Tinjauan Ifta' dan Perbedaannya dengan Ijtihad
1. Pengertian Ifta’
Ifta’ dari kata dalam bahasa Arab yaitu ifta’, yang artinya memberikan penjelasan. Sedangkan menurut
istilah ifta’ adalah: “ Usaha
memberikan penjelasan tentang hukum syara’
oleh ahli kepada orang yang belum mengetahuinya”.[1]
Contoh dari ifta’ adalah mengenai hukum hadiah undian, ada tiga
bentuk hukum yang menyangkut hukum tersebut salah satunya hukum–hukum yang
diperbolehkan syariat hadiah-hadiah yang disediakan untuk memotivasi dan
mengajak kepada peningkatan ilmu.[2]
Pengetahuan yang bermanfaat dan amal sholeh misalnya, hadiah dalam perlombaan
menghafal Al-Quran.
2. Kaitan Ifta’
dengan Ijtihad
Fatwa
merupakan hasil ijtihad para ahli (mujtahid dan mufti) yang dapat dilahirkan
dalam bentuk lisan ataupun tulisan. Dengan upaya serius, para mufti atau
mujtahid memberikan fatwa-fatwa yang berharga untuk kepentingan umat manusia.
Oleh karena itu, kaitan antara ijtihad dengan fatwa sangat erat sekali, sebab
ijtihad itu merupakan suatu usaha yang maksimal para ahli untuk mengambil atau
mengistinbathkan hukum-hukum tertentu, sedangkan fatwa itu salah satu hasil
dari ijtihad itu sendiri.
Hukum Islam
yang berlandaskan al-Qur`an dan al-Hadits sebagian besar bentuknya ditentukan
berdasarkan hasil ijtihad para mujtahid yangdituangkan dalam bentuk fatwa
keagamaan. Karena begitu penting nilai fatwa dalam kehidupan keagamaan umat
Islam, dalam mengeluarkan fatwa, seorang mufti atau lembaga tertentu harus
memenuhi prosedur dan persyaratan yang cukup ketat, yang telah ditetapkan oleh
para ulama’. Hal ini diberlakukan untuk menghindari kecacatan dan kesalahan
dalam mengeluarkan fatwa.
Fatwa tidak
bisa dikeluarkan tanpa prosedur dan persyaratan yang telah ditetapkan, serta
disepakati para ulama. Ia menempati posisi penting dalam hukum Islam karena
statusnya sama dengan hasil ijtihad. Realitas dan fenomena permintaan fatwa
dari individu atau masyarakat sudah ada semenjak awal sejarah perkembangan umat
Islam.
Pada masa
Rasulallah SAW, ketika para sahabat menemukan persoalan yang dianggap sulit
untuk dicarikan solusinya dan jawabannya, mereka langsung bertemu dan meminta jawaban dari Nabi Muhammad SAW,
meskipun jawaban nabi langsung berupa nash-nash al-Qur’an dan Hadist Nabi
sendiri, tetapi tradisi permintaan, konsultasi, bimbingan untuk menjawab
berbagai persoalan hidup kepada ahlinya merupakan bagian spirit yang
menginspirasi munculnya tradisi fatwa dalam masyarakat muslim. Keberadaan Nabi
SAW pada masa itu adalah pembuat keputusan (decision maker) dan pemegang
kebijakan bagi hampir seluruh persoalan umat Islam. Setelah kewafatan Nabi,
pemegang otoritas keagamaan menjadi persoalan. Untuk itu, para ulama selalu
membuat prosedur dan persyaratan dalam berbagai hal yang menyangkut penentuan
panduan keagamaan, termasuk persoalan fatwa.
Telah
dijelaskan bahwa yang difatwakan atau materi fatwa itu adalah hukum syara’ yang diperoleh melalui ijtihad.
Dalam hal ini mufti sama kedudukannya dengan hakim, yaitu menyampaikan hukum
kepada umat. Fatwa disampaikan mufti’
dengan ucapannya setelah menerima pertanyaan dari umat. Sedangkan qadhi menyampaikan hukum melalui putusan
hukum atau dalam proses persidangan setelah perkaranya disampaikan oleh
umat.[3]
Dalam
kaitannya dengan masalah ijtihad ummat manusia itu terbagi dalam dua kelompok.
Kelompok orang-orang yang mempunyai kesanggupan ijtihad dan mampu
melaksanakannya, yaitu mujtahidin. Dan kelompok yang kedua ialah mereka
yang tidak memiliki sarana ijtihad dan karenanya tidak mampu melaksanakannya,
mereka adalah orang-orang awam (kebanyakan). Biasanya orang-orang awam ini
memahami dan mempraktekkan ajaran agama meminta petunjuk kepada para ulama dan
memohon fatwa kepada para mujtahid.[4]Bagi
mereka hal ini merupakan perintah Allah swt. :
وَمَا
أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ إِلا رِجَالا نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ
الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ
Artinya : “ Kami tiada mengutus Rasul-Rasul sebelum
kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang-laki-laki yang Kami beri wahyu kepada
mereka, Maka Tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu
tiada mengetahui.” (Q.S.Al-Anbiya: 7)
Permintaan fatwa tersebut hendaklah diajukan kepada
orang yang sudah terkenal keahliannya dan keadilannya. Adapun kewajiban
seorang mufti ialah memberikan fatwa, bila dimintainya. Ia tidak diperkenankan
menolak memberikan fatwa. Karena mufti yang menolak dimintai fatwa diultimatum
oleh Rasulullah saw. akan dikendali mulutnya dengan kendali dari pintal tali
terbuat dari api neraka.
3.
Syarat-Syarat
Mufti dan Problematika Fatwa
Mufti’ berkedudukan sebagai pemberi penjelasan tentang hukum
syara’ yang harus diketahui
diketahuidan diamalkan oleh umat. Umat akan selamat apabila ia memberikan fatwa
yang benar dan akan sesat apabila ia salah dalam berfatwa.[5]
Mufti adalah mujtahid. Ada yang berkata mufti ditujukan untuk seorang ahli
fiqih (faqih), karena yang dimaksud dengan mufti adalah mujtahid dalam
istilah ulama ahli ushul.
·
Syarat umum, yaitu muslim, dewasa dan sempurna akalnya. Karena mufti akan menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan hukum syara’ dan pelaksanaanya.
·
Syarat keilmuan, yaitu mengetahui secara baik dalil-dalil sam’i dan
mengetahui secara baik dalil-dalil aqli. Mufti harus ahli dan mempunyai
kemampuan untuk berijtihad.
·
Syaratkepribadian, yaituadildandapatdipercaya.
·
Syarat pelengkap dalam kedudukanya sebagai ulama panutan yang oleh al-Amidi
diuraikan antara lain: dengan berfatwa ia bermaksud untuk mendidik untuk
mengetahui hukum syara’, bersifat tenang atau sakinah, dan berkecukupan. Imam
Ahmad menurut yang dijelaskan oleh ibn al-Qoyyim menambah dengan sifat berikut:
mempunyai niat dan i’tikad yang baik, kuat pendirian dan dikenal ditengah umat. Secara umum, al-Isnawi
mengemukakan syarat mufti adalah sepenuhnya syarat-syarat yang berlaku pada seorang
perowi hadist, karena dalam tugasnya mufti memberi penjelasan sama dengan tugas
perowi.
b. Problematika Fatwa
Fatwa bukanlah sebuah keputusan hukum yang dibuat dengan mudah, atau yang
disebut dengan membuat hukum tanpa dasar. Seorang yang memberi Fatwa (Mufti)
harus memenuhi sejumlah persyaratan tertentu, seperti memahami pelbagai aspek
hukum Islam dan dalil yang menopangnya dan otoritas keilmuannya diakui oleh
masyarakat, sehingga masyarakat datang kepadanya untuk meminta pertimbangan
hukum.
Dalam hal ini, dan karena dirasa terlalu sulitnya memperoleh kewenangan
fatwa, dalam konteks Indonesia, maka lazim diberikan lembaga khusus dalam
sebuah organisasi, misalnya Komisi Fatwa MUI, Bahtsul Masail NU, Majlis Tarjih Muhammadiyah dan lainnya yang dianggap
mempunyai komptensi yang memadai. Meskipun, fatwa yang dikeluarkan oleh
lembaga-lembaga tersebut juga mendapat tanggapan yang bervariasi, pro dan
kontra, termasuk MUI yang dianggap sebagai lembaga yang merepresentasikan
keberadaan ulama-ulama di Indonesia. Realitas ini menjadi bahan kajian, bahwa
menentukan penetapan fatwa itu tidak mudah dan membutuhkan pertimbangan yang
komprehensif.
Menjadi keprihatinan bersama dengan fenomena maraknya orang atau lembaga
yang dengan mudah mengeluarkan fatwa. Satu
sisi seringkali masyarakat muslim Indonesia dihadapkan pada kenyataan bahwa
fatwa yang keluar dari lembaga agama yang resmi seperti MUI sering menimbulkan
perdebatan panjang sehingga menimbulkan pro dan kontra, bahkan terkadang fatwa
itu dimentahkan oleh segelintir orang yang tidak kompeten dalam bidang hukum
Islam, pada sisi yang lain masyarakat menanti jawaban MUI atas berbagai
persoalan yang ditanyakan kepada lembaga tersebut.
Akibatnya, masyarakat sering bingung dan tidak bisa menentukan mana yang benar
diantara berbagai pendapat tersebut. Menurut Zain al-Najah, fatwa itu adalah
hak ulama, bukan perorangan. Dan yang mengerti urusan fatwa adalah
mereka-mereka yang tahu dan mengerti secara baik hukum Islam. Karenanya, jika
ada orang meskipun dikenal tokoh Islam, tapi bukan berlatar belakang hukum
Islam atau fiqih, mereka tak memiliki hak mengeluarkan fatwa.
Menurut Zain al-Najah memang aneh, setiap ada fatwa MUI, semua media massa
termasuk TV justru meminta komentar tokoh-tokoh yang tak ahli dalam hukum
Islam. Seharusnya media massa dan televisi mengerti kepada siapa harus mendapat
komentar tentang fatwa, tidak kepada orang yang tidak mengerti tentang fatwa.
Menurutnya, bila dibandingkan dengan negara-negara Islam di Timur Tengah, belum ada dalam sejarahnya fatwa ulama
dikencam apalagi dilecehkan orang-orang awam dan bukan ahli di bidangnya
kecuali di Indonesia.
Ia mencontohkan, dalam kasus semua fatwa yang dikeluarkan Darul Ifta’
al-Mishriyyah (Lembaga Fatwa Mesir) atau Majma'ul Buhuts al-Islamiyyah di Al-Azhar, tak pernah masyarakat bahkan pihak pemerintah
mempertanyakan atau mengotak-atiknya. Umumnya, semua masyarakat Mesir paham dan
menghormati, bahkan termasuk pihak pemerintah. Hal ini nampaknya berbeda dengan
di Indonesia di mana fatwa ulama ‘dilecehkan’ orang yang tak paham hukum Islam.
Realitas pro dan kontra terhadap berbagai fatwa yang dikeluarkan oleh MUI,
seyogyanya harus lebih dipahami sebagai bentuk dinamika intelektualitas yang
menghargai sebuah perbedaan, daripada pelecehan terhadap keberadaan fatwa MUI.
Kedudukan fatwa MUI yang tidak mengikat semua masyarakat atau warga memberikan
peluang orang atau lembaga untuk memberikan respon yang bervariasi, mulai dari
yang mengkritik, berupaya menjelaskan, menerima dan menolak total terhadap
keberadaan fatwa MUI.
Pro dan kontra ini juga bisa dipahami sebagai bentuk koreksi
terhadap kedua belah pihak yaitu MUI dan stakholdernya, baik yang pro maupun
yang kontra. Paling tidak bagi yang pro, MUI dianggap sebagai lembaga yang merepresentasikan
ulama-ulama yang ada di Indonesia, yang mempunyai kompetensi untuk memberikan
fatwa. Sementara bagi yang kontra menganggap fatwa MUI bermasalah; proses
pendefinisian masalah, prosedur penetapan fatwa, dan kelayakan kompetensi
anggota komisi fatwa MUI sebagai seorang mufti. Misalnya dalam fatwa pluralisme
agama, MUI sebenarnya mengharamkan pluralisme agama yang didefinisikan oleh MUI
sendiri, padahal pluralisme diluar MUI mempunyai definisi dan pengertian yang
berbeda dengan yang didefinisikan MUI. Maka sebenarnya MUI mengharamkan
pandangan MUI tentang pluralisme, bukan pluralisme yang dipahami oleh kalangan
lain.
[1]Ade Dedi
Rohayana, Ilmu Ushul Fiqih (Pekalongan:STAIN Press, 2006), hlm. 304
[2] Yusuf
Qaradhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer ( Jakarta: Gema Insani press, 2002),
hlm. 499
[3]Amir syarifuddin, Ushul Fiqh 2,
Jakarta: Kencana, cet 5. 2009 hlm. 237
[5]Amir syarifuddin, Ushul Fiqh 2, Jakarta: Kencana, cet 5.
2009 hlm. 457