajar dari mereka
berbagai cabang ilmu. Akan tetapi, beliau ingin mengambil spesialisasi ilmu
tertentu hingga mahir didalamnya dan kelak bisa menempati kedudukan yang mulai.
Imam Hanafi bertanya-tanya pada dirinya sendiri tentang disiplin ilmu yang
hendak dipilihnya. Setelah beliau berfikir panjang dan membandingkan antara
satu disiplin ilmu dengan disiplin ilmu lainnya berikut dengan dampaknya
masing-masing, akhirnya beliau memilih ilmu fiqh sebagai spesialisasi ilmu yang
akan dipelajarinya secara mendalam. Alasan beliau memilih ilmu fiqh, karena
dengan menjadi seorang faqih beliau dapat memberikan jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan masyarakat mengenai suatu hukum. Menurut beliau tidak ada
ilmu yang lebih bermanfaat daripada fiqh.[7]
Adapun guru-guru Imam Hanafi yang
terkenal diantaranya adalah al-Sya’bi dan Hammad bin Abi Sulayman di Kufah,
Hasan Basri di Basrah, Atha’bin Rabah di Makkah, Sulayman dan Salim di Madinah.
Dalam kunjungan yang kedua kalinya ke Madinah Imam Hanafi bertemu dengan
Muhammad Baqir dari Syi’ah dan putra Imam Baqir yaitu ja’far al-Shiddiq.
“Beliau banyak mendapat ilmu dari ulama ini.”[8]
Dalam
riwayat biografi yang lain, disebutkan bahwa Imam Hanafi beliau juga berguru
kepada Anas bin Malik (sahabat Rasulullah) ketika beliau berkunjung ke Kufah.
Disamping itu, beliau juga telah menimba ilmu kepada empat imam besar dari
ahlul bait Rasulullah SAW, yaitu Imam Zaid bin Ali Zainal Abidin seorang imam
Zaidiyah yang mati syahid dalam perang melawan Bani Umayah bin Abdul Malik pada
tahun 122 H. Ia juga berguru kepada Muhammad bin Ali sauda Zaid yang dikenal
dengan nama Muhammad Baqir, lalu berguru pada putranya Imam Ja’far bin
Muhammad, dan juga kepada Abdullah bin Hasan bin Hasan.[9]
Imam
Hanafi wafat pada paruh bulah Syawal tahun 150 H. Hasan bin Ammarah
meriwayatkan bahwa ketika ia memandikan jenazah Imam Hanafi, beliau melihat
sosok tubuh yang kurus disebabkan oleh banyaknya ibadah. Ketika selesai
memandikan, Hasan memuji Imam Hanafi dan menyebutkan berbagai sifat mulianya,
lantas mengucapkan kata-kata yang membuat seluruh orang menangis.[10]
Imam Hanafi sebelumnya telah berwasiat agar dirinya dimakamkan di Khaiziran,
maka jenazahnya dibawa kesana dan dihantar oleh banyak sekali pelawat, kurang
lebih sekitar lima puluh ribu orang, dan dan dishalatkan sebanyak enam kali.[11]
3. Hasil Karya Imam Hanafi dan Murid-muridnya
Imam
Hanafi adalah seorang ahli fiqh dan ilmu kalam, pada saat beliau hidup banyak
yang berguru kepadanya. Dibidang ilmu kalam beliau menulis kitab yang berjudul
“al-Fiqh al-Asg|ar”
dan “al-Fiqh al-Akbar.”
Akan tetapi dalam bidang fiqih tidak ditemukan catatan sejarah yang menunjukkan
bahwa Imam Hanafi menulis sebuah buku fiqh sewaktu hidupnya.[12]
Adapun kitab-kitab hasil karya
murid-murid Imam Hanafi dalam bidang ilmu fiqh adalah:
a.
Kitab al-Kharaj
oleh Imam Abu Yusuf
b.
Z{a@hir al-Riwa@yah oleh Imam Muhammad bin
Hasan asy-Syaibani. Kitab ini terdiri dari 6 jilid, yaitu al-Mabsu<t, al-Jami’, al-Kabir,
al-Jami’as-Sagir, as-Siyar al-Kabir, as-Siyar as-Sagir dan az-Ziyadat.
c.
Al-Nawadir oleh Imam
asy-Syaibani. Terdiri dari empat judul yang terpisah yaitu: al-Haruniyyah, al-Kaisniyyah,
al-Jurjaniyyah dan ar-Radiyyah.
d.
Al-Mabsu<t{ adalah syarah dari al-Ka@fi
yang disusun oleh Imam as-Syarkhasi.
e.
Bada<i’ S{ana<’i oleh Alauddin
Abi Bakr bin Mas’ud bin Ahmad al-Kasani al-Hanafi.
f.
H{a<shiyah Radd al-Mukhtar
‘ala ad-Darr al-Mukhtar fi Syarh Tanwir
al-Absar oleh Ibnu Abidin.[13]
[1]
Muchlis M Hanafi dkk., Biografi Lima Imam Madzhab-Imam Hanafi, (Jakarta: Lentera Hati, Jil.1, 2013), hlm.2
[2] Moenawir Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam
Madzhab, cet. 5, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1986), hlm. 19
[3] Hadi Hussain M. Imam Abu Hanifah Life and Work, Institute
of Islamic Culture, (Pakistan: Lahore, 1972). Hlm. 10 dikutip dari A.
Djazuli, Ilmu Fiqh “Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam,
(Jakarta: Prenadamedia Group, cet. 9, 2013), hlm. 125
[6] Ibnu Abdi Rabbih, al-Aqd al-Farid, vol. II,
hlm. 415, dikutip oleh Muchlis M Hanafi dkk., Biografi Lima Imam...., hlm.7
[10] Al-Muwaffaq al-Makki, Manaqib
al-Muwaffaq, vol.II, hlm. 174
[11] Muchlis M Hanafi dkk., Biografi Lima Imam...., hlm.203
[12] Dewan Redaksi Ensiklopedi Hukum Islam, Ensiklopedi
Hukum Islam, cet. Ke-1, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), hlm.
340
Tidak ada komentar:
Posting Komentar